Mohon tunggu...
Tony Sudirgo
Tony Sudirgo Mohon Tunggu... Dosen - Laki-Laki

Seorang pekerja dan dosen ekonomi dan bisnis yang sedang mempelajari ilmu hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan UU Cipta Kerja Kluster Perpajakan

16 Juli 2022   22:25 Diperbarui: 16 Juli 2022   22:40 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki populasi terbanyak didunia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah dan lokasi geografis Indonesia yang terbilang strategis karena Indonesia termasuk bagian dari wilayah arus lalu lintas perdagangan dari seluruh dunia. 

Hal ini membuat banyak pengusaha dari berbagai negara berkeinginan untuk mendirikan perusahaan di Indonesia. Dengan demikian membuat Indonesia memiliki penghasilan yang dapat diambil dari pajak yang akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tahun 2009 pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang pada orang pribadi maupun badan yang sifatnya memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa menerima imbalan secara langsung dan dipergunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak merupakan sumber pemasukan yang terpenting bagi sebuah negara terutama Indonesia. Pajak itu sendiri mempunyai sudut pandang yang berbeda bagi kedua pihak yang terlibat yaitu pemerintah dan wajib pajak. 

Bagi wajib pajak, pajak merupakan beban yang akan mengurangi pendapatan atau laba perusahaan, apabila laba atau pendapatan yang dihasilkan semakin besar, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. 

Sementara bagi pemerintah, pajak merupakan pendapatan atau pemasukan yang akan digunakan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah. Menurut (Yuniarwati dkk, 2018) beberapa ciri atau karakteristik dari Pajak adalah :

1. Pajak adalah iuran kepada negara.

2. Dipungut berdasarkan undang -- undang.

3. Tidak ada kontra prestasi langsung yang sifatnya individual.

4. Pemungutannya dapat dipaksakan.

5. Untuk membiayai pengeluaran rutin negara.

Di tahun 2018 realisasi penerimaan pajak mencapai 1.521,4 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 14,3% yang merupakan angka pertumbuhan penerimaan tertinggi selama ini.  Akan tetapi masih banyak terjadi perbuatan penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh wajib pajak. 

Penghindaran pajak atau tax avoidance sendiri merupakan usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi beban pajak, dengan cara menghindari pengenaan pajak serta meminimalisir beban pajak perusahaan itu sendiri secara legal dan tidak melanggar peraturan yang ada. 

Menurut (Wahyuni dkk, 2017) tax avoidance adalah hal yang cukup kompleks dan unik, karena praktiknya diizinkan tetapi dilain sisi tidak diperbolehkan. Tax Avoidance atau penghindaran pajak ini dilakukan dengan tujuan untuk menaikan arus kas suatu perusahaan.

Manfaat dari tax avoidance atau praktik penghindaran pajak ini adalah meningkatkan tax saving yang dianggap memiliki potensi untuk mengurangi pembayaran pajak sehingga arus kas perusahaan akan meningkat. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan akan merugikan negara, karena kas negara akan berkurang dan hal tersebut memengaruhi pendapatan negara dalam APBN. 

Untuk mencapai target yang diharapkan yang sesuai dengan APBN, maka penerimaan pajak di Indonesia perlu dirancang agar bisa mencapai tujuan. Untuk itulah penerapan sanksi diperlukan untuk para wajib pajak yang secara jelas dan terang benderang melakukan perbuatan pidana pajak atau perbuatan tidak membayar pajak dengan melanggar ketentuan peraturan yang ada secara nyata agar hukum dapat ditegakkan.

Akan tetapi di awal tahun 2020 secara tiba-tiba Indonesia ikut terkena dampak pandemi Covid-19 yang menimpa hampir semua negara di dunia ini. Kejadian ini menyebabkan pelambatan ekonomi yang pada akhirnya ikut menyeret pelaku usaha untuk tidak dapat membayar pajak sehingga penerimaan negara pun ikut merosot tajam.

Untuk itulah pemerintah akhirnya berusaha memberikan insentif bagi dunia usaha dan mendorong iklim investasi yang lebih baik dan lebih mudah dalam proses admnistrasi perizinan dan lain sebagainya dengan melakukan terobosan pembuatan peraturan baru melalui omnibus law yang disebut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau disingkat dengan UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja).

Dalam omnibus law ini ada peraturan-peraturan yang ditambahkan atau diperbaharui sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat ini yang melibatkan banyak sektor, salah satunya adalah sektor perpajakan, yang lebih dikenal dengan Kluster Perpajakan dalam UUCK. 

Penerbitan UUCK Kluster Perpajakan ini bukanlah bermaksud untuk menggantikan Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai.  

Pembuatan UUCK ini dilakukan dalam rangka menjadikan UUCK ini sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus sehingga dapat diterapkan dengan segera sesuai dengan adagium "Lex Specialis derogat Lex Generalis". 

Dalam kluster Perpajakan kemudian diterbitkan juga aturan pelaksanaan nya atau aturan turunan nya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam pertimbangan yang disebutkan dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dinyatakan bahwa UUCK ini dibuat untuk  mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil,  dan  makmur berdasarkan  Pancasila dan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945,  

Negara perlu melakukan berbagai  upaya untuk memenuhi  hak warga negara  atas pekerjaan  dan penghidupan  yang layak bagi kemanusiaan  melalui cipta  kerja; bahwa dengan  cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif  dan tuntutan globalisasi ekonomi;

bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan,  dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem  investasi, dan percepatan proyek strategis  nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan,  

dan pemberdayaan  koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang, sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, 

sehingga  diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan inilah maka terbit UUCK yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan serta mulai berlaku pada tanggal 2 November 2020.

Undang-Undang Cipta Kerja terdiri dari 1.187 halaman dengan pembagian sebagai berikut : Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Perlindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi; 

Pengadaan Tanah; Kawasan Ekonomi; Investasi Pemerintah Pusat Dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional; Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja; Pengawasan dan Pembinaan; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.

Dalam bagian Kemudahan Berusaha di bagian ketujuh diatur lebih lanjut mengenai bidang (kluster) perpajakan yang mengubah beberapa pasal dalam ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (ada di Pasal 111), Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (ada Pasal 112), 

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (ada di Pasal 113).

Untuk mendukung pelaksanaan UUCK tersebut di atas, maka kemudian Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, 

Serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Peraturan turunan ini semuanya dikeluarkan dengan maksud untuk mendukung kemudahan berinvestasi di Indonesia dalam rangka menarik minat investor asing agar mau menanamkan modal investasinya di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha yang berlaku mulai tanggal 2 Februari 2021, perubahan yang terjadi terdapat di dalam Pasal 3 yang mengatur ketentuan mengenai penurunan tarif PPh atas penghasilan bunga obligasi termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dengan ketentuan :

a.         Tarif Pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga obligasi (termasuk Syariah) yang diterima/diperoleh WPLN selain BUT diturunkan menjadi sebesar 10% atau sesuai P3B

b.         Penurunan tarif mulai berlaku setelah 6 bulan terhitung sejak berlakunya RPP Kemudahan Berusaha.

                Selain itu dalam Pasal 4 angka (2) ada pengaturan mengenai kriteria, tata cara, dan jangka waktu tertentu untuk investasi, tata cara pengecualian pengenaan pajak penghasilan atas dividen atau penghasilan lain yang dikecualikan dari objek pajak, serta perubahan batasan dividen yang diinvestasikan, dengan pengaturan sebagai berikut :

a.            Dividen atau Penghasilan Lain yang dikecualikan dari Objek PPh;

b.            Kriteria, tata cara, dan jangka waktu tertentu untuk Investasi;

c.            Tata cara pengecualian pengenaan PPh atas dividen atau penghasilan lain yang dikecualikan dari objek PPh;

d.            Perubahan batasan dividen yang diinvestasikan

Dalam bidang Pajak Pertambahan Nilai di Pasal 5A diadakan perubahan bahwa ruang lingkup pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal (inbreng) bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN. Kemudian dalam Pasal 16 diatur mengenai :

a.         Kriteria PKP yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP.

b.         Sektor usaha tertentu yang diberikan jangka waktu pengkreditan Pajak Masukan lebih dari 3 (tiga) tahun.

c.         Tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan

Dalam Pasal 17, 17A, 19 dan 19A diatur mengenai saat terutang PPN, saat penyerahan BKP/JKP, saat penyerahan BKP secara konsinyasi, saat penyerahan BKP atas inbreng yang tidak memenuhi syarat, serta saat dan tata cara pembuatan Faktur Pajak. Serta dalam Pasal 20 yang mengatur mengenai PKP pedagang eceran yang dapat membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP/JKP secara eceran kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir.

Terkait mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Tata Cara Pemeriksaan, Tata Cara Penerbitan SKP dan STP, Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan, Permintaan Penghentian Penyidikan, dan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang kesemuanya diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 ini dan aturan pelaksanaannya dituangkan dalam PMK Nomor 18/PMK.03/2021.

Setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 9 tersebut,  dalam rangka untuk memperjelas aturan pelaksanaannya maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, 

serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang ditandatangani pada tanggal 17 Februari 2021 lalu. Peraturan ini mencabut dan mengubah beberapa Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya sehubungan dengan adanya UUCK yang berniat untuk meningkatkan iklim investasi dalam negeri agar dapat bersaing dengan negara lain terutama di ASEAN.

Terkait dengan Pajak Penghasilan, dalam PMK Nomor 18 ini (Pasal 2 sampai dengan Pasal 6) mengubah persyaratan subjek pajak orang pribadi dan memberikan kepastian hukum mengenai:

a.         orang pribadi yang merupakan SPDN;

b.         orang pribadi yang merupakan SPLN termasuk WNI yang dapat menjadi SPLN;

c.         persyaratan WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk menjadi SPLN; dan

d.         perlakuan PPh bagi WNI SPLN.

Beberapa ketentuan lainnya adalah mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan pajak penghasilan bagi warga negara asing (Pasal 7 sampai dengan Pasal 13); Kriteria, tata cara, dan jangka waktu tertentu untuk investasi, tata cara pengecualian pengenaan pajak penghasilan atas dividen atau penghasilan lain yang dikecualikan dari objek pajak, serta perubahan batasan dividen yang diinvestasikan (Pasal 14 sampai dengan Pasal 43); 

Dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (Pasal 44 sampai dengan Pasal 47); dan Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (Pasal 48 sampai dengan Pasal 53).

Beberapa peraturan terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, perubahan yang ada yaitu :

1.         Kriteria PKP yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP; Sektor usaha tertentu yang diberikan jangka waktu pengkreditan Pajak Masukan lebih dari 3 (tiga) tahun; Tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan. (Diatur dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 61)

2.         Tata cara pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan/impor/pemanfaatan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. (Pasal 65 dan Pasal 66)

3.         Tata cara pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan/impor/pemanfaatan yang ditemukan dan/atau diberitahukan saat pemeriksaan. (Pasal 67)

4.         Tata cara pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan, impor, serta pemanfaatan yang ditagih dengan ketetapan pajak.(Pasal 68)

5.         Saat terutang PPN, saat penyerahan BKP/JKP, saat penyerahan BKP secara konsinyasi, saat penyerahan BKP atas inbreng yang tidak memenuhi syarat, serta saat dan tata cara pembuatan Faktur Pajak. (Pasal 69 sampai dengan Pasal 78)

6.         PKP pedagang eceran yang dapat membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP/JKP secara eceran kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir. (Pasal 79 sampai dengan Pasal 82)

Sementara itu dalam hal Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 ini mengubah ketentuan tentang  :

1.            Tata cara pemberian bunga (Pasal 83 sampai dengan Pasal 102)

2.            Tata cara pembayaran dan penyetoran pajak (Pasal 7,14,21,22,23,25,30)

3.            Surat Pemberitahuan (SPT) (Pasal 20)

4.            Tata cara pemeriksaan (Pasal 4,5,11,13,15,17,21,21A,22,41,42,43,61,62,64,65,66)

5.            Tata cara penerbitan SKP dan STP (Pasal 2,3,4,4A,5,7,8,12A,13,14A)

6.            Tata cara pemeriksaan bukti permulaan (Pasal 2,5,15,21A,23,25,30,65,66)

7.            Permintaan penghentian penyidikan (Pasal 3)

Terkait dengan Hukum Pajak, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti :

A.            Surat Pemberitahuan

Wajib Pajak diperkenankan melakukan pembetulan SPT apabila Direktorat Jenderal Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SP2) atau Surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, dan membayar sanksi administrasi Pasal 8 UU KUP.

B.            Tata cara pemeriksaan bukti permulaan

1.            Menghapus Ketentuan Penerbitan SKPKB Pasal 13 A UU KUP stdd UU Cipta Kerja.

2.         Penyesuaian Jangka Waktu Perpanjangan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari 24 bulan menjadi 12 bulan.

3.         Menegaskan ketentuan peralihan atas pemeriksaan bukti permulaan yang telah mendapat persetujuan perpanjangan jangka waktu.

4.         Menegaskan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dapat dilakukan meskipun telah melewati daluwarsa penetapan.

5.         Menegaskan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dapat dilakukan meskipun telah diterbitkan SKP sepanjang dilakukan terhadap data baru.

6.         Menambahkan ketentuan bahwa surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat disampaikan secara elektronik.

C.         Tata cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara

Untuk melakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka wajib pajak (tersangka) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan.

Sementara itu untuk dokumen terkait penghentian penyidikan :

1.         Dapat dibuat dan ditandatangani secara tertulis atau secara elektronik sesuai dengan pedoman tata naskah dinas yang berlaku.

2.         Dokumen tersebut semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.

D.            Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Ruang Lingkup Tindak Pidana di Bidang Perpajakan :

Mengubah penjelasan Pasal 12 ayat (1) PP-74/2011 stdd PP-9/2021: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yaitu perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh Undang-Undang KUP, Undang-Undang PBB, Undang-Undang Bea Materai, dan Undang-Undang PPSP (Penagihan Pajak dengan Surat Paksa). Dengan demikian memberikan kepastian hukum terkait dengan kewenangan penyidikan dan pemeriksaan bukti permulaannya untuk tindak pidana di bidang perpajakan.

Sebagai kesimpulan, maka Penulis dapat mengatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 merupakan sebuah terobosan omnibus law yang dikeluarkan Pemerintah dalam rangka menarik minat investor untuk berinvestasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila. 

Salah satu hal yang dibahas disini adalah mengenai ketentuan perpajakan yang kemudian dalam pelaksanaannya dan untuk memperjelas implementasinya diterbitkan lah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Kemudahan Berusaha yang diundangkan pada tanggal 02 Februari 2021,

serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, 

Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang diundangkan pada tanggal 17 Februari 2021. Kedua aturan turunan pelaksanaan UU tersebut ditujukan semuanya semata-mata untuk memberikan kemudahan berusaha dan kepastian hukum dalam hal perpajakan terkait mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak baik Wajib Pajak Dalam Negeri maupun Wajib Pajak Luar Negeri. 

Salam,

Tony Sudirgo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun