Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Parantapa Murka (Bagian 1)

25 Agustus 2021   12:18 Diperbarui: 25 Agustus 2021   12:27 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAGIAN 1 : BIDAK YANG HILANG             

Sebagai kota yang berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sekaligus menjadi sentra industri, Kota Bekasi yang menempati urutan kota besar ke empat di Indonesia ini mempunyai "penyakit" yang sama dengan kota-kota besar lainnya: lalu lintas jalan yang macet. Seperti di jalan Bungur yang terletak di Bekasi Utara, lalu lintas di lokasi ini hampir setiap hari bermasalah. Dari jumlah sepeda motor yang setiap hari bertambah sampai angkutan umum yang kebanyakan tidak tertib terutama dalam mencari penumpangnya.           

Untung Winarto akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki. Kondisi jalan yang macet parah digunakan Untung untuk turun dari ojek sepeda motor yang ditumpanginya. Badannya seperti Mike Tyson, pendek dan padat berisi. Pria berumur tujuhpuluh lima tahun itu berjalan sedikit tertatih dengan tongkat di tangan. Sebutir peluru yang pernah bersarang di pinggang menyebabkan telapak kaki kanannya tidak bisa lagi menapak dengan sempurna. Sesekali Untung berhenti untuk membersihkan dahinya yang lebar dari keringat yang keluar lewat sela-sela rambut uban. Orang-orang yang berpapasan jalan dengan dia sah-sah saja apabila merasa sedikit iba. Sepatu jogging yang dipakai terlihat jelas tambal sulamnya. Kemeja batik lengan panjang yang dikenakan sudah terlihat kusam serta ukurannya sudah tidak sesuai. Salah satu kancing bajunya hampir "meledak" karena terdesak oleh perut Untung yang buncit.        

Panas musim kemarau yang begitu menyengat membuat pepohonan kehilangan warna hijau karena tertutup oleh debu. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Untung akhirnya sampai di tempat tujuan. Sambil berdiri dari seberang jalan Untung memperhatikan Ramos yang sibuk dengan pekerjaanya sebagai pengantar air minum isi ulang. Pria tinggi besar berkulit gelap itu masih gagah dan perkasa padahal usianya sedikit lebih tua dari Untung. Galon yang sudah terisi penuh dengan air minum sudah biasa diangkat hanya dengan satu tangan. Bagi Untung saat mengenal pertama kali dengan Ramos rasa-rasanya seperti baru kemarin saja.

Tahun-tahun yang sulit bagi Ramos. Sebagai seorang veteran perang yang cacat Ramos merasa jalan hidupnya sudah berakhir. Tidak ada sanak saudara, kaki kirinya buntung. Ditambah lagi setiap menit harus menahan rasa sakit karena mata dan telinganya terkena serpihan granat. Lolos dari maut saat perang adalah suatu karunia. Tetapi sekarang mencoba mempunyai harapan lagi sudah tidak mampu dicitakan. Untuk sementara hanya iman yang tersisa yang dia miliki.

Selalu duduk di bangku paling belakang di sebuah kapel setiap Minggu pagi. Mencoba bersahabat dengan umat lain tiap kali selesai mengikuti ibadatnya, tapi tanggap sapa tidak pernah datang dari sesama. Ramos terlihat seperti seorang anak kecil yang kehilangan permennya. Dari minggu ke minggu hingga dari tahun ke tahun sama seperti biasa tidak ada perubahan. Tuhan seolah tidak memandang dia. Dewa-dewa semua kabur hilang entah kemana. Ramos serasa dicampakkan. Tidak ada titik terang sama sekali. Yang berkhotbah hanya berkhotbah, yang mendengar khotbah hanya menjadi pendengar terus. Ramos sudah berada pada titik yang paling bawah. Matanya selalu memandang kaki kirinya yang diamputasi sebatas lutut. Sebagai orang Timor Timur, Ramos sadar apabila mendapat stempel sebagai pengkhianat karena membantu Pejuang Seroja melawan Fretilin, kaum pemberontak. Tapi disisi lain, Ramos merasa tindakannya sudah benar. Sampai akhirnya semuanya menjadi sia-sia. Hidup, cinta dan penghargaan sudah tidak lagi memihak pada dia. Untuk apa lagi mencoba bertahan hidup. Sudah tidak ada gunanya. Mati adalah jalan yang terbaik.

Pada suatu saat sebuah truk besar yang memuat tanah merah dan sedang melaju kencang menjadi pilihan Ramos untuk mengakhiri hidupnya. Tapi ada seseorang yang dengan diam-diam selalu memperhatikannya dan tahu bahwa suatu saat peristiwa ini akan terjadi. Hanya sebuah salam dengan senyum yang tulus membuat sebuah tragedi akhirnya tidak terjadi.

Ramos yang sedang sibuk bekerja dengan galon-galon berisi air merasa dirinya sedang diperhatikan. Perasaannya benar. Untung Winarto dari seberang jalan melambaikan tangannya. Kali ini Ramos seperti seorang anak yang menemukan kembali permennya yang hilang.

       

***

Hartono sedang memandang sibuknya arus lalu lintas di jalan protokol dari atas sebuah menara hotel. Kemudian datang seseorang sambil lari tergopoh-gopoh mendekati Hartono sambil menunjukan layar sebuah notebook berwarna kuning.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun