Si Topeng baru saja usai menyaksikan upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di alun-alun kecamatan terdekat. Tidak ada yang istimewa, semuanya berlangsung sama seperti biasanya sejak ia mengenal 17 Agustus yang diperingati setiap tahun. Bahkan, kali ini terlihat jauh lebih sepi, karena sejumlah perlombaan tradisional khas 17-an ditiadakan karena waktunya bertepatan dengan bulan puasa. Ia pun langsung kembali ke tempat kosnya.
"Apa makna kemerdekaan yang dapat diambil?" pikir si Topeng sambil terduduk di atas kursi tua.
Sejumlah buku di atas meja ia raih. Lalu, ia sempat baca-baca sekilas. Hingga sampai pada bacaan mengenai penjajahan Belanda di Indonesia. Matanya masih terus tertuju pada sebuah tulisan Ignas Kleden berjudul "Negara Baru Masyarakat Baru : Revolusi Nasional Indonesia Dalam Tinjauan Sosiologis Komparatif".
"Hmm...mungkin ini, yang menjelaskan mengapa penjajahan Belanda di Indonesia jauh lebih parah, bila dibandingkan dengan penjajahan Inggris di India, misalnya" komentar si Topeng dalam hati.
Penjajahan Belanda di Indonesia pada dasarnya merupakan kapitalisme monopolistis ortodoks yang didasarkan pada usaha agroindustri. Kepentingan utamanya adalah mengambil bahan makanan atau bahan baku bagi industri dari daerah jajahan, untuk kemudian dibawa dan dijual ke kota-kota industri di Eropa. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah kolonial Belanda harus menyingkirkan kelas menengah pribumi sebagai pesaingnya, sambil mendapatkan tenaga kerja yang semurah mungkin.
"Adalah logis bahwa strategi ini mengakibatkan menurunnya, bahkan hancurnya kelas menengah pribumi..." jelas penulis.
Hubungan antara ekonomi negara penjajah dan daerah jajahan ditandai oleh proporsi yang amat tidak seimbang antara ekspor dan impor. Soekarno sempat menyitir pendapat seorang ahli statistik, dengan mengatakan:
"Kalau kita bandingkan angka-angka di Hindia dengan angka-angka negeri lain.... maka ternyatalah, bahwa tidak ada satu negeri di muka bumi yang procentage uitvoeroverschot-nya begitu tinggi seperti di Hindia Belanda.."
Kata Soekarno, proporsi impor dan ekspor di Hindia Belanda tahun 1927 adalah 1:2,2. Hal ini berarti bahwa jumlah ekspor jauh lebih tinggi, 220% dari impor. Watak agroindustri dari kolonialisme Belanda secara jelas diperlihatkan oleh kenyataan bahwa 75 % dari seluruh ekspor dari Hindia Belanda pada tahun 1927 berasal dari hasil pertanian.
"Hmm.. sebuah bentuk eksploitasi habis-habisan dari sumber daya alam Indonesia, semata untuk keuntungan sang penjajah..." simpul si Topeng.
Kini, si Topeng mulai memahami pula, mengapa penjajahan Inggris di India lebih "beruntung" dibandingkan penjajahan Belanda di Indonesia. Menurut Soekarno, penjajahan Inggris di India didasarkan atas kapitalisme semi-liberal yang ditimbulkan oleh perkembangan industri di Inggris. Perkembangan industri di kota-kota di Inggris membutuhkan negara jajahan sebagai pasar baru bagi hasil-hasil industrinya.
Agar rakyat di daerah jajahan, terutama di India, mampu membeli barang-barang, maka mereka harus memiliki daya beli yang memadai. Inilah sebabnya bahwa kelas menengah pribumi di India tidak dihancurkan oleh Inggris. Justru sebaliknya, cukup digalakkan karena kelas menengah inilah yang dianggap akan memainkan peranan penting sebagai perantara yang menghubungkan ekonomi negera penjajah dengan ekonomi daerah jajahan.
".... Sebuah latar sejarah yang amat mungkin masih membekas hingga sekarang, Indonesia masih kekurangan kelas menengah, dimana para pengusaha menjadi tulang punggungnya..... sebaliknya, menjadi karyawan atau pegawai, apalagi PNS.. dianggap jauh lebih aman bagi sebagian terbesar warga bangsa ini..."pikir si Topeng lagi.
Namun demikian, penjajah ya tetaplah penjajah, demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri semata. Maka, ketika ekonomi daerah jajahan telah berkembang tetap saja diupayakan agar tidak menjadi saingan bagi ekonomi negara penjajahnya.
Itulah yang terjadi pada penjajah Inggris dengan koloni-koloninya di benua Amerika. Kaum merkantilis Inggris bersikeras agar negeri jajahan tidak bisa beranjak naik pada ekonomi manufaktur, sebuah tingkatan ekonomi yang berada di atas ekonomi pertanian. Benturan kepentingan inilah yang menginspirasi pentingnya kemerdekaan Amerika Serikat, terlepas dari kekuasaan Inggris, pada abad ke-18.
Belum juga si Topeng memberikan kesimpulan dari bacaan yang terakhir, pintu kos diketuk. Sang tamu pun masuk. Ternyata, dia adalah teman si Topeng saat duduk di bangku SD, yang kini telah menjadi dosen di Jakarta. Si Topeng pun cerita tentang apa yang baru saja dibacanya.
"Apa Peng?" tanya sang teman agak heran.
"Iya, saya sedang mencari tahu apa makna kemerdekaan bagi bangsa kita?" tanya si Topeng dengan nada suara dan mimik wajah yang cukup serius.
"Hahahahahahahahaha... Peng..Peng... tumben, kamu pinter dan bisa serius seperti itu.. Hahahahahahahahahahaha...." sindir sang teman.
"Saya lagi bersyukur, Bro. Negeri kita bisa merdeka berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa. Meskipun, saya belum sempat menikmati bangku kuliah seperti ente, sobat..." balas si Topeng.
"Hahahahahahahaha.. jadi balas menyindir, nih? Hahahahahahahaha..."
"Mana mungkin, saya yang bodoh ini berani menyindir.... jadi apa menurut ente makna kemerdekaan saat ini?" kata si Topeng
"Peng.... Peng... Kita memang sudah merdeka, negeri ini punya banyak hal... wilayah strategis yang sangat luas, sumber daya alam cukup melimpah, sumber energi luar biasa, penduduk sangat besar...."
"Jadi, apanya yang kurang?" tanya si Topeng memotong.
"Kurang kenyang korupsi... Hahahahahahahahaha.... Katanya sih, sekarang kita dijajah oleh politisi yang suka korupsi..." jawab sang teman agak bercanda.
"Kurang kenyang korupsi, karena dijajah oleh politisi yang suka korupsi? Hahahahahahahahahahahaha....." komentar si Topeng ikut menimpali.
"Iya, katanya sih beneran Peng..."
"Pantesan, nasib rakyat masih jalan di tempat... Hahahahahahahaha...."
"Rakyat itu, ya termasuk kamu, Peng.... Hahahahahahahahahahaha....."
Si Topeng sempat terdiam agak terkaget.
"Iya juga, ya..... Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha...."
"Merdeka...!!! Merdeka..!!! Prok..Prok..Prok.. Hahahahahahahahahahahaha.."
Mereka pun masih terus tertawa-tawa bersama. Mentertawakan dirinya sendiri, juga bangsanya sendiri.....***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H