Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghilangkan Keseragaman, Mengejar Kemerdekaan

26 November 2019   04:04 Diperbarui: 26 November 2019   04:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato Mendikbud Nadiem Makarim dalam peringatan Hari Guru Nasional 2019 tentang pentingnya kemerdekaan belajar bagi peserta didik sungguh tepat di tengah ruwetnya dunia pendidikan Indonesia selama ini.

Disebutkan juga guru jangan lagi menunggu perintah untuk berinovasi. Lakukan perubahan kecil, agar potensi setiap peserta didik dapat diidentifikasi dan selanjutnya dikembangkan dalam karya serta kolaborasi sebagai jawaban riil dalam kehidupan nyata. Memerdekakan pola pikir yang selama ini cenderung seragam menjadi sumber daya yang beragam.

Keseragaman yang jadi watak birokrasi telah menyebabkan peluang guru menjadi pemandu bakat dan kemampuan unik setiap peserta didik relatif tertutup oleh tugas-tugas administratif yang tidak relevan.

Pernyataan ini menegaskan bahwa salah satu faktor penghambat upaya pemajuan kualitas pendidikan adalah kuatnya budaya birokrasi yang semestinya menjadi tanggung jawab pegawai Dinas Pendidikan. Bukan sebagai tugas yang memberi beban tambahan bagi guru di tengah kewajiban utamanya menjalankan proses belajar dan mengajar yang sejatinya.

Pergeseran peran guru yang diinginkan oleh Mendikbud baru ini tentu akan mendapat banyak tantangan dari banyak pihak. Bukan sekadar ketidaknyamanan akibat perubahan kebijakan yang cukup mengejutkan datangnya. Menjadi inovator perlu energi besar selain bekal pengetahuan dan pengalaman yang selama ini diliputi oleh masalah-masalah rutinitas formal administratif.

Perubahan sikap mental tidak akan serta merta terjadi meskipun telah menjadi kebijakan seorang Menteri. Kebiasaan salin tempel (copy -- paste) yang selama ini dianggap lumrah bukan hal yang cukup mudah untuk dikurangi sampai kadar minimalnya. Apalagi menghilangkan.

Guru mungkin saja menyambut baik ajakan Mendikbud agar menjadi inovator yang membuka jalan bagi upaya pemerdekaan belajar peserta didik. Tapi kepala sekolah belum tentu menyetujui, meskipun tidak secara tegas menolaknya. Apalagi para birokrat di Dinas Pendidikan dan Pemerintahan Daerah yang acapkali menempatkan diri sebagai "juragan".

Relasi kolaboratif dalam hubungan tugas kedinasan belum terbangun antara guru, peserta didik, orang tua/wali, komite sekolah, dinas pendidikan, pemerintah daerah dan masyarakat luas. Nilai ujian contohnya yang biasanya diakhiri dengan pemberian peringkat, masih dianggap hal yang sakral dalam mengukur kapasitas proses belajar mengajar.

Meminimalkan keseragaman dalam proses belajar mengajar untuk mengejar kemerdekaan belajar bagi peserta didik boleh jadi akan menimbulkan pertanyaan seputar aplikasi kurikulum. Akankah seperti biasanya, ganti menteri artinya ganti kurikulum?

Sebagai masyarakat awam, saya hanya menduga bahwa pertanyaan itu akan menjadi bahan perbincangan hangat sebelum seorang guru mengambil keputusan untuk menindak-lanjuti imbauan Mendikbud Nadiem Makarim.

Jika merujuk pada pernyataan seorang teman guru yang widya iswara dan aktif dalam penyusunan materi aplikatif bagi jenjang SD, Kurikulum 2013 telah mengakomodasi gagasan memerdekakan peserta didik untuk menjadi dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun