Pagi itu sangat berkabut. Jarak pandang hanya sejangkauan tangan. Udara dingin menembus tulang. Hening. Tak ada kokok ayam yang biasanya membuka pagi. Alun-alun yang tak pernah sepi, kini ditinggalkan. Senyap, mencekam.
Sejak tengah malam tadi, satu demi satu rombongan kecil pasukan telah pergi ke Selatan. Ada yang lewat sisi Barat, menyusuri tepian Kali Kemit. Mereka kebanyakan berbaju hitam tanpa alas kaki.
Rombongan besar lewat jalur biasa. Dari alun-alun terus lewat pasar dan menyeberangi rel kereta. Mereka berangkat lebih awal, sehabis sholat Maghrib. Setelah melewati hamparan sawah yang berair semata kaki karena siraman hujan lebat sejak siang hari, rombongan besar mulai memasuki perkampungan penduduk. Suasana sangat sepi, apalagi tanpa sinar. Gelap gulita menyelimuti perjalanan.
***
Malam kian pekat. Tak ada suara jangkrik dan binatang malam yang biasanya memainkan harmoni alam. Benar-benar mencekam.Â
Dari desa sebelah terdengar suara kentongan yang biasa dipakai untuk menandai datangnya air bah. Wajar saja. Sejak sore memang hujan lebat, merata di wilayah langganan banjir sekitar Puring.Â
Desa Sugihwaras di perbatasan Kuwarasan dan Puring mulai banyak didatangi pejuang dari berbagai kesatuan.Â
Nampak dari kejauhan seorang laki-laki berbaju dan ikat kepala hitam berlari mendekat rombongan kecil yang baru melewati perkampungan.
Dengan logat Jawa khas, lelaki itu terengah-engah membawa sebakul jagung rebus yang masih berasa panas.Â
"Ini pak..buat bekal. Mumpung masih panas. Tadi saya dikejar tentara musuh yang mengarah ke sini", setelah bakul diterima seorang anggota rombongan, laki-laki itu berlari ke arah Selatan dan hilang ditelan gelap malam.
Sang pimpinan rombongan punya firasat buruk.Â