"Pecunia non olet, uang tak berbau".
TOPIK PILIHAN Kompasiana bertajuk "Anggaran Dana Desa Paling Rentan Dikorupsi" menarik dan beralasan untuk dikulik-kulik dalam berbagai sudut pandang.
Menarik untuk menjadi bahan diskusi dari mulai warung kopi, meja dan mimbar akademisi sampai rapat para menteri.
Beralasan karena senada dengan upaya clean and good gaverment yang terus digelorakan baik oleh pemerintah itu sendiri maupun kalangan para pegiat, organisasi anti korupsi.
Berdasar pada rilis ICW yang menyebutkan bahwa anggaran dana desa merupakan dana yang paling rentan dikorupsi. Pejabat daerah teridentifikasi paling banyak melakukan korupsi sepanjang semester satu 2021.
Peneliti ICW Lalola Easter menyebut ada 62 kasus korupsi yang dilakukan aparat pemerintah desa. Lalu diikuti oleh pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota dengan masing-masing 60 dan 17 kasus.
Gerakan Reformasi 1998.
Membincang tajuk "Anggaran Dana Desa Paling Rentan Dikorupsi"Â tak bisa lepas dari kemunculan gerakan reformasi 1998 oleh para mahasiswa. Karena sejatinya, dalam satu sisi, reformasi 1998 adalah jalan tol bagi upaya terciptanya demokratisasi di tingkat desa.
Berbagai produk, payung hukum yang mengkokohkan eksistensi desa, muncul pasca reformasi 1998 tersebut. Taruhlah, UU No.22 Tahun 1999, membuka kran partisipasi warga desa melalui wadah yang bernama Badan Perwakilan Desa (BPD). Lalu muncul lagi UU No.23 Tahun 2014, yang mengubah wadah BPD itu menjadi wadah bernama Badan Permusyawaratan Desa.
Di UU ini, para dan semua tokoh serta tetua desa diberikan porsi lebih sehingga penulis menyebutnya sebagai DPRD-nya Desa. Terus, semakin menjulang tinggi dan berending pada ketok palu disahkan dan dilahirkannya  UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang resmi di undangkan pada 15 Januari 2014.
Posisi Desa Semakin Kuat.
Dengan kelahiran UU Desa tersebut maka menjadi semakin kuatlah posisi Desa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian diterapkanlah dua asas; Pertama, Asas Rekognisi diwujudkan oleh pemerintah dengan "pengeluaran dana desa" yang terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Diperoleh dan diolah dari berbagai sumber; sampai 2020, dana desa mencapai Rp.323,32 triliun. Dengan jumlah penyerapan yang terus meningkat 2015 (82,72%), 2016 (97,65%), 2020 (99,95%), 2021 direncanakan Rp.72 triliun tersalurkan untuk sejumlah 74.961 desa.
Sesuai perkembangan asas rekognisi dengan kemunculan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja mengakomodir, sah, legalkan sebagai badan hukum yaitu Badan Usaha Milik Desa yang dikenal dengan istilah  (BUMDes).
Lalu kedua, Asas Subsidiaritas yang mengakui wewenang desa termasuk berbagai kebiasaan atau adat istiadat yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun dilakoni, diterapkan oleh desa seperti Musyawarah (rembug) Desa (Musdes)Â yang meghasilkan produk bernama Peraturan Desa (Perdes).
Penghasilan Kades.
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai 34 provinsi, 514 kabupaten dan kota (416 kabupaten, 98 kota), 7024 kecamatan dan 81.626 desa.
Komponen sumber penghasilan kepala desa dan perangkat desa adalah; Pertama, Kepala desa dan perangkat desa menerima penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari Dana Perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota dan ditetapkan dalam APBD kabupaten/kota.
Kedua, Tunjangan yang berasal dari APBDes (termasuk di dalamnya tanah kas desa, tanah bengkok, tanah janggolan). Ketiga, Jaminan kesehatan. Keempat, Penerimaan lainnya yang sah. (Selengkapnya ada di PP 43/2014, sebagaimana diubah dengan PP 47/2015).
Diolah dari berbagai sumber, penghasilan tetap (Siltap) kepala desa Rp.3jt per bulan, sekretaris desa Non PNS Rp.2,1jt per bulan, kaur-kasi-kadus Rp.1,5jt per bulan.
Besaran siltap sama dengan Gaji PNS Golongan IIa yakni Rp.2jt lebih. Semisal, kepala desa sebelumnya Rp.3.125.000 menjadi Rp.3.400.000 sekdes sebelumnya Rp.2.187.500 menjadi Rp.2.387.500.
Kalau rencana tahun 2022 naik maka semisal sekdes setidaknya bisa Rp.3jt an dan begitu seterusnya dengan perangkat desa yang lain.
Pemicu dan Pencegahan Korupsi Dana Desa.
Maraknya kepala desa dan perangkat desa berada dalam kubangan korupsi dana desa disebabkan karena; Pertama, Masih tingginya cost politic saat pencalonan kepala desa. Sudah mafhum saat jatuh momen politik termasuk pilkades. Bila warga ditanya pasti menjawab "akan memilih yang memberi duit".
Dan, siapa yang memberi duit paling besar, dialah yang akan dipilih. Kedua, Gaya hidup seiring perkembangan jaman yang semakin hedonis dan konsumeris.
Pencegahannya haruslah tidak berkutat pada upaya-upaya normatif semata. Melainkan haruslah solutif dan kolaboratif dengan memaksimalkan semua kemampuan baik personal maupun institusional.
Sesuai perkembangan jamanya pula maka digitalisasi informasi dan teknologi komunikasi, penguatan keorganisasian dan kelembagaan desa, serta menggenjot peran para pendamping desa untuk mendorong terwujudnya transparansi pengelolaan dana desa beserta aset desa lainnya perlu terus diupayakan.
Hal lainya adalah semua tetua desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemuda aktif melakukan civic education tentang pentingnya memilih pemimpin yang bersih.
Artinya harus ada gerakan bersama secara masif dan kesadaran bersama akan bahaya memilih pemimpin bila hanya berdasar pada duit.
Kunci sesungguhnya dalam mencegah bocornya dana desa, ada pada partisipasi aktif dan kontrol warga desa itu sendiri.
Diwujudkan melalui peran pengawasan yang dilakukan oleh BPD sebagai DPRD-nya desa. Jadi harusnya seorang kades beserta perangkat desa itu senang bila warga desa, langsung tak langsung, misalnya BPD-nya kritis.
Warga kritis, BPD kritis itu menyelamatkan masa depan kades dan perangkat baik secara pribadi maupun kelembagaan.
Faktanya, bila ada warga kritis, BPD kritis itu malah bagi kades dan perangkat tidak berkenan. Penting juga, kades dan perangkat desa turun di setiap rapat-rapat di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (WR) untuk menjelaskan postur dan penggunaan dana desa.
Tidak hanya semata-mata mengandalkan papan informasi, baliho, banner dana desa yang dipasang di titik-titik strategis desa.
Masuk sebagai upaya pencegahan juga adalah perlunya kementerian-kementerian terkait bersinergi mewujudkan program "Advokat Masuk Desa, Paralegal Masuk Desa serta Klinik Hukum"Â di setiap desa.
Pemdes perlu mendapat pendampingan advokat dari Organisasi Bantuan Hukum (OBH) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terakreditasi. Upaya preventif ini perlu diupayakan untuk mencegah para putra-putri terbaik bangsa yang saat ini menjadi kepala desa, tidak masuk bui.
Sebagai contoh saja, bahwa selama ini kantor pusat Lembaga Bantuan Hukum Perisai Kebenaran selalu aktif turun ke warga kecil di desa-desa, utamanya di wilayah eks Karesidenan Banyumas (Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara) melakukan penyuluhan hukum gratis dan menerima konsultasi hukum gratis sebagai bagian dari program Non Litigasi.
Beberapa kali penyuluhan hukum bertema UU Tipikor disuguhkan, tema itu adalah permintaan dari pemerintah desa.
Artinya, penyuluhan hukum, utamanya bertema UU Tipikor amat sangat perlu di masifkan keberadaannya di desa-desa.
Semoga saja.....
------------
(*). Penulis.
Sugiyantoro,S.Ag.
(Kepala Bagian Pengelolaan Media Sosial pada Kantor Pusat Lembaga Bantuan Hukum Perisai Kebenaran).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H