Keesokan pagi setelah ayam berkokok, Ariah seperti biasa bersiap-siap pergi keluar rumah untuk mencari kayu bakar, sayuran dan telur ayam hutan. Namun tidak seperti biasanya, Ariah kali ini mencium tangan ibunya lama sekali. Sang bunda tak menyadari bahwa sesungguhnya Ariah memberikan salam perpisahan.Â
Hingga sore hari, ia tak kunjung pulang ke rumah. Ariah terus berjalan hingga ke Jembatan Ancol, sambil membiarkan angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang panjang. Ia tak ingin kembali pulang, tapi ia juga tak tahu hendak ke mana. Hanya tersisa sebungkus nasi timbel untuk bekalnya hari itu. Saat baru hendak duduk, tiba-tiba saja dua orang laki-laki berpakaian hitam membekap Ariah dan memiting kedua lengannya. Ariah terkejut dan seketika refleks melawan. Tapi, sekuat apa pun ia memberontak, Ariah tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman Piun dan Sura, dua centeng pengawal Oey Tamba Sia, yang sudah mengikutinya dari daerah Sunter.Â
Tenaga seorang perempuan mungil berusia 16 tahun itu yang tak sanggup melawan kekuatan dua orang laki-laki dewasa. Piun membekap mulut dan hidung Ariah dengan sarung agar gadis muda itu berhenti memberontak. Namun malang, hal itu justru membuat Ariah kehilangan nyawanya. Ariah meregang nyawa akibat saluran pernapasannya tertutup.
"Un, gimana nih? Kan kita disuruh Babah Oey bawa si Ariah. Kenapa jadi mati begini?" ucap Sura melepaskan pegangannya saat Ariah berhenti bergerak.
"Waduh, bahaya. Ayo kita pulang aja deh. Lemparin aja nih mayat ke kali. Kalau ketahuan bisa berabe kita. Apalagi opas-opas Belanda itu juga rajin patroli," ujar Piun.
Jenazah gadis malang itu pun dilemparkan ke kali di bawah jembatan. Piun dan Sura pulang sambil tertunduk lesu membayangkan makian dari sang majikan Oey Tamba Sia yang bakal mereka terima. Bagaimana tidak, gadis yang diincar majikannya itu justru meninggal di tangan para pengawalnya sendiri.
Satu abad pun berlalu...
Pada pertengahan 1950an, seorang pendayung perahu dan penumpangnya mengitari kali ketika daerah Ancol yang saat itu masih berupa empang-empang (tambak). Penumpang tersebut minta diturunkan di dekat jembatan dan membayarnya dengan sejumlah uang. Setelah turun, sosok perempuan yang sebelumnya menumpang perahu itu menghilang di kegelapan. Sang pendayung sungguh terkejut ketika lembaran uang yang tadi diperolehnya berubah menjadi daun. Â
Selang satu dekade sesudah kejadian tersebut, sebuah mobil pickup berjalan melewati jembatan Ancol. Sesosok perempuan cantik terlihat melambaikan tangan kepadanya. Sang supir tertegun melihat wajah cantik perempuan itu. Kemudian... perempuan itu secara tiba-tiba menyeberang jalan. Sang sopir tak mempunyai pilihan lain selain menginjak rem dalam-dalam dan membanting setir ke arah kiri. Mobil pickup itu menabrak pagar jembatan dan terhempas ke kali di bawahnya. Sang supir tewas ditempat.Â
Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1990. Seorang penjual rokok bernama Anshori membuka pertama kali kios rokoknya tepatnya di samping jembatan goyang. Saat itu suasana agak gerimis di malam Jumat, Anshori sedang menunggui kiosnya. Sekitar pukul 1 pagi, lewat seorang perempuan. Ketika sudah agak jauh, perempuan itu berbalik arah menghampiri kios Anshori sembari tersenyum. Anshori menyapa perempuan yang dikiranya calon pembeli dagangannya itu. Jarak Anshori dengan perempuan itu kira-kira 50 cm. Menurut Anshori, perempuan itu berwajah manis. "Mau beli apa? tanya Anshori kepadanya. Perempuan itu tak menjawab dan perlahan-lahan sosoknya menghilang ditelan udara.Â
Pada 1995, seorang pelukis di kawasan Pasar Seni Ancol didatangi sesosok perempuan yang minta dilukis potret dirinya. Ketika itu hari telah gelap dan gerimis mulai turun. Sesuai permintaan perempuan tersebut, sang pelukis mulai menyapukan kuasnya pada permukaan kanvas. Namun, saat sang pelukis baru menggambar setengah bagian tubuhnya, perempuan itu menghilang.