Harapan dari nama itu sekarang terbukti. Menurut data, sejak berdiri tahun 1937, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero telah melahirkan 5.800 Â alumni. Dari alumni sebanyak ini 19 orang di antaranya menjadi uskup, sebanyak 1.822 orang imam/pastor dan 3.788 awam. Sekitar 500 orang lulusannya bekerja sebagai misionaris yang berkarya di lima benua.
Saya teringat kembali ketika  pertama kali mendarat di Bandara Dulles, Washington DC, Ibukota Amerika Serikat, Sabtu, 10 September 2005 silam. Ketika tahu saya lulusan Ledalero, mentor yang menjemput rombongan kami sepuluh wartawan Indonesia ketika itu menyeletuk, "Wah, kamu juga dari Ledalero!" Tinggal dan bekerja di NTT beberapa tahun sebelumnya,  Larry Fisher, mentor itu bekerja dengan beberapa lulusan Ledalero. "Saya tahu seperti apa kualitas kalian lulusan Ledalero. Mantap," katanya memberi jempol.
Corak dan ragam ilmu yang dipelajari dan diajarkan di kampus di atas bukit ini niscaya membantu para lulusannya bekerja di medan apa saja. Terbukti selain tentu mengabdi sebagai imam,  sebanyak 3.788 orang awam lulusannya (68 persen)  berkiprah di beragam medan karya. Aparatur Sipil Negara (ASN), politisi, anggota DPR(D), Tentara Nasional  Indonesia (TNI), pekerja media (wartawan), pegiat LSM, anggota Komisi Pemilihan Umum, pengusaha, pengajar (guru/dosen), petani profesional, peternak profesional dan macam-macam.
Apa yang sangat khas dari kampus ini dan karena itu membanggakan semua lulusannya? Â Tak pelak ini jawabannya: iklim pendidikan, proses perkuliahan, kualitas keilmuan para pengajar/dosen, dan disiplin diri para mahasiswanya. Iklim pendidikan di sekolah tinggi ini sungguh menekankan kemandirian berpikir dan merumuskan jawaban sendiri atas setiap pertanyaan di ruang kuliah.Â
Semua mahasiswa, terutama para frater, menempati kamar masing-masing dan mengelola dengan baik waktu belajar, kecuali untuk urusan yang harus bersama anggota komunitas seperti makan, kegiatan kerohanian dan perkuliahan.
Proses dan iklim perkuliahan juga sangat demokratis. Mahasiswa dengan begitu leluasa bisa menyanggah dan mendebat dosennya. Diskusi di ruang kuliah dan di luar ruang kuliah dengan para dosen adalah  pemandangan yang lazim di kampus ini. Buku-buku di perpustakaan pun sangat menunjang rasa ingin tahu dan pencarian referensi yang dibutuhkan.Â
Pada masa kami dulu, ujian semester bisa dipilih: tertulis di ruang kelas, lisan dengan dosen, atau juga menyiapkan paper dengan tema-tema dari materi kuliah. Dengan model ini, para mahasiswa yang maju ujian mesti menyiapkan diri dan menguasai  secara baik materi kuliah.
Hal lain yang juga  memberi ciri khas pada sekolah tinggi ini adalah publikasi yang bisa lahir  dengan mudah dari iklim tulis menulis. Nyaris tidak ada mahasiswa yang tidak bisa menulis. Mata kuliah seperti metode penelitian, bahasa Indonesia dan terutama logika sangat membantu mahasiswa mengemukakan pikirannya dan kemudian merumuskan pikirannya itu dalam tulisan yang berbobot.
Seingat saya STFK Ledalero memiliki majalah yang diberi nama Academica. Sementara di kampus-kampus atau di asrama masing-masing tarekat yang para fraternya mengikuti perkuliahan di STFK Ledalero, memiliki terbitan sendiri-sendiri.Â
Di kampus Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero ada Seri Majalah VOX yang sangat terkenal dan selalu jadi rujukan. Majalah ilmiah ini terbit tiga bulan sekali secara tematik. Setiap kali terbitan mengangkat satu tema yang kemudian dibidik melalui beragam sudut pandang. Â Para mahasiswa/frater dari kampus Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero bersaing menggarap tema yang ditawarkan.
Sampai dengan angkatan kami, Ketua Penyunting (Pemimpin Redaksi) VOX dipilih secara langsung melalui pemungutan suara oleh para frater. Masuk dan bergabung sebagai anggota redaksi VOX adalah kebanggaan luar biasa. Dan, selain Ketua Umum Frater, Ketua Penyunting VOX adalah posisi bergengsi yang selalu diincar semua frater pada setiap angkatan.Â