Oleh Tony Kleden
SUDAH lebih dari seperempat abad kami tidak bersua muka. Tak dinyana peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) Tingkat Nasional 2019 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, awal Juli lalu mempertemukan kami. Bertemunya pun di ruang tunggu Bandara El Tari, Kupang,  Kamis  (4/7/2019).
Petronela Sabu Odjan, begitu nama panjangnya. Di rumah, di tengah keluarga besar dan di kampung halamannya di Lamawalang, Flores Timur, dia dipanggil Oni. Oni Ojan jika lengkap dengan sukunya.Â
"Kaka...." Dia panggil saya.
Saya perhatikan asal suara itu datang. Oh, dari deretan tempat duduk di belakang saya di ruang tunggu bandara. Saya berdiri. Dia juga berdiri. Bergegas dia pindah, ambil posisi duduk di sebelah saya.
Dulu ketika Oni masih pelajar SMP di Waibalun, Larantuka, saya sudah di SMA. Dia tinggal di rumah keluarga dekatnya di Waibalun. Cuma terpaut dua rumah dari rumah kami. Tinggal di kampung kala itu, tetangga dengan seluruh isi rumah jadi saudara. Tetangga rasa saudara. Seperti kakak adik saja.
Maka ketika bersua kembali di ruang tunggu itu, semua memori yang terekam lama seperti muncul di layar. Â Kisah demi kisah lama mengalir lancar.
"Mau ke mana?" Saya tanya penasaran.
"Sama-sama ke Banjarmasin toh..... Ikut Harganas," timpalnya.
Seakan menangkap rasa penasaran saya Oni segera sambung. "Saya bidan yang diminta ikut ke Banjarmasin. Ini penghargaan untuk saya," katanya.
Penghargaan? Wou.... luar biasa.
Naluri jurnalistikku bangkit. Ah.... ini orang news value-nya tinggi. Â Terlalu mahal tidak digali. Terlalu istimewa jika dibiarkan berlalu begitu saja. Orang ini harus diberi panggung. Diberi tempat. Biar jadi inspirasi, jadi contoh buat petugas kesehatan, para bidan desa, terutama.
Pengumuman petugas airline untuk segera boarding menghentikan obrolan kami. Berbaris kami menuju pintu keberangkatan dan selanjutnya bergegas menuju pesawat. Â Terbang ke Surabaya dan selanjutnya ke Banjarmasin. Di kepala saya sudah banyak informasi yang didapat. Tinggal menggali lagi di Banjarmasin.
                                        Â
Malam itu, selepas mengisi perut kami lanjut ngobrol di lobi Hotel G'Sign, Banjarmasin.  Oni mulai mengisahkan perjalanan panjangnya.  "Tamat dari Lela (Sekolah Perawat Kesehatan Sta. Elisabeth Lela, Sikka-pen) tahun 1992 saya ke Surabaya. Ambil D3 Kebidanan di Mardi Sentosa Surabaya. Tahun 1995 tamat. Kemudian  saya jadi bidan desa di Malang,  Jawa Timur," tuturnya.
Berprofesi sebagai bidan desa di Malang ditekuni Oni selama tiga tahun. Tahun  1998, Oni lulus tes pegawai negeri sipil di Flores Timur, kampung halamannya.  Lulus seleksi, Oni ditempatkan di Desa Turubeang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur setahun sesudahnya, yakni  tahun 1999. "Saya ditempatkan pertama di Turubeang," katanya tersenyum.
Mendengar Turubeang saya terperangah, tak percaya. Membayangkan di tahun 1998, seorang perempuan muda ditempatkan di ujung timur Pulau Flores ini dengan semua kekurangannya.
Di Flores Timur, Turubeang (maaf) masih identik dengan  ketertinggalan. Bulan Maret 2019 lalu ketika  kaki menjejak desa ini untuk pertama kali, saya terhenyak. Semua akses sulit.  Ruas jalan minta ampun parahnya. Hanya dua unit pick up  milik warga Turubeang yang rutin melewati. Pagi ke Larantuka, sore balik ke Turubeang.  Ruas jalan tanah berbatu dari Danau Asmara menuju Turubeang  parah. Lubang menganga di mana-mana. Serba bopeng.
Pertama kali datang itu, saya berguyon kepada warga setempat, Turubeang belum merdeka. Merdeka dari penderitaan, maksud saya. Bukan merdeka dari penjajah.
Listrik belum ada. Warga yang mampu membeli generator zet untuk penerangan. Sinyal handphone jadi barang mahal. Siapa saja yang mau menelepon atau mengirim SMS mesti keluar kampung menuju hutan mencari 'titik sinyal'. Mau nonton televisi, susah. Siaran radio hanya datang dari Maumere dan Makassar.
Desa Turubeang yang sekarang ini desa baru. Sebelum  gempa tektonik mengguncang Flores 12 Desember 1992, Turubeang asli terletak di pinggir pantai. Gempa disertai tsunami hebat itu menyapu dan menghilangkan desa ini dengan lebih dari separuh warganya tanpa jejak. Warga yang selamat kemudian pindah ke bukit dan menetap hingga sekarang.
Di desa dengan fasilitas seadanya inilah medan bakti pertama Oni sebagai abdi negara, bidan desa di  Flores Timur. "Kami jalan kaki dari Riangpuho ke Turubeang. Jalan pikul dengan semua perlengkapan makan minum, tas pakaian dan semua keperluan rumah," kenang Oni.
Dia tidak menyangka akan ditempatkan di Turubeang. "Bayangkan, dari Surabaya, dari Malang yang ramai pindah ke Turubeang. Jauh sekali  kondisinya," katanya seakan meminta pemahaman akan sulitnya medan Turubeang.
Tetapi dasar sudah jadi panggilan, Oni tidak pusing peduli dengan medan berat itu.  Yang ada di benaknya cuma tekad membara membumikan apa yang dia dapat di bangku sekolah  guna membantu ibu-ibu melahirkan. "Pernah saya dengan anak saya yang masih kecil dan tanta saya, kami tidur di pasir di pinggir pantai karena sudah malam, tidak bisa ke Turubeang. Saya nikmati saja karena ingat ibu-ibu hamil di sana," tuturnya.
Tiga tahun bertugas di sini, Oni benar-benar teruji. Dia membaktikan keterampilannya sebagai bidan dan panggilan nuraninya untuk membantu ibu-ibu yang melahirkan. Â
"Kalau mau enak, mengapa saya harus susah-susah tinggal di Turubeang? Tetapi saya suka  profesi bidan ini karena bisa membantu ibu-ibu melahirkan. Itu yang membuat saya menikmati saja di mana pun saya bertugas sebagai bidan," katanya pasti.
Pendekatannya dari rumah ke rumah. Dia datangi ibu-ibu hamil di rumah-rumah warga. Bergaul akrab dengan mereka. Tidak ambil jarak. Saatnya melahirkan, dia dampingi ibu hamil dan membantu melahirkan. Oni tahu persis ibu mana saja di kampung yang lagi hamil, hamil berapa bulan, dan kapan perkiraan melahirkan. Dengan telaten dia ikuti, beri nasehat menyangkut kesehatan kepada para ibu hamil.
Tahun 2002 Oni pindah ke Puksesmas Waiwadan. Waiwadan itu Ibukota Kecamatan Adonara Barat. Sudah beraroma kota. Fasilitas sudah oke. Tranportasi lancar. Ke mana-mana gampang.
Bertugas di Waiwadan inilah yang membuka mata Oni tentang pola dan budaya hidup berkeluarga di Adonara. Partilinear membuat para suami merasa nyaman sekali di tengah keluarga.Â
Kondisi sebaliknya justru terjadi dengan para istri. Kerja keras mengurus rumah tangga di rumah, mengurus anak, ke kebun, ke pasar menjual hasil kebun. "Saya kasihan sekali melihat ibu-ibu di sana," kata Oni.
Kondisi kurang menguntungkan itulah yang membangkitkan naluri bidannya. "Saya mesti menolong mereka dengan mengajak mereka ikut program KB (keluarga berencana). Kepada ibu-ibu saya bilang kalau ikut KB kalian bisa lebih sering ke pasar untuk berjualan, lebih nyaman hidup, bisa atur diri dengan lebih baik. Kalau tidak ikut KB dan punya anak terus, kasihan kamu, tidak bisa mencari uang di pasar," Â tutur Oni memberi motivasi kepada para ibu di Adonara.
Perlahan-lahan Oni 'masuk' ke situasi keluarga. Mendatangi rumah demi rumah tak kenal lelah. "Tiap hari saya ada di lapangan, di rumah-rumah omong tentang KB. Saya lakukan konseling. Saya jalan sendiri dengan sepeda motor. Setiap kali jalan saya bawa memang  meja ginek dan semua perlengkapan untuk pasang IUD (intrauterine device/alat kontrasepsi wanita). Kalau mereka mau saya langsung pasang," tutur Oni.
Kesulitan yang dihadapinya adalah budaya yang berbeda. "Mereka tolak, tidak mau ada barang aneh masuk di badan mereka. Tetapi saya tidak putus asa. Hari ini saya ditolak, besok saya datang lagi. Ada ibu yang takut kalau suaminya tahu didatangi petugas KB. Ada juga yang bahkan tidak memberi tahu suami kalau sudah pasang IUD," cerita Oni.
Tahun 2004 dari Puskesmas Waiwadan, Oni pindah ke Puskemas Oka, di dekat Lamawalang, rumahnya. Di sini dia bertugas empat tahun hingga 2008. Tahun 2008 dia pindah lagi ke Puskesmas Lite, di Adonara hingga sekarang.
Panggilan sebagai bidan dia junjung tinggi lagi di sini. Selain faktor budaya, faktor lain  yang juga dihadapi Oni dalam kampanye KB adalah pandangan sebagian warga setempat. Ada warga  yang berpandangan bahwa alat-alat KB itu najis.
Oni tidak putus asa. Dia mencari jalan membuka mata dan pola pikir warga tentang pentingnya KB. "Bagi saya yang paling penting itu pelayanan. Kalau pelayanan baik, mereka akan terima. Sering sekali saya ditolak masuk ke rumah warga. Mereka tidak mau pasang IUD. Tetapi saya tidak putus asa. Niat saya adalah membantu para ibu. Bayangkan tinggal di kampung dengan kondisi kurang tetapi punya anak banyak. Itu beban berat sekali untuk rumah tangga. Motivasi saya hanya ingin mengangkat harkat dan harga diri kaum ibu, kaum perempuan," tutur Oni.
Usahanya berhasil. "Dulu saya datang ke rumah-rumah. Konselingnya lama.  Sekarang tidak perlu saya jelaskan lama-lama lagi. Mereka sendiri yang datang ke  puskesmas minta pasang IUD," kata Oni.
Sejak tahun 2009 hingga sekarang Oni sudah memasang lebih dari 400 IUD. Ini prestasi yang dicapainya. Dia bukan senang dengan angka itu. Dia senang karena bisa membantu kaum ibu, kaum perempuan di pedalaman Adonara Tengah dan Adonara Barat. "Kalau sekarang mereka bertemu saya, mereka bilang kalau kami tidak ikut ibu bidan pasti kami tidak bisa seperti ini. Sekarang kami bisa berjualan ke pasar dan ekonomi rumah tangga jauh lebih baik," cerita Oni.
Oni kaget ketika capaiannya mendapat apresiasi dari Kantor BKKBN NTT. Â Dia mengucap terima kasih kepada Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Â Marianus Mau Kuru, dan semua staf di BKKBN NTT yang melihat dan memberi apresiasi atas apa yang dilakukannya dan memberinya predikat bidan teladan. Teladan karena berhasil memasang IUD paling banyak di NTT. "Saya tidak minta lain selain sertifikat dari BKKBN NTT. Kami yang ASN penting barang-barang seperti itu untuk kenaikan pangkat kami," kata Oni.
Di Banjarmasin, ketika saya tanya andaikata bertemu Jokowi, hadiah apa yang kamu minta dari Jokowi? Dengan tangkas Oni menjawab, "Saya minta sekolah lagi, ambil D4 Klinik di Malang."Â
Oni sadar, profesi bidan sangat vital dan urgen untuk NTT saat ini di tengah tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Di desa-desa, dokter boleh meninggalkan tempat tugasnya, tetapi kalau bidan meninggalkan tempat tugasnya itu tanda bahaya.
NTT Â masih sangat membutuhkan petugas kesehatan dengan mental dan nurani seperti Oni Ojan. (tony kleden)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H