"Tingneng...tingneng..!"
Suara lonceng delman membuyarkan lamunan Hasan, tatapan teduh perempuan berhijab warna biru muda di depannya membuat Hasan sedikit kikuk, ketahuan ngelamun membuat Hasan tersenyum kecil.
"Sedari tadi Aa diem melulu, ngelamun ya?" Tanyanya dengan suara lembut.
"Iya nih, terkenang kampung dan akhirnya tiba juga aku kembali," ujar Hasan setengah bergumam.
Kampung kecil di kaki gunung Ciremai selalu memantik hasrat untuk kembali, namun Hasan menguatkan hati untuk tidak bersegera pulang kampung.Luka lama itu teramat perih untuk di obati, ia merasa telah membuat Abah menanggung malu sampai maut menjemput nyawa Abah, terkenang kembali puluhan tahun silam saat ia dipermalukan oleh sang Paman dengan tuduhan mencuri gabah, tuduhan yang menyakitkan karena ia tak melakukan hal tersebut. Namun sang Paman dengan arogansinya tetap keukeuh menuduh Hasan meski tanpa bukti yang jelas.
Yang membuat Hasan sedih, Abah ikut ikutan kecewa dan menganggap Hasan anak yang kurang ajar karena berani beraninya mencuri gabah milik paman sendiro, sejak peristiwa tersebut, Abah sakitnya bertambah parah hingga akhirnya Abah tutup usia.
Usai pemakaman Abah, Hasan memutuskan merantau dan kampung bukan lagi tempat yang nyaman untuk di tinggali, apalagi Paman begitu membencinya dan hinaan hampir ia terima tiap hari. Mentang mentang punya jabatan seenaknya saja menghina orang.
"Sudah sampai.."
Suara pak kusir  mengejutkan Hasan, ada tawa tertahan dari perempuan yang menemaninya dalam perjalanan. Hasan membayar ongkos delman, pak kusir mengucapkan terima kasih berkali kali saat Hasan mengatakan kembaliannya ambil saja.
Hasan menggapit tangan perempuan berhijab biru, tatapan Hasan memandang arah rumah berpagar bambu, dan mereka pun melangkah menuju rumah bercat putih.
"Assalamualaikum."
Tak lama kemudian terdengar jawaban dan pintu pun terbuka, beberapa jenak suara terdengar riuh antara tangis dan dan seruan kegembiraan.
"Ya Allah...Hasaaannn...kamu kembali juga!"
Tak lama kemudian Hasan memeluk perempuan yang membukakan pintu, dia adalah Teh Okti kakak semata wayangnya, kemudian setengah berteriak dengan luapan suka cita
"Emak ieuh si bungsu uih."
Hasan tersenyum melihat kehebohan kakaknya saat menyambutnya, Hasan menuju dalam rumah dan inilah kali pertama sejak sepuluh tahun terakhir ia berada di rumah yang ia kangeni di perantauan.
Hasan memasuki kamar Emak dan mengucapkan salam takzim, terlihat Emak menggenggam Al Qur'an, menjelang lebaran biasanya Emak mampu mengkhatamkan Qur'an dua kali, begitu ingatan Hasan tentang Emak di bulan puasa.
       *********
Senang rasanya berada di rumah setelah satu dasawarsa berada di rantau, saat berbuka bisa menikmati pepes ikan mas dan lodeh, ketemu juga si Tika yang sudah kelas 2 SMA dan si kembar Nana Neni yang sekarang duduk di kelas dua SD.Aha suasana kamar yang tak berubah dengan poster rockstar Bon Jovi.
Roro sedang membantu Teh Okti beres beres di dapur, dan Hasan berada di ruang tengah bersama Emak.
"Eta Hasan kok bisa aja ya milih istri yang geulis," goda Emak tersenyum tipis.
"Wajar atuh Emak, dapetin isteri yang cantik mah, pan anak Emak juga ganteng kan?" Ungkap Hasan tertawa lebar.
Ibu dan anak tertawa bahagia, teramat lama moment kebersamaan itu hilang di rumah, sejak Hasan memutuskan merantau ke Surabaya dan Abah meninggal tak ada sosok lelaki yang menjaga rumah. Kini Hasan kembali dan bahagia rasanya berkumpul kembali.
"Ngomong ngomong Mang Jaja sekarang gimana kabarnya Mak?" tanya Hasan.
Terlihat Emak menghela nafas, kemudian Emak bercerita tentang Mang Jaja, seputar runtuhnya kejayaan Mang Jaja beserta anggota keluarga. Mang Jaja sempat ditahan karena kasus korupsi saat jadi camat, anak lelaki Mang Jaja yang menjadi polisi dipecat karena ketahuan membekingi pencurian kayu, sedangkan anak bungsu Mang Jaja, Mita hamil diluar nikah saat kuliah di Bandung.
Hasan tercekat mendengar penjelasan dari Emak, tak menyangka jalan kehidupan adik Abah begitu tragis.
"Sekarang Mang Jaja terpaksa di pasung," ujar Emak dengan suara lirih.
"Kok di pasung,kenapa Mak?"
"Sejak keluar dari tahanan dan menerima kenyataan anak anaknya seperti itu, pikiran Mang Jaja menjadi kacau, mungkin depresi atau gimana gitu, kerap mengamuk dan membahayakan orang orang.Akhirnya terpaksa Mang Jaja dipasung." Papar Emak panjang lebar.
Hasan bergidik mendengar penjelasan Emak, seorang yang dulu dihormati kini malah menjadi gila.
       **********
Sehari lagi bulan puasa akan berakhir, besok lebaran akan tiba, Hasan menikmati liburan lebaran di kampung, bertemu kembali dengan teman masa kecilnya. Terbayang nostalgia berenang di sungai Cipager, main layangan di sawah Kadoya atau mungutin mangga di bukit Bubulak.
Rajawetan tetap menjadi kampung yang sejuk dengan hawa pegunungan. Tadi pagi Hasan berkunjung ke rumah Mang Jaja, rumah megah itu kini tak terawat, hanya ada bibi sendirian, dan Hasan sempat menengok Mang Jaja.
Mantan camat yang dulu berwibawa itu, kini meracau tak karuan, ah Mang Jaja menjadi gila dan terpasung di belakang rumah. Sempat Hasan memberikan beberap lembar seratus ribuan untuk Bibi, berkali kali Bibi mengucapkan terima kasih padanya.
"Tragis juga ya Mak nasib Mang Jaja,"ungkap Hasan pilu.
Emak mengangguk pelan, tangannya mengisikan beras ke kulit ketupat. Hasan menatap ke arah gunung Ciremai yang berdiri anggun. Ah ternyata memang jalan hidup orang tidak pernah ada yang menyangka.
Dahulu ia dihina oleh Mang Jaja dengan hinaan sehina hinanya,Mang Jaja yang pongah karena pangkat dan jabatan, tapi kini Mang Jaja jadi hilang ingatan. Bagaimana pun Mang Jaja adalah adik Abah,paman baginya.
" Mungkin selepas lebaran kita bawa Mang Jaja kita bawa ke rumah sakit jiwa untuk dirawat,"ujar Hasan kepada Emak.
"Lho kok kamu mau maunya seperti itu Hasan?"
"Nggak apa apa Mak, dulu memang Mang Jaja jahat, biarlah semuanya telah dibalas oleh Allah SWT, bagaimana pun Mang Jaja adalah adik abah, paman Hasan Mak, biar Hasan yang akan menanggung biaya perawatannya."
"Kamu itu memang San, anak Abah yang baik, bangga Emak padamu," ucap Emak terharu.
Hasan tersenyum, saatnya melupakan jahatnya Mang Jaja padanya. Dihari fitri saatnya saling memaafkan dan pulangnya ia ke kampung halaman adalah berdamai dengan masa lalunya.Hasan lega, memelihara dendam memang tak perlu, saatnya berbesar hati saling memaafkan di hari yang fitri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H