Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerita Misteri) Isyarat Berkabut-Bagian Tiga

12 Oktober 2018   01:22 Diperbarui: 12 Oktober 2018   11:33 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro buku sejarah Tentara Pelajar masuk kota Semarang.

 Pagi itu sangat berkabut. Jarak pandang hanya sejangkauan tangan. Udara dingin menembus tulang. Hening. Tak ada kokok ayam yang biasanya membuka pagi. Alun-alun yang tak pernah sepi, kini ditinggalkan. Senyap, mencekam.

Sejak tengah malam tadi, satu demi satu rombongan kecil pasukan telah pergi ke Selatan. Ada yang lewat sisi Barat, menyusuri tepian Kali Kemit. Mereka kebanyakan berbaju hitam tanpa alas kaki.

Rombongan besar lewat jalur biasa. Dari alun-alun terus lewat pasar dan menyeberangi rel kereta. Mereka berangkat lebih awal, sehabis sholat Maghrib. Setelah melewati hamparan sawah yang berair semata kaki karena siraman hujan lebat sejak siang hari, rombongan besar mulai memasuki perkampungan penduduk. Suasana sangat sepi, apalagi tanpa sinar. Gelap gulita menyelimuti perjalanan.

***

Malam kian pekat. Tak ada suara jangkrik dan binatang malam yang biasanya memainkan harmoni alam. Benar-benar mencekam. 

Dari desa sebelah terdengar suara kentongan yang biasa dipakai untuk menandai datangnya air bah. Wajar saja. Sejak sore memang hujan lebat, merata di wilayah langganan banjir sekitar Puring. 

Desa Sugihwaras di perbatasan Kuwarasan dan Puring mulai banyak didatangi pejuang dari berbagai kesatuan. 

Nampak dari kejauhan seorang laki-laki berbaju dan ikat kepala hitam berlari mendekat rombongan kecil yang baru melewati perkampungan.

Dengan logat Jawa khas, lelaki itu terengah-engah membawa sebakul jagung rebus yang masih berasa panas. 

"Ini pak..buat bekal. Mumpung masih panas. Tadi saya dikejar tentara musuh yang mengarah ke sini", setelah bakul diterima seorang anggota rombongan, laki-laki itu berlari ke arah Selatan dan hilang ditelan gelap malam.

Sang pimpinan rombongan punya firasat buruk. 

" Tahu dari mana rombongan kami mau lewat daerah ini??", Ia menggumam dan coba mencari orang yang membawa bakul isi jagung tadi. Setelah bertanya kiri kanan, sang komandan memerintahkan anak buahnya agar tidak memakan jagung rebus itu. Ia menaruh curiga.

Tak lama berselang, seorang anggota rombongan tersungkur. Dua, tiga dan entah berapa jumlah tepatnya yang jatuh.  Rupanya, karena mereka sangat lapar langsung memakan jagung rebus  itu. 

Seorang anggota rombongan, Bejo, lalu memeriksa tubuh teman yang mulai membiru kaku.  Ia menduga jagung itu telah ditaburi racun yang sangat kuat. 

Belum lagi berkesempatan memeriksa kondisi tubuh lain, dari arah belakang dan samping kiri posisi rombongan nampak kilatan cahaya dari rentetan tembakan senapan mesin. Komandan memberi perintah berpencar. Malang nasib mereka. Tak ada yang selamat dari serangan dadakan itu. 

***

Malam pergantian bulan telah habis ditelan kilatan cahaya mematikan. Suara berdebum membumbungkan asap pekat di antara nyala api kengerian. Betapa tidak, rumpun bambu dipangkas dengan mitraliur dan ledakan peluru kanon. Rumah-rumah diberondong senapan otomatis, dibakar atau diporak-porandakan. Suara tangis para ibu yang kehilangan anak dan anggota keluarganya tak sedikitpun menyurutkan nafsu biadab para tentara bayaran yang sejatinya sekandung, anak Ibu Pertiwi. 

Rombangan kecil-kecil yang datang bergelombang sejak beberapa hari terakhir semakin tercerai berai. Sulit membedakan siapa induk, siapa pula anak-anaknya. Kacau balau di tengah sempitnya ruang gerak. 

***

Joko terpisah dari induknya saat ia coba meraih Juki yang ditinggal mati pemiliknya. Mukanya penuh lumpur ketika ia membenamkan muka di sawah agar dikira telah mati. Pipa rokok yang tak pernah dipakai telah menyelamatkan nyawanya . Selain itu, ia merasa beruntung juga. Tertolong mayat teman seperjuangan yang menimpa tubuhnya. Setelah dirasa aman, ia bangun perlahan dan merayap. 

Hujan lebat sedikit membantu dirinya menyeret Juki ke sebuah kandang sapi. Senjata otomatis buatan Jepang itu tak dapat digunakan. Setelah mantel pelurunya diambil, kemudian Joko menyembunyikan senjata andalan pasukannya di antara tumpukan jerami. Aman, pikirnya. 

Ia selalu ingat pesan pelatih di Militaire Academie (MA) yang membekali dasar kemiliteran sebelum berangkat ke Front Barat. 

" Senjata adalah nyawa cadanganmu. Jangan sampai kau tinggalkan". 

Sambil mengingat nama teman-teman serombongan yang berangkat bersama dirinya, ternyata ia menyaksikan juga insiden "jagung rebus". Saat itu ia berada di baris terdepan persis di belakang rombongan yang jadi korban. Ketika akan memberi pertolongan, keburu hujan peluru musuh berdesing di atas kepalanya. Nalurinya berbisik agar memanfaatkan mayat korban jagung rebus sebagai alat pelindung diri. Taktiknya berhasil meski tubuhnya diinjak-injak oleh musuh. 

***

Malam tadi jadi momentum penting bagi pasukan musuh. Seperti yang sering didengar dari para senior, hadiah  utama untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Belanda adalah serangan besar ke kubu pertahanan pasukan perjuangan. 

Siang hari memang ada insiden kecil di sekitar muara sungai . Ada dua orang pejuang yang sedang bertugas patroli menembaki beberapa tentara Belanda yang sedang mandi dan mendayung perahu kecil di sisi Barat. Dengan hanya memakai pakaian yang melekat di tubuhnya, tentara Belanda lari terbirit-birit memasuki pepohonan. Selang waktu tak lama, ada seorang lelaki tua mendekat kepada dua orang yang tengah berpatroli.

" Mas TP... saya pemilik perahu yang dipakai sama orang Belanda tadi. Mereka memaksa saya, terpaksa saya kasihkan perahu itu", kata lelaki berbaju petani dengan nafas terengah-engah. 

" Bapak nelayan di sini?", tanya salah satu yang dipanggil mas TP.

" Benar mas. Saya penduduk desa seberang", lelaki itu menunjuk desa di balik rerimbunan pohon yang menjadi tempat pelarian tentara Belanda. 

"Berapa banyak tentara Belanda yang ada di sana Pak?", tanya mas TP satunya.

" Banyak sekali. Mereka mengambil alih rumah Pak kepala dusun sebagai markasnya", lelaki itu terus bercerita panjang lebar sampai turun hujan lebat yang memisahkan mereka .

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun