Mohon tunggu...
Antonius SubanKleden
Antonius SubanKleden Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya seorang jurnalis, tinggal di Kota Kupang, NusaTenggara Timur

Saya seorang jurnalis yang sudah lama sejak tahun 1992 aktif menulis di media cetak. Saya menjadi wartawan pertama di SKM Dian di Ende Flores.. Tahun 1996 saya bergabung dengan Harian Umum Pos Kupang di Kupang. Tahun 2013 saya menjadi Pemimpin Redaksi AFBTV, sebuah televisi lokal di Kupang. Tahun 2014 saya menerbitkan majalah bulanan Kabar NTT, yang isinya tentang potensi NTT. Sejak Juni 2019 saya membuat online kabarntt.com. Saya juga mengajar jurnalistik di Kupang, memberi pelatihan jurnalistik di banyak tempat di NTT

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya Alumnus Ledalero

20 September 2019   09:38 Diperbarui: 20 September 2019   10:14 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, di Ledalero ketika hendak membawakan kuliah umum tahun 2018/dokpri

Tulisan sederhana  dengan  judul seperti ini tidak terutama dimaksudkan untuk meromantisasikan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere. Sebaliknya dengan judul ini yang mau disentil adalah rasa bangga dan beruntung karena bisa menikmati suasana kampus dan iklim perkuliahan di panti pendidikan ini pada masa ketika tidak banyak lembaga pendikan tinggi di daerah ini dengan kualitas dan kelas seperti Ledalero. 

Bangga karena sekolah tinggi ini sangat kuat menekankan pendidikan karakter dan mengagungkan proses akademik  yang profesional guna melahirkan lulusan yang kualified.

Semua lulusan dari sekolah ini, karena itu, seperti memegang linsensi jaminan kemampuan dan kapasitas akademik yang  luar biasa, karakter yang kuat lagi teruji dan siap bersaing di medan mana pun.  Lulusan dengan kualifikasi seperti ini hanya datang dari sebuah proses panjang di tengah iklim pendidikan dan sistem pembinaan yang hebat.

Ledalero perlu dibedakan. Pertama, Ledalero sebagai seminari tinggi, tepatnya Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, tempat menyemaikan, mendidik dan membentuk para calon imam Katolik dengan berbagai latihan rohani. Saat ini seminari tinggi ini menjadi seminari tinggi terbesar di dunia.

Kedua, Ledalero sebagai sekolah tinggi filsafat, tepatnya Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.  Sebagai sekolah tinggi, STFK Ledalero menjadi almamater, ibu  yang mengasuh para mahasiswa dengan beragam disiplin ilmu. Dari logika hingga patrologi (ilmu tentang ajaran bapak-bapak gereja). Dari filsafat manusia hingga fenomenologi agama. 

Dari retorika (public speaking) hingga epistemologi (ilmu tentang kebenaran). Dari metafisika (ilmu yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat dasar keberadaan suatu realitas. Ini ilmu yang paling banyak 'makan korban' karena sulit dan membutuhkan penalaran ekstra) hingga  hingga psikologi. Dari liturgi hingga filsafat ketuhanan (ilmu tentang Tuhan dari sudut pandang filsafat). Dari teologi moral hingga mariologi (ilmu tentang Bunda Maria, Ibu Yesus).  

Dari sosiologi hingga islamologi (ilmu tentang Islam). Dari misiologi hingga kristologi (ilmu tentang Yesus Kristus dari sudut pandang teologi). Dari Pancasila hingga eksegese (ilmu tafsir kitab suci). Dari metodologi penelitian hingga hukum perkawinan.

Beberapa  ilmu di atas disebut dengan sengaja untuk mengatakan dan menegaskan bahwa panti pendidikan ini dari awal berdiri sejatinya memang bertujuan satu saja: mendidik dan menyiapkan para calon imam Katolik yang bisa tampil generalis, bukan spesialis. 

Seorang imam yang mesti tahu banyak hal meski sedikit atau tidak mendalam, bukan terutama perlu tahu banyak/ mendalam  tentang yang sedikit. Bahwa dalam kenyataannya lebih dari enam puluh persen lulusannya tidak menjadi imam dan memilih menjadi awam, itu hanya akibat saja, bukan tujuan.

Menurut namanya, Ledalero diambil dari bahasa Sikka, gabungan dari dua suku kata. Leda artinya sandar, dan lero artinya matahari. Ledalero artinya tempat sandar matahari. Entah apa alasan para pendiri seminari tinggi ini pada tahun 1937 memilih nama ini menjadi nama resmi seminari tinggi milik Tarekat SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah) ini. 

Tetapi kita boleh menafsir bahwa dengan nama ini para pendiri Ledalero menaruh harapan penuh agar dari Ledalero terpancar kemilau kasih Allah yang menyinari semesta jagat.

Harapan dari nama itu sekarang terbukti. Menurut data, sejak berdiri tahun 1937, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero telah melahirkan 5.800  alumni. Dari alumni sebanyak ini 19 orang di antaranya menjadi uskup, sebanyak 1.822 orang imam/pastor dan 3.788 awam. Sekitar 500 orang lulusannya bekerja sebagai misionaris yang berkarya di lima benua.

Saya teringat kembali ketika  pertama kali mendarat di Bandara Dulles, Washington DC, Ibukota Amerika Serikat, Sabtu, 10 September 2005 silam. Ketika tahu saya lulusan Ledalero, mentor yang menjemput rombongan kami sepuluh wartawan Indonesia ketika itu menyeletuk, "Wah, kamu juga dari Ledalero!" Tinggal dan bekerja di NTT beberapa tahun sebelumnya,  Larry Fisher, mentor itu bekerja dengan beberapa lulusan Ledalero. "Saya tahu seperti apa kualitas kalian lulusan Ledalero. Mantap," katanya memberi jempol.

Corak dan ragam ilmu yang dipelajari dan diajarkan di kampus di atas bukit ini niscaya membantu para lulusannya bekerja di medan apa saja. Terbukti selain tentu mengabdi sebagai imam,  sebanyak 3.788 orang awam lulusannya (68 persen)  berkiprah di beragam medan karya. Aparatur Sipil Negara (ASN), politisi, anggota DPR(D), Tentara Nasional  Indonesia (TNI), pekerja media (wartawan), pegiat LSM, anggota Komisi Pemilihan Umum, pengusaha, pengajar (guru/dosen), petani profesional, peternak profesional dan macam-macam.

Apa yang sangat khas dari kampus ini dan karena itu membanggakan semua lulusannya?  Tak pelak ini jawabannya: iklim pendidikan, proses perkuliahan, kualitas keilmuan para pengajar/dosen, dan disiplin diri para mahasiswanya. Iklim pendidikan di sekolah tinggi ini sungguh menekankan kemandirian berpikir dan merumuskan jawaban sendiri atas setiap pertanyaan di ruang kuliah. 

Semua mahasiswa, terutama para frater, menempati kamar masing-masing dan mengelola dengan baik waktu belajar, kecuali untuk urusan yang harus bersama anggota komunitas seperti makan, kegiatan kerohanian dan perkuliahan.

Proses dan iklim perkuliahan juga sangat demokratis. Mahasiswa dengan begitu leluasa bisa menyanggah dan mendebat dosennya. Diskusi di ruang kuliah dan di luar ruang kuliah dengan para dosen adalah  pemandangan yang lazim di kampus ini. Buku-buku di perpustakaan pun sangat menunjang rasa ingin tahu dan pencarian referensi yang dibutuhkan. 

Pada masa kami dulu, ujian semester bisa dipilih: tertulis di ruang kelas, lisan dengan dosen, atau juga menyiapkan paper dengan tema-tema dari materi kuliah. Dengan model ini, para mahasiswa yang maju ujian mesti menyiapkan diri dan menguasai  secara baik materi kuliah.

Hal lain yang juga  memberi ciri khas pada sekolah tinggi ini adalah publikasi yang bisa lahir  dengan mudah dari iklim tulis menulis. Nyaris tidak ada mahasiswa yang tidak bisa menulis. Mata kuliah seperti metode penelitian, bahasa Indonesia dan terutama logika sangat membantu mahasiswa mengemukakan pikirannya dan kemudian merumuskan pikirannya itu dalam tulisan yang berbobot.

Seingat saya STFK Ledalero memiliki majalah yang diberi nama Academica. Sementara di kampus-kampus atau di asrama masing-masing tarekat yang para fraternya mengikuti perkuliahan di STFK Ledalero, memiliki terbitan sendiri-sendiri. 

Di kampus Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero ada Seri Majalah VOX yang sangat terkenal dan selalu jadi rujukan. Majalah ilmiah ini terbit tiga bulan sekali secara tematik. Setiap kali terbitan mengangkat satu tema yang kemudian dibidik melalui beragam sudut pandang.  Para mahasiswa/frater dari kampus Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero bersaing menggarap tema yang ditawarkan.

Sampai dengan angkatan kami, Ketua Penyunting (Pemimpin Redaksi) VOX dipilih secara langsung melalui pemungutan suara oleh para frater. Masuk dan bergabung sebagai anggota redaksi VOX adalah kebanggaan luar biasa. Dan, selain Ketua Umum Frater, Ketua Penyunting VOX adalah posisi bergengsi yang selalu diincar semua frater pada setiap angkatan. 

Beberapa nama yang pernah menjadi Ketua Penyunting VOX dulu antara lain Dr. Ignas Kleden, Pater Dr. Cosmas Fernandez, SVD, Pater Dr. Leo Kleden, SVD, Pater Hendrik Daros. SVD, Pater Dr. John Dami Mukese, SVD (alm), Pater Dr. Philipus Tule, SVD, Pater Dr. Lukas Djua, SVD, Pater Dr. Edu Dosi, SVD, Drs. Marianus Kleden, M.Si, Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD, dan sejumlah banyak nama lain lagi.

Perlu Dukungan

Tahun ini, tepatnya 8 September 2019, STFK Ledalero menjejak usia emas. Sementara Ledalero sebagai seminari tinggi sudah menginjak usia 87 tahun.  Dalam rentang waktu yang panjang itu baik Ledalero sebagai seminari tinggi maupun Ledalero sebagai sekolah tinggi, sudah memberi warna sangat jelas dan khas di bumi Nusa Tenggara (Timur), Indonesia dan dunia. Tegasnya, Ledalero telah hadir dalam diri sosok lulusannya di dalam tata dunia yang semakin maju dan berkembang ini. 

Dalam sejarah tualangnya yang panjang itu, Ledalero sudah memberi andil besar dengan ikut menginvestasikan sumber daya manusia hebat, baik untuk kebutuhan pastoral di internal Gereja Katolik, juga memberi tenaga-tenaga awam  yang tangguh di sejumlah medan bakti non pastoral. 

Kehadiran para lulusannya, baik tenaga imam/pastor yang bekerja di medan pastoral di  lima benua maupun tenaga awam yang berkiprah di beragam medan bakti adalah sumbangan nyata dari Ledalero.

Dengan tanggung jawab, peran dan dharma bakti seperti ini, seharusnya Ledalero perlu didukung dan disokong semua pihak, baik umat, juga dan terutama pemerintah di daerah ini.  Beberapa puluh tahun lalu, umat di Nusa Tenggara dan gereja di Indonesia lebih banyak menerima tenaga  pastoral dari luar negeri.  Wajah Nusa Tenggara (Timur) saat ini tak terbayangkan tanpa kehadiran  tenaga-tenaga pastoral dari Barat, dari Eropa tempo dulu.

Sekarang sudah terjadi arus balik. Gereja Indonesia, gereja di Nusa Tenggara sekarang justru dipanggil untuk mengirim tenaga ke luar negeri, ke lima benua. Ledalero sudah mengambil peran itu dengan mengirim sekitar 500 lulusannya bekerja sebagai misionaris di lima benua.

Maka sekarang umat di wilayah ini perlu ikut bertanggung jawab atas kehadiran Ledalero di bumi Nusa Tenggara. Tanggung jawab itu bisa mewujud dalam rasa memiliki Ledalero. Begitu juga pemerintah di Nusa  Tenggara Timur. 

Jika Ledalero telah hadir di daerah ini sebelun negeri ini merengkuh kemerdekaannya, maka kehadiran itu tak lain wujud tanggung jawab gereja  membantu pemerintah menyiapkan sumber daya manusia yang hebat di, dari dan untuk daerah ini, untuk Indonesia dan untuk dunia.

Tidak salah saatnya sekarang semua kita, umat dan juga pemerintah, menyatakan rasa terima kasih dengan terus mendukung dan membesarkan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. (*)

Wartawan, lulusan STFK Ledalero 1994,  Ketua Penyunting VOX 1993-1994

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun