Menurut Bung Karno gotong-royong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua.Â
Jika model koalisi yang disodorkan sarat nafsu kemenangan yang didukung oleh tukang survei bayaran akibatnya efektivitas pemerintahan baru hasil pemilu nantinya sulit terwujud.Â
Negeri ini bisa jadi akan terpelosok kembali dalam situasi dimana kepemimpinan nasional sibuk mengakomodasikan tuntutan sektarian elit parpol pendukung dan cukong-cukong politik.
Sejak reformasi, kepemimpinan nasional di negeri ini penuh dengan hiruk pikuk dagang sapi. Padahal, sejarah telah menunjukkan bahwa memimpin itu sepi. Karena semua tanggung jawab akan berhenti di tangannya.Â
Namun, dalam kesepian itu dirinya bisa lebih efektif menyelesaikan pilihan yang sulit serta menghasilkan kerja detail sebaik mungkin bagi negerinya.Â
Sungguh menyedihkan jika para pemimpin di negeri ini tidak bisa mengatasi kesepian politik. Padahal, kerja detail berteman sepi dan mencari solusi jitu menghadapi ekonomi dunia yang fluktuatif merupakan prestasi dan bisa membuahkan simpati rakyat.
Keterlibatan langsung kepala negara dan kabinet serta para kepala daerah dalam tarik menarik dan dagang sapi politik dalam pemilu atau pilkada justru membuat pemerintahan dalam berbagai tingkatan kehilangan efektivitasnya. Akibatnya, negeri ini tenggelam dalam situasi disinfluencing.Â
Dalam persaingan global sekarang ini pemimpin pemerintahan mestinya sekuat daya mencegah hal-hal yang mengakibatkan situasi disinfluencing.Â
Situasi itu dalam bahasa sederhana berarti kegagalan memberikan motivasi kebangsaan menghadapi masalah pelik. Serta memburuknya komunikasi yang tulus dengan rakyat yang sedang apatis. Celakanya lagi situasi buruk di atas langsung bersenyawa dengan situasi pemerintahan yang lemah alias mudah goyah karena model koalisi yang rapuh.
Hiruk pikuk seputar koalisi membuat elite politik tubuhnya meriang, tidak enak makan dan kurang tidur. Perkara koalisi tidak kalah mendebarkan dibandingkan dengan menunggu kelahiran anak pertama. Tidak ada format yang ideal dalam berkoalisi, karena semuanya membawa cacat bawaan dan mengandung resistensi.
Manis getirnya berkoalisi telah dialami oleh Presiden SBY dalam dua periode pemerintahannya. Dialektika berkoalisi yang dilakoni oleh SBY berakhir dengan sedu sedan dan sirnanya kemesraan.Â