" Dasar codot elek... Awas ra tak nehi pangan kowe (dasar Lowo jelek..awas..kamu tidak akan kubagi makanan)". Lowo semakin bertingkah konyol. Hampir saja ia akan dipukul oleh Linus yang sejak tadi menahan amarah. Lagi-lagi, hanya Joko yang bisa meredamnya.Â
Akhirnya dua rombongan itu berjalan beriringan lagi ke tempat semula.Â
Malam di akhir Agustus itu dingin menggigit tulang. Sebagian besar orang yang ada di asrama telah lelap. Joko dan Linus tidur bersebelahan. Suara dengkuran tanda kelelahan kian mengeras.Â
Seorang yang berparas ganteng dan putih seperti orang Eropa mengigau keras.Â
" Kubunuh kau, penghianat!",igauan Herman membangunkan banyak orang.Â
" Herman...bangun..!!". Suara itu tak kalah keras dari igauan pemuda Larantuka itu. Entah berapa kali percobaan menyadarkannya tak pernah berhasil.Â
Kemudian datang Tinus, anak pendeta gereja yang aulanya dipakai asrama rombongan pasukan pelajar. Ia menyarankan agar Herman dibawa ke rumah orang tuanya yang berada di belakang asrama. Rumah dinas Pendeta Rekso memang di situ.Â
Dengan tandu sederhana yang dibuat mendadak dari sarung dan dua batang bambu, Herman dibawa ke kamar depan. Di sana, Bapak dan Ibu Rekso telah menanti.Â
***
Minggu pagi, 31 Agustus 1947, suasana kebaktian di gereja yang dipimpin oleh Pendeta Rekso berbeda dari biasanya. Ada tambahan jemaat dari rombongan pasukan yang menginap di asrama. Selain Herman yang duduk di deretan terdepan bersama Joko dan Linus yang Katholik, Tinus ikut mendampingi mereka bertiga. Di antara kalimat yang disampaikan sebagai materi khotbah Minggu, Pendeta Rekso berpesan agar jemaatnya ikut mendoakan Herman dan rombongan pasukan pelajar yang akan menuju medan juang: Palagan Sidobunder.Â
Raut wajah Herman nampak lebih segar. Meskipun ada guratan kesedihan yang terpancar di balik wajah indonya. Selesai ikut kegiatan keagamaan itu, Herman berjalan keluar gereja dengan gagahnya. Semua orang terheran-heran. Termasuk Atiatoen yang tengah berbisik dengan Hartini.