Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Cerita Misteri) Isyarat Berkabut -Bagian Dua

11 Oktober 2018   03:05 Diperbarui: 11 Oktober 2018   09:40 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almarhumah Ibu Atiatoen dan ibu serta teman-teman kostnya di Rembang 1951. Dokpri.

Rombongan kedua diberangkatkan setelah tiga jam berselang. Jumlah gerbong yang ditarik oleh lokomotif Krupp itu bertambah banyak . Ada enam rangkaian yang dijejali lebih dari 500 orang dan perbekalan. Tujuannya stasiun Kebumen. Kali ini dipimpin oleh Imam dari Batalyon 300.

Jarak tempuh perjalanan kereta sebenarnya sangat pendek. Sekira 20 km, tapi butuh waktu lebih dari dua jam. Di dua stasiun kecil, Prembun dan Kutowinangun kereta berhenti menambah penumpang yang telah berjejal. Sebagian ada yang berada di atap gerbong untuk berjaga-jaga dari serangan musuh. 

Dua senapan Juki buatan Jepang disiagakan di gerbong paling ujung depan dan belakang. Katanya, kedua senapan itu rampasan dari pasukan Jepang di Purworejo dan Jogja. Kondisinya rusak saat itu. Berkat ketekunan anggota pasukan TGP (Tentara Genie Pelajar) keduanya dapat diperbaiki meskipun belum diuji coba. Semangat juang mengalahkan fasilitas. 

Tiba di stasiun Kebumen menjelang waktu sholat Ashar. Mereka kemudian berjalan kaki menuju asrama Markas Darurat yang jaraknya sekitar 200m. Di tempat yang sekompleks dengan gereja Kristen ini, mereka disambut Mas Cipto dan mbak Ati. Mas Cipto adalah wakil Mas Mudoyo yang tengah bertugas melakukan kordinasi dengan Markas Tentara Pelajar Purworejo yang dipimpin Imam Pratignyo. Komandan pasukan markas itu adalah Wiyono dan Imam Subekhi selaku wakilnya. 

***

Tanpa disengaja, Joko bertemu lagi dengan Linus di rumah orang tua mbak Ati. Linus memang satu rombongan dengan staf Putri Markas Darurat, Atiatoen. Sedangkan Joko ikut rombongan di belakangnya. Mereka bertemu saat keduanya tengah mengumpulkan kelapa dan singkong yang banyak tumbuh di halaman belakang rumah Kyai Jajuli, ayah Atiatoen. 

Layaknya orang muda, mereka bergurau dengan gaya bahasa slengekan. Sesekali keluar ucapan yang membuat telinga Linus meradang. Tapi, Joko selalu meredamnya dengan bahasa halus. 

" Jangan diambil hati.. mas Linus. Si Kampret memang pengacau", kata Joko menyebut nama orang yang dipanggil Lowo.

" Joko bohong Nus..!", Lowo menyela dengan suara keras. 

" Dari tadi, kamu selalu diperhatikan sama mbak Ati. Sumpah..! ",kata Lowo  sambil menggesek bagian tumpul golok yang dipegangnya ke leher sendiri.  

Atiatoen yang sejak tadi jadi bahan olok-olok Lowo menyambut pemuda usil itu dengan potongan genteng. 

" Dasar codot elek... Awas ra tak nehi pangan kowe (dasar Lowo jelek..awas..kamu tidak akan kubagi makanan)". Lowo semakin bertingkah konyol. Hampir saja ia akan dipukul oleh Linus yang sejak tadi menahan amarah. Lagi-lagi, hanya Joko yang bisa meredamnya. 

Akhirnya dua rombongan itu berjalan beriringan lagi ke tempat semula. 

Malam di akhir Agustus itu dingin menggigit tulang. Sebagian besar orang yang ada di asrama telah lelap. Joko dan Linus tidur bersebelahan. Suara dengkuran tanda kelelahan kian mengeras. 

Seorang yang berparas ganteng dan putih seperti orang Eropa mengigau keras. 

" Kubunuh kau, penghianat!",igauan Herman membangunkan banyak orang. 

" Herman...bangun..!!". Suara itu tak kalah keras dari igauan pemuda Larantuka itu. Entah berapa kali percobaan menyadarkannya tak pernah berhasil. 

Kemudian datang Tinus, anak pendeta gereja yang aulanya dipakai asrama rombongan pasukan pelajar. Ia menyarankan agar Herman dibawa ke rumah orang tuanya yang berada di belakang asrama. Rumah dinas Pendeta Rekso memang di situ. 

Dengan tandu sederhana yang dibuat mendadak dari sarung dan dua batang bambu, Herman dibawa ke kamar depan. Di sana, Bapak dan Ibu Rekso telah menanti. 

***

Minggu pagi, 31 Agustus 1947, suasana kebaktian di gereja yang dipimpin oleh Pendeta Rekso berbeda dari biasanya. Ada tambahan jemaat dari rombongan pasukan yang menginap di asrama. Selain Herman yang duduk di deretan terdepan bersama Joko dan Linus yang Katholik, Tinus ikut mendampingi mereka bertiga. Di antara kalimat yang disampaikan sebagai materi khotbah Minggu, Pendeta Rekso berpesan agar jemaatnya ikut mendoakan Herman dan rombongan pasukan pelajar yang akan menuju medan juang: Palagan Sidobunder. 

Raut wajah Herman nampak lebih segar. Meskipun ada guratan kesedihan yang terpancar di balik wajah indonya. Selesai ikut kegiatan keagamaan itu, Herman berjalan keluar gereja dengan gagahnya. Semua orang terheran-heran. Termasuk Atiatoen yang tengah berbisik dengan Hartini.

" Dik.. firasatku koq jelek ya..", kata mbak Ati. 

" Jangan berprasangka buruk. Firasat jelek seperti apa sih ?", tanya Hartini.

" Sepertinya mereka akan banyak yang gugur di medan laga..", jawab mbak Ati. 

" Hushhh.. ngawur kamu. Bukannya mendoakan keselamatan malah sebaliknya", hardik Hartini. 

Satu jam kemudian, semua rombongan termasuk Herman , Joko dan Linus , telah pergi berjalan kaki ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan di tujuan akhir Karanganyar. Di sana mereka akan ditempatkan di rumah-rumah penduduk di sekitar alun-alun sebelum diberangkatkan ke Sidobunder, Puring yang jaraknya sekitar 15 km. Di sini, ketiga orang itu berpisah rombongan. 

(Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun