Mohon tunggu...
Topaz Aditia
Topaz Aditia Mohon Tunggu... Musisi - Bohemian Thinker

Pemetik Dawai Dawai Lucu | Petualang Roda Dua | Peselancar Literatur | Arsenal FC

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siti Ariah: Sebuah Folklore dari Jembatan Ancol

20 Oktober 2022   16:10 Diperbarui: 20 Oktober 2022   22:33 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kaskus.co.id

Sepeninggal sang ayah mereka diusir dari rumah lantaran tak mampu melunasi hutang-hutang sewa rumahnya. Keluarga itu akhirnya ditampung oleh seorang juragan di daerah Kali Besar. 

Jakarta, abad ke-18, dari balik dinding bambu itu Siti Ariah menyenandungkan lagu-lagu keroncong berbahasa Belanda. Ia hidup bersama ibu dan kakaknya dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana. Rumah paviljoen itu berada di emperan sebuah rumah mewah di milik Babah Liem(*), seorang juragan sawah keturunan Tionghoa. Sang bunda bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Liem. Sang kakak membantu sang majikan menggarap sawah-sawahnya. Sedangkan Ariah menghabiskan kesehariannya dengan berjalan mencari kayu bakar dan telur ayam hutan sepanjang daerah Sunter sampai Ancol. Sebagian besar dari daerah tersebut masih diliputi hutan dan rawa-rawa.

Hari itu awalnya tampak berjalan seperti biasa bagi keluarga sederhana itu. Namun siang itu, ketika baru saja tiba di depan pintu rumah, Ariah dikejutkan oleh ssuara dari seseorang yang memanggilnya. Orang itu bernama Oey Tamba Sia(*), seorang tauke muda yang namanya cukup tersohor saat itu. Dia tampak terkesima dengan kecantikan Ariah. Hari itu secara kebetulan Tamba Sia sedang melewati daerah Kali Besar bersama kedua orang centengnya, Piun dan Sura, dengan kudanya.

Oey Tamba Sia Sang Durjana

Tamba Sia adalah putra dari Oey Thoa, seorang saudagar berdarah Tionghoa asal Pekalongan, yang memiliki bisnis perkebunan opium dan toko sembako terbesar di daerah Toko Tiga, Jakarta pada 1830-an. Oey Thoa tak cuma dikenal karena kekayaannya. Ia juga masyhur karena sifat kedermawanananya. Selain itu, Oey Thoa juga seorang warga terhormat dengan jabatan sebagai Luitenand der Chinezen atau Letnan Etnis Tionghoa di Batavia. Gelar tersebut didapatnya karena kedekatannya dengan Mayor Tionghoa, Tan Eng Gan, yang dikenal sebagai Ketua Dewan orang-orang Tionghoa. Oey Thoa wafat setelah hanya beberapa tahun menjabat. Atas jasanya, Oey Thoa mendapat gelar kehormatan dari otoritas setempat, yakni Oey Thay Lo yang berarti "Oey yang besar dan tua". Dia meninggalkan warisan usaha dan harta kekayaan pada ke tiga anaknya. Namun sejarah mencatat bahwa sebagian besar dari warisan harta kekayaan tersebut dikuasai oleh Tamba Sia, yang saat itu baru berusia 15 tahun.

Namun sayangnya, sifat baik dan budi pekerti dari sang ayah sama sekali tidak dimiliki olehnya. Oey Tamba Sia terkenal sebagai seorang pemuda yang gemar berjudi, pecandu opium, dan yang paling tersohor adalah reputasi buruknya sebagai playboy yang tak pernah puas dengan satu wanita. Dia bahkan memiliki sebuah bungalow di daerah Ancol yang dinamai Bintang Mas, tempat di mana dia hidup bak sultan bersama para haremnya. 

Ariah tidak mengindahkan panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Dibanding kakaknya, Ariah memang memiliki paras yang lebih cantik. Dengan fisik yang terlihat lebih dewasa dari usianya yang baru menginjak 16 tahun. 

"Ariah, kenapakah tidur?" ujar kakaknya seperti tak senang melihat Ariah membaringkan badannya di kasur.

"Seperti putri Belanda saja sikapmu siang-siang begini tidur. Tak lihat cucian piring yang bertumpuk?" ucapnya.

"Apakah Mpok tidak tahu di depan rumah kita ada Oey Tamba Sia? Kamu tahu kan siapa dia? Jawab Ariah

"Iya, memangnya kenapa?" Kata kakaknya.

"Aku buru-buru masuk agar dia tak melihat wajahku dengan jelas. Sebab kalau tidak, bisa jadi aku dibawanya Bintang Mas untuk dijadikan gundiknya," tutur Ariah halus.

"Kenapa tidak? Bukankah tidak apa-apa menjadi gundik orang kaya?" ujar kakaknya Ariah lagi.

"Aku tak akan menjual kehormatanku demi harta. Lebih baik aku hidup miskin dengan kain lusuh di tubuh tapi aku masih memiliki harga diriku" ucap Ariah sambil menyunggingkan senyum manisnya.

Sementara di luar rumah, Oey Tamba Sia pun berlalu dengan kudanya bersama dengan dua orang pengawalnya. Hari itu ditutup tanpa drama berarti. 

... dan datanglah lamaran itu

Namun beberapa hari kemudian, datanglah sebuah momen yang tak terduga. Babah Liem, sang majikan datang melamar Ariah lewat sang ibunda. Ariah menangis tersedu-sedu kala berita itu disampaikan ibunya.

"Mak, Ariah enggak mau jadi gundik Babah Liem. Istrinya kan sangat baik, Ariah enggak mau jadi madu" ucapnya dalam tangis. 

Sang bunda marah mendengar ucapan Ariah. "Ariah, jangan tidak tahu terima kasih. Ini kesempatan kita membalas budi semua jasa Babah Liem. Apa kamu berani menolak keinginan orang yang sudah banyak berjasa kepada keluarga kita?" ujarnya. 

Ariah menjawab, "biar kita miskin, kita harus punya harga diri, Mak. Jangan lantaran miskin kita jual semua, termasuk kehormatan dan harga diri kita,"

Dia Meninggalkan Rumah Untuk Selamanya

Keesokan pagi setelah ayam berkokok, Ariah seperti biasa bersiap-siap pergi keluar rumah untuk mencari kayu bakar, sayuran dan telur ayam hutan. Namun tidak seperti biasanya, Ariah kali ini mencium tangan ibunya lama sekali. Sang bunda tak menyadari bahwa sesungguhnya Ariah memberikan salam perpisahan. 

Hingga sore hari, ia tak kunjung pulang ke rumah. Ariah terus berjalan hingga ke Jembatan Ancol, sambil membiarkan angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang panjang. Ia tak ingin kembali pulang, tapi ia juga tak tahu hendak ke mana. Hanya tersisa sebungkus nasi timbel untuk bekalnya hari itu. Saat baru hendak duduk, tiba-tiba saja dua orang laki-laki berpakaian hitam membekap Ariah dan memiting kedua lengannya. Ariah terkejut dan seketika refleks melawan. Tapi, sekuat apa pun ia memberontak, Ariah tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman Piun dan Sura, dua centeng pengawal Oey Tamba Sia, yang sudah mengikutinya dari daerah Sunter. 

Tenaga seorang perempuan mungil berusia 16 tahun itu yang tak sanggup melawan kekuatan dua orang laki-laki dewasa. Piun membekap mulut dan hidung Ariah dengan sarung agar gadis muda itu berhenti memberontak. Namun malang, hal itu justru membuat Ariah kehilangan nyawanya. Ariah meregang nyawa akibat saluran pernapasannya tertutup.

"Un, gimana nih? Kan kita disuruh Babah Oey bawa si Ariah. Kenapa jadi mati begini?" ucap Sura melepaskan pegangannya saat Ariah berhenti bergerak.

"Waduh, bahaya. Ayo kita pulang aja deh. Lemparin aja nih mayat ke kali. Kalau ketahuan bisa berabe kita. Apalagi opas-opas Belanda itu juga rajin patroli," ujar Piun.

Jenazah gadis malang itu pun dilemparkan ke kali di bawah jembatan. Piun dan Sura pulang sambil tertunduk lesu membayangkan makian dari sang majikan Oey Tamba Sia yang bakal mereka terima. Bagaimana tidak, gadis yang diincar majikannya itu justru meninggal di tangan para pengawalnya sendiri.

Satu abad pun berlalu...

Pada pertengahan 1950an, seorang pendayung perahu dan penumpangnya mengitari kali ketika daerah Ancol yang saat itu masih berupa empang-empang (tambak). Penumpang tersebut minta diturunkan di dekat jembatan dan membayarnya dengan sejumlah uang. Setelah turun, sosok perempuan yang sebelumnya menumpang perahu itu menghilang di kegelapan. Sang pendayung sungguh terkejut ketika lembaran uang yang tadi diperolehnya berubah menjadi daun.  

Selang satu dekade sesudah kejadian tersebut, sebuah mobil pickup berjalan melewati jembatan Ancol. Sesosok perempuan cantik terlihat melambaikan tangan kepadanya. Sang supir tertegun melihat wajah cantik perempuan itu. Kemudian... perempuan itu secara tiba-tiba menyeberang jalan. Sang sopir tak mempunyai pilihan lain selain menginjak rem dalam-dalam dan membanting setir ke arah kiri. Mobil pickup itu menabrak pagar jembatan dan terhempas ke kali di bawahnya. Sang supir tewas ditempat. 

Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1990. Seorang penjual rokok bernama Anshori membuka pertama kali kios rokoknya tepatnya di samping jembatan goyang. Saat itu suasana agak gerimis di malam Jumat, Anshori sedang menunggui kiosnya. Sekitar pukul 1 pagi, lewat seorang perempuan. Ketika sudah agak jauh, perempuan itu berbalik arah menghampiri kios Anshori sembari tersenyum. Anshori menyapa perempuan yang dikiranya calon pembeli dagangannya itu. Jarak Anshori dengan perempuan itu kira-kira 50 cm. Menurut Anshori, perempuan itu berwajah manis. "Mau beli apa? tanya Anshori kepadanya. Perempuan itu tak menjawab dan perlahan-lahan sosoknya menghilang ditelan udara. 

Pada 1995, seorang pelukis di kawasan Pasar Seni Ancol didatangi sesosok perempuan yang minta dilukis potret dirinya. Ketika itu hari telah gelap dan gerimis mulai turun. Sesuai permintaan perempuan tersebut, sang pelukis mulai menyapukan kuasnya pada permukaan kanvas. Namun, saat sang pelukis baru menggambar setengah bagian tubuhnya, perempuan itu menghilang.

Cerita gentayangnya sosok yang disebut sebagai si Manis tercatat dalam sebuah surat kabar Keng Po tahun 1950. Artikel berita tersebut menuliskan keterkaitan antara penampakan sosok perempuan dengan sejumlah kecelakaan lalu lintas yang sering membawa korban manusia di Jembatan Ancol.

Sebuah hikayat menceritakan bahwa sosok si Manis sebenarnya adalah arwah penasaran dari Siti Ariah yang ingin membalas dendam kepada kaum pria yang telah membunuhnya. Sekaligus mencoba memberitahukan sang bunda akan keberadaannya setelah melarikan diri dari rumahnya. 

Di balik kisah ini kita dapat memetik sebuah pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana seorang perempuan muda yang begitu teguh akan prinsipnya menolak gelimang harta dan surga duniawi. Bahkan harus kehilangan nyawa demi mempertahankan marwah dan harga dirinya. 

Catatan:


(*) Babah Liem (Lim Soe Keng Sia) wafat di Jakarta pada tahun 1883. 

(*) Oey Tamba Sia dipidana hukuman gantung atas kejahatannya di lapangan Stadhuis (sekarang Museum Fatahilah Jakarta) pada tahun 1856.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun