BAGIAN 1 : BIDAK YANG HILANGÂ Â Â Â Â Â Â
Sebagai kota yang berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sekaligus menjadi sentra industri, Kota Bekasi yang menempati urutan kota besar ke empat di Indonesia ini mempunyai "penyakit" yang sama dengan kota-kota besar lainnya: lalu lintas jalan yang macet. Seperti di jalan Bungur yang terletak di Bekasi Utara, lalu lintas di lokasi ini hampir setiap hari bermasalah. Dari jumlah sepeda motor yang setiap hari bertambah sampai angkutan umum yang kebanyakan tidak tertib terutama dalam mencari penumpangnya. Â Â Â Â Â Â
Untung Winarto akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki. Kondisi jalan yang macet parah digunakan Untung untuk turun dari ojek sepeda motor yang ditumpanginya. Badannya seperti Mike Tyson, pendek dan padat berisi. Pria berumur tujuhpuluh lima tahun itu berjalan sedikit tertatih dengan tongkat di tangan. Sebutir peluru yang pernah bersarang di pinggang menyebabkan telapak kaki kanannya tidak bisa lagi menapak dengan sempurna. Sesekali Untung berhenti untuk membersihkan dahinya yang lebar dari keringat yang keluar lewat sela-sela rambut uban. Orang-orang yang berpapasan jalan dengan dia sah-sah saja apabila merasa sedikit iba. Sepatu jogging yang dipakai terlihat jelas tambal sulamnya. Kemeja batik lengan panjang yang dikenakan sudah terlihat kusam serta ukurannya sudah tidak sesuai. Salah satu kancing bajunya hampir "meledak" karena terdesak oleh perut Untung yang buncit. Â Â Â Â
Panas musim kemarau yang begitu menyengat membuat pepohonan kehilangan warna hijau karena tertutup oleh debu. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Untung akhirnya sampai di tempat tujuan. Sambil berdiri dari seberang jalan Untung memperhatikan Ramos yang sibuk dengan pekerjaanya sebagai pengantar air minum isi ulang. Pria tinggi besar berkulit gelap itu masih gagah dan perkasa padahal usianya sedikit lebih tua dari Untung. Galon yang sudah terisi penuh dengan air minum sudah biasa diangkat hanya dengan satu tangan. Bagi Untung saat mengenal pertama kali dengan Ramos rasa-rasanya seperti baru kemarin saja.
Tahun-tahun yang sulit bagi Ramos. Sebagai seorang veteran perang yang cacat Ramos merasa jalan hidupnya sudah berakhir. Tidak ada sanak saudara, kaki kirinya buntung. Ditambah lagi setiap menit harus menahan rasa sakit karena mata dan telinganya terkena serpihan granat. Lolos dari maut saat perang adalah suatu karunia. Tetapi sekarang mencoba mempunyai harapan lagi sudah tidak mampu dicitakan. Untuk sementara hanya iman yang tersisa yang dia miliki.
Selalu duduk di bangku paling belakang di sebuah kapel setiap Minggu pagi. Mencoba bersahabat dengan umat lain tiap kali selesai mengikuti ibadatnya, tapi tanggap sapa tidak pernah datang dari sesama. Ramos terlihat seperti seorang anak kecil yang kehilangan permennya. Dari minggu ke minggu hingga dari tahun ke tahun sama seperti biasa tidak ada perubahan. Tuhan seolah tidak memandang dia. Dewa-dewa semua kabur hilang entah kemana. Ramos serasa dicampakkan. Tidak ada titik terang sama sekali. Yang berkhotbah hanya berkhotbah, yang mendengar khotbah hanya menjadi pendengar terus. Ramos sudah berada pada titik yang paling bawah. Matanya selalu memandang kaki kirinya yang diamputasi sebatas lutut. Sebagai orang Timor Timur, Ramos sadar apabila mendapat stempel sebagai pengkhianat karena membantu Pejuang Seroja melawan Fretilin, kaum pemberontak. Tapi disisi lain, Ramos merasa tindakannya sudah benar. Sampai akhirnya semuanya menjadi sia-sia. Hidup, cinta dan penghargaan sudah tidak lagi memihak pada dia. Untuk apa lagi mencoba bertahan hidup. Sudah tidak ada gunanya. Mati adalah jalan yang terbaik.
Pada suatu saat sebuah truk besar yang memuat tanah merah dan sedang melaju kencang menjadi pilihan Ramos untuk mengakhiri hidupnya. Tapi ada seseorang yang dengan diam-diam selalu memperhatikannya dan tahu bahwa suatu saat peristiwa ini akan terjadi. Hanya sebuah salam dengan senyum yang tulus membuat sebuah tragedi akhirnya tidak terjadi.
Ramos yang sedang sibuk bekerja dengan galon-galon berisi air merasa dirinya sedang diperhatikan. Perasaannya benar. Untung Winarto dari seberang jalan melambaikan tangannya. Kali ini Ramos seperti seorang anak yang menemukan kembali permennya yang hilang.
   Â
***
Hartono sedang memandang sibuknya arus lalu lintas di jalan protokol dari atas sebuah menara hotel. Kemudian datang seseorang sambil lari tergopoh-gopoh mendekati Hartono sambil menunjukan layar sebuah notebook berwarna kuning.
"Desertir?" Hartono bertanya sambil menunjuk foto yang ada di layar notebook, "Orang-orang ini semuanya desertir?" Â Â Â Â Â Â Â Â
"Betul, pak." Jawab orang itu.
Perbincangan mereka lalu terputus dengan munculnya sebuah helikopter yang kemudian mendarat dengan mulus di atas helipad yang letaknya tidak jauh dari posisi Hartono.
"Panggil mereka semua," pesan Hartono sambil menutup notebook, "Pastikan yang kita pilih nanti adalah anjing-anjing yang sangat kelaparan."
Hartono bergegas menuju helikopter lalu duduk nyaman diantara dua wanita pelacur kelas tinggi yang sudah menunggu di dalam. Baling-baling kokoh Bell 206 menderu-deru terbang meninggalkan kota Jakarta.
***
Ramos sibuk membuat segelas kopi di dapur, sementara Untung duduk di ruang makan yang berfungsi juga sebagai ruang tamu. Rumah kecil yang terletak di sekitar Seroja itu adalah rumah hibah dari sebuah yayasan sebagai bentuk kepedulian akan perjuangan para veteran perang seperti Ramos. Kondisi bangunan rumah terlihat tidak sepadan dengan apa yang sudah dialami oleh para veteran. Tetapi Ramos masih tetap selalu bersyukur.
Untung memandang sebuah patung kecil yang berdiri di atas meja makan. Bentuknya menyerupai seperti seorang manusia tetapi di bagian mata terdapat lubang-lubang yang tembus pandang. Tangan dan kaki tidak tampak. Di bawah perut terdapat sekumpulan helai seperti benang besar mengelilingi badan patung. Ukuran patung sebesar kartu nama dan materialnya terbuat dari sebuah kayu. Diukir oleh orang yang benar-benar profesional. Â Â Â Â Â Â
"Nkisi," kata Ramos sambil membawa dua gelas kopi panas, "Aku dapat dari seorang majikan yang pernah datang ke Dili saat aku masih belasan."
"Sudah lama kita kenal, tapi baru sekarang aku melihat benda ini." Kata Untung sambil menerima kopi.
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Ramos sambil melepas kaki palsunya, "Entah kenapa pagi ini aku harus mengeluarkan patung itu."
"Pamer mungkin?"
Ramos tertawa, "Majikanku datang dari Haiti berlabuh di satu tempat lalu ke tempat lain berjualan pakaian yang terbuat dari serat pohon palem. Aku belajar banyak dari dia."
"Benda yang sangat menarik." kata Untung.
"Ukiran gelombang yang acak ini melambangkan suatu asap yang mengepul naik ke atas," Ramos berusaha menjelaskan sambil menunjuk detil bagian bawah badan patung, "Lalu dari kepulan asap itu muncul seseorang."
"Artinya dari tidak ada menjadi ada?"
"Kurang lebih begitu."
"Atau dari yang bisa kelihatan menjadi tidak terlihat?"
"Apa bedanya?"
Untung terlihat kurang menyukai pembicaraannya dengan Ramos, "Aku memerlukan tenagamu, Ramos."
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Ramos. Â Â Â Â Â Â Â Â
"Apakah jiwa militer masih melekat di dadamu?" Untung balik bertanya.
"Semuanya. Bahkan mengisi magasin senjata aku masih mampu sekarang."
Untung berdiri sambil menunjuk kaki palsu milik Ramos yang tersandar di tembok, "Aku sudah memesan khusus kaki yang baru dari Jaipur."
"Tapi benda itu masih berfungsi dengan baik."
"Simpan kalau kamu masih mau," Untung kembali duduk didepan Ramos, "Sudah tigapuluh jam aku kehilangan kontak dengan Wahono."
"Lalu?"
"Salah satu pos kita yang berada di Cilacap sudah sangat membantu," Untung menyalakan sebatang rokok, "Kamu harus kesana sekarang."
"Baik apapun yang kamu perintahkan." Ramos berdiri dengan tongkatnya, "Aku akan berangkat dari terminal bus sekarang juga."
"Tidak perlu." Kata Untung.
Tiba-tiba terdengar sebuah mobil datang mendekat. Sebuah mobil sport utility vehicle Hyundai Santa Fe generasi terbaru warna merah Tuscan berhenti tepat di depan rumah Ramos. Dari belakang kemudi seorang wanita dengan baju training berwarna biru muda keluar lalu diam berdiri di sebelah pintu mobil.
Ramos memandang wanita dan mobil itu dari dalam rumahnya melalui pintu depan yang masih terbuka, lalu balik memandang wajah Untung dengan ekspresi wajah yang bingung.
"Apalagi yang kurang?" tanya Untung sambil meyeruput kopinya, "Kamu akan mendapat brifing sambil jalan bersama polisi wanita itu. Kaki palsumu yang baru ada di dalam mobil. Berangkatlah sekarang."
---Bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H