Selain judul sandiwara radio yang melegenda, nama nama seperti Ferry Fadli, Elly Ermawati, Ivana Rose, Edi Dosa dan juga M Aboed menjadi idola karena peran mereka dalam sandiwara radio. Kenapa BNPB seperti berjudi untuk memilih radio sebagai sarana informasi dan edukasi tentang bencana? Padahal untuk saat ini beragam informasi bisa di dapat dengan mudah, era televisi swasta begitu mendominasi belum lagi akses internet yang secara real time bisa di nikmati dengan segera, mengapa harus radio? Ada apa dengan radio yang masa jayanya telah berlalu.
Optimalisasi sosialisasi bencana bagi BNPB bukan hal yang baru, beragam penyuluhan bencana pernah di buat oleh BNPB, untuk hal ini BNPB pernah menggelar sosialisasi dalam bentuk pertunjukan tradisional seperti pagelaran wayang golek di daerah Jawa Barat, wayang kulit untuk basis penikmat di daerah Jawa Tengah dan Jogjakarta. BNPB pun menggandeng sineas kenamaan tanah air yakni Riri reza dan Mira Lesmana untuk pembuatan film Pesan Dari Samudra dan Nyanyian Musim Hujan.
Radio di pilih sebagai medium untuk memasukan unsur edukasi tentang bencana, di daerah pedesaan sarana radio masih tetap di minati, hadirnya sandiwara radio berjudul Asmara di Tengah bencana yang skenarionya di tulis oleh S Tidjab di harapkan menjadi lokomotif baru agar masyarakat lebih peduli bencana.
Legenda Itu Bernama S Tidjab
Sisi lain dari hebatnya S Tidjab menulis sandiwara radio adalah kisah tentang Mahkota Mayangkara yang berseting di kisah kehidupan Kala Gemet alias prabu Jayanegara raja Majapahit yang nyaris terjungkal tahtanya karena pemberontakan berbahaya Rakuti. Mahkota Mayangkara begitu lugas mengupas pemberontakan yang nyaris membuat Majapahit tutup layar karena dahsyatnya pemberontakan Rakuti.
Cerita S Tidjab begitu memikat sehingga BNPB pun kepincut untuk membuat sebuah roman dalam sandiwara radio bertitel Asmara di Tengah Bencana yang mengisahkan tentang kerajaan Mataram yang menghadapi bencana amukan gunung Merapi, tentang pernak pernik putera Temanggung yang di jodohkan namun asmara berkata lain, konflik tentang asmara Raditya dan Puspaningrum menjadi bumbu pemanis sebelum akhirnya Raditya bertemu gadis desa anak Ki Lurah bernama Sekar Kinanti, bagaimana kisah mereka? Nyok di simak saja di radio radio kesayangan di kota anda.
S.Tidjab yang terlihat bugar di usianya yang ke 79, terus berkarya dan menghasilkan cerita cerita dengan filosofi membumi, tak heran karya karya beliau selalu di minati oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan.
Memupuk Budaya Siaga Bencana Sebuah Renungan Untuk Kita
Bencana teramat akrab di telinga kita, tentu masih ingat saat tsunami Aceh yang begitu dahsyat, belum lagi ratusan kali bencana tanah longsor, langganan banjir Jakarta dan juga kota kota lain, gempa bumi yang meluluh lantakan bangunan di atasnya. Untuk soal donasi dana sangat mungkin masyarakat Indonesia teramat peduli, sumbangan berbagai bentuk mengalir deras, bahkan yang unik dari perilaku masyarakat Indonesia adalah pusat bencana terkadang menjadi ‘tujuan wisata’.
Jubelan wisatawan dadakan di tempat bencana seakan menjadi trend baru, entahlah apakah masyarakat kita teramat kepo bahkan untuk sebuah bencana?Allahualam. Patut kita renungkan pernyataan Pak Soetopo saat acara nangkring Kompasiana-BNPB, seiring waktu berjalan, setelah bencana di anggap tak ada lagi, di situlah lupa berjamaah hadir, bangunan bangunan yang tak seharusnya di bangun kembali di pusat bencana tetapi itu di abaikan, sehingga jika terjadi bencana untuk kali kedua maka dipastikan semua akan mengalami dampak yang sama.