Rembang, sebuah kota kecil di bibir Pantai Utara Pulau Jawa, menyimpan sejarah besar bagi kaum perempuan Indonesia. Di sana Ibu Kartini lahir dan dibesarkan. Di sana pula Ilah dan empat guru muda lulusan Sekolah Guru Putri (SGP) Jogja untuk kali pertama ditugaskan selaku guru SD. Mereka tinggal di sebuah pemondokan milik keluarga Kusumo, tak jauh dari alun-alun kota. Ilah ditempatkan sebagai guru kelas VI di sebuah SD yang kebanyakan muridnya adalah anak-anak nelayan.Â
Ketika menghadap pak Wongso, sang Kepala Sekolah yang masih suka berpakaian tradisional Jawa, Ilah mendapat sedikit penjelasan tentang suasana sekolah dan murid-murid yang akan diasuhnya.Â
" Nak, bapak percayakan murid-murid kelas VI yang selama ini menjadi tanggung-jawab saya", begitu kata-kata Pak Wongso sebelum mengantar Ilah memasuki ruang kelas yang sangat gaduh.Â
Setelah Ilah diperkenalkan, Pak Wongso bergegas keluar ruang. Ilah menatap satu demi satu wajah anak-anak asuhnya. " Masya Allah ", teriak batinnya.Â
Sebagian besar murid kelas yang diasuhnya adalah laki-laki yang sepantaran umurnya. Sejenak Ilah menghela nafas.Â
"Selamat pagi anak-anak", seru Ilah. "Selamat pagi bu guru... cantik..", suara itu begitu keras terdengar dari sudut ruang.Â
" Terima kasih anak-anak. Tolong yang duduk di kursi paling belakang dekat jendela mengenalkan diri... Ya betul.. kamu..", Ilah memerintahkan murid laki-laki itu berdiri. Tak ada reaksi apapun.Â
Tanpa membuang waktu lebih lama, Ilah segera buku induk siswa yang ia pinjam dari pak Kepala Sekolah. Dan menyebut nama-nama agar mereka menunjuk diri.Â
" Jaludin... Jaludin.....Jaludin", tidak ada satu muridpun yang tunjuk jari.Â
Sekali lagi, Ilah memanggil nama itu. Kali ini dengan sebuah penegasan,Â
" Kalau tidak ada yang mau mengaku punya nama itu, maka Jaludin saya anggap tidak ada. Nanti Ibu akan lapor Kepala Sekolah agar nama Jaludin dihapus dari Daftar Murid", Ilah berkata tegas.Â