Di sudut sebuah restoran terlihat seorang ayah bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia pra-remaja. Mereka tampak sedang menikmati kebersamaan di Minggu siang itu.Â
Pemandangan seperti ini sebenarnya sangat membuat hati tenteram. Karena berkumpul bersama keluarga pastinya merupakan sebuah momentum indah yang akan dikenang sepanjang masa oleh masing-masing individu di dalamnya.Â
Namun sayangnya, kali ini bukan itu yang terjadi. Â
Ada sebuah anomali yang saya saksikan sedang terjadi di tengah keharmonisan tersebut. Mereka berkumpul dan duduk berdekatan... namun tanpa suara dan interaksi dengan sesamanya. Sang ayah sedang sibuk scrolling sesuatu di layar hpnya. Sang bunda tampak aktif kedua ibu jari tangannya mengetik teks di hpnya.Â
Sedangkan kedua anaknya terlihat sedang bermain game online. Jangankan mengobrol atau bersenda gurau, adegan saling bertukar pandang satu sama lain saja tidak terjadi. Lalu di mana letak nilai kebersamaannya?Â
Sementara itu di tempat yang sama, sepasang insan dengan gestur pedekate terlihat mengorder dua gelas cappuccino. Duduk terpisahkan oleh sebuah meja kecil, mereka tampak gugup untuk mencari materi awal perbincangan. Sang pria muda sesekali mengucapkan sepatah-dua patah kalimat diiringi dengan senyuman kecil.Â
Disambut oleh sang wanita dengan tertawa sambil menutup bibir menggunakan telapak tangannya. Adegan yang sungguh sangat manusiawi dan wajar terjadi di kehidupan sosial dari masa ke masa. Kali ini saya optimis.Â
Namun tak lama kemudian, semua menjadi hening.Â
Dua gelas cappuccino pesanan yang baru saja diantar oleh seorang waitress seolah menjadi penutup semua kisah di atas. Ketika masing-masing dari pasangan tersebut mengeluarkan hpnya dan mulai sibuk dengan dunianya masing-masing.Â
"jiwa-jiwa hampa di tengah gempita teknologi. Mereka telah menciptakan surganya sendiri. Tanpa proses kematian"
Media sosial: Hegemoni Marxis ortodoks di balik kebebasan berekspresi
Seorang sahabat bercerita tentang perilaku seorang teman wanitanya yang cenderung "eksentrik" belakangan ini. Menurut dia, temannya yang satu ini selalu memantau berapa jumlah "like" yang dihasilkan selepas posting sesuatu di Instagram. Wajahnya tampak sumringah apabila jumlahnya "like"nya banyak, namun seketika berubah murung dan uring-uringan ketika jumlahnya sedikit.Â
Selain itu, dia cenderung memperhatikan siapa saja teman-teman yang memantau IG storynya, sekaligus kerap mempertanyakan alasan mereka yang unfollow/tidak follow akunnya. Di akhir ceritanya saya hanya bisa berkomentar: "Jadikan dia antithesis role model untuk dirimu sendiri"Â
"Healing" Menjadi "Kunci"Â
Liburan. Secara harfiah adalah berwisata. Sekaligus menjadi ajang istirahat lahir batin. Menjauhkan diri dari rutinitas-rutinitas harian yang cenderung monoton.Â
Terutama untuk mereka para pekerja di kota Metropolitan yang kesehariannya terjebak di tengah-tengah kemacetan lalu-lintas dan tuntutan wacana-wacana omong kosong yang biasanya datang dari pimpinan perusahaannya.Â
Seiring waktu, lahirlah istilah "healing ke Bali" dari mereka yang awalnya menjadikan Pulau Dewata sebagai destinasi favorit untuk proses "restorasi jiwa".Â
.... dan inilah yang biasanya terjadi.
Setelah waktu berhasil diatur. Tiket dan akomodasi sudah terbayarkan. Semua kebutuhan sudah masuk ke dalam koper. Maka berangkatlah mereka dengan hati yang bahagia menuju destinasi impian. Terdengar sempurna bukan? Tentu saja tidak.Â
Ada satu hal "penting" yang tak lupa mereka lakukan. Yaitu, membuat dokumentasi berupa foto-foto dan video sebagai konten akun media sosialnya masing-masing.Â
Dari mulai adegan packing, berangkat menuju bandara, menunggu di boarding lounge, cuplikan video pemandangan dari balik jendela pesawat, tiba di bandara tujuan, menuju hotel, tiba di hotel, makan siang, jalan-jalan ke lokasi tourist attractions, belanja, makan malam, sampai balik ke hotel, semua terekam sempurna bagai sebuah chronicle.
Sungguh, dokumentasi sejarah liburan yang lebih lengkap daripada sejarah perjalanan hidup Nabi Musa.Â
Pertanyaan terbesarnya adalah: bila setiap gerak langkah terdistraksi oleh aktivitas digitasi media sosial.... Lalu di mana letak "HEALING"nya? Karena sepertinya liburan yang sejatinya mereka butuhkan adalah menjauh dari media sosial. Bukan menjauh dari rutinitas harian
"Aku merasa dingin di antara api. Tapi kepanasan di tengah salju. Wahai followersku, apakah kalian tidak sudi mengapresiasi peluh penatku mengumpulkan foto, merekam video, menyeleksi dan mempostingnya sebagai kompilasi dalam bentuk reel dan story? padahal aku lagi liburan! sedang healing! AKU INGIN TERLIHAT BAHAGIA!...AKU BUTUH VALIDASI ATAS TAKDIR YANG KUTULIS SENDIRI!!!"
Selamat datang di kedigdayaan paradoks utopia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H