Sabtu siang itu di sebuah rumah minimalis di kawasan Karawaci.
"Ayah, besok aku ikut event lari marathon di Senayan" ucap sang anak kepada ayahnya yang sedang duduk di sofa memangku laptopnya.
"Oh ya? Kondisi cuaca sedang tak menentu belakangan hari ini. Kamu yakin fisikmu kuat?" tanya sang ayah.
"Kuat dong. Aku kan masih muda... hehehe" ucap sang anak sambil tertawa kecil.
"Kalau gitu hari ini istirahat. Supaya besok fisikmu lebih prima" kata sang ayah.
"Iya. Aku hari ini di rumah saja kok." jawab sang anak.
"Berusahalah keras untuk jadi pemenang. Jangan cepat menyerah" ucap sang ayah.
"Sulit ayah. Pesertanya ribuan. Pastinya di antara mereka ada atlet-atlet berpengalaman" kata sang anak.
"Kalo gitu kenapa kamu ikut bila sudah tahu batas kemampuanmu sendiri?" tanya sang ayah.
"....yaaa, karena aku pengen ikut aja ayah" jawab sang anak.
"I see..." ujar sang ayah.
"Berjanjilah satu hal untuk ayah" kata sang ayah.
"Apa itu?" tanya sang anak.
"Jangan kamu bawa pulang medalimu ketika kamu kalah" ucap sang ayah.
"Lho kenapa, ayah?... itu kan tanda keikutsertaanku?" kata sang anak.
"Karena yang akan kamu bawa pulang adalah simbol kekalahan" ujar sang ayah
"Hah?"
Sang anak terkejut dengan jawaban sang ayah.
"Begitupula dengan semua medali yang kamu pajang di dinding kamar. Ayah tak habis pikir, bagaimana bisa kamu begitu bangga dengan simbol kekalahan dirimu sendiri?" ucap sang ayah.
"Jaman ayah dulu yang ikutan kompetisi adalah para pejuang. Di ujung garis finish hanya ada pemenang dan pecundang. Bukan kolektor medali" ujarnya lagi.
"Ta-tapi yah......"
Sang anak kehabisan kata-kata.
"Tak semua hal di hidupmu harus menjadi bahan konten" lanjutnya sambil tersenyum.Â
"Sudah sana, masuk kamar. Istirahat yang cukup. Supaya besok fisikmu lebih prima. Kan kamu masih muda... kata sang ayah sambil menutup laptopnya.
* * *Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H