Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengampuni Diri dari Kebiasaan Utang

16 April 2022   23:11 Diperbarui: 16 April 2022   23:13 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Siapa pun presidennya, membangun apa pun dengan dana utang, itu pasti bisa. Tetapi ujungnya apa? Menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat untuk waktu yang sangat panjang. 

(Supartono JW.15042022)

Mengapa bangga dengan utang? Apakah rakyat Indonesia harus meneladani gaya hidup memaksakan diri, memiliki, membuat,  segala sesuatu dengan cara utang? 

Fase kedua ibadah Ramadhan yang penuh ampunan, ternyata dihiasi oleh berita di media massa dan media sosial tentang hal terkait bangga dengan utang.

Bila para pemimpin negeri ini, memberi contoh, melakukan perbuatan dan membanggakan hasil perbuatannya, tetapi perbuatan itu modalnya utang, sebenarnya sisi mana yang pantas dibanggakan? 

Yang wajar, bila orang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, lalu agunannnya adalah gaji atau pendapatannya, kemudian cara membayarnya dengan cara mengangsur, itu pun pemberi utang akan menyesuaikan besaran utang dan kemampuan untuk mengangsur dan berapa lama, hingga lunas.

Tapi kini rakyat Indonesia sedang diberikan contoh pendidikan dan keteladanan utang yang tidak wajar. Siapa yang utang, tapi rakyatnya yang menanggung. Sudah begitu, hasil utangnya untuk membuat sesuatu, tapi dijadikan kebanggaan, seolah itu adalah jerih payahnya, jerih pikiran dan keringatnya. 

Jalan tol, utang, siapa menanggung?

Saya sebagai rakyat biasa yang ingin segala sesuatunya di tempatkan pada tempatnya, lewat tulisan-tulisan, saya hanya memotret wajah Indonesia dan bagaimana suasana hati rakyat yang cinta damai dan cinta tak  dibikin menderita. 

Karenanya terus berusaha menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, berusaha cerdas, beretika, dan berdaya kritis. Tidak memihak. Sebab, saya juga ingin tercipta suasana damai di Indonesia, terutama dengan lahirnya para elite dan warga bangsa, juga menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis. Tidak memihak. Satu NKRI.

Dari sikap saya itu, saya cukup prihatin tatkala pada tanggal 14 April 2022, Presiden Jokowi memposting di Twitter. 

"Selama 40 tahun, Indonesia hanya mampu membangun 780 km jalan tol. Maka, mulai tahun 2014 itu, pemerintah mendorong percepatan pembangunan jalan tol di Trans-Jawa, Trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Berapa Panjang jalan tol yang kita bangun 7 tahun terakhir? 1.900km."

Dari hasil cuitan Bapak Presiden, lantas ada pihak yang membandingkan pencapain Jokowi dengan Presiden Indonesia sebelumnya, yang justru tak membangun jalan tol, tetapi membangun jalan nasional yang jumlah km-nya berlipat-lipat, tetapi rakyat Indonesia dapat menikmati jalan itu secara gratis.

Cuitan Jokowi tentang pencapaiannya dalam 7 tahun memerintah dan membangun jalan tol, pun dipertanyakan berbagai pihak secara obyektif, dengan melampirkan bukti dan data.

Pertanyaannya, karena Jokowi mencuit bangga, apakah membangun 1.900 km tol itu sebuah prestasi?

Lihat kemaslahatannya

Jalan tol akan dapat dikatakan sebuah prestasi jika rezim mampu mendatangkan pendapatan negara yang tinggi dan membiayai itu semua, bukan dari utang, dan memberikan dampak kepada kesejahteraan rakyat banyak, maka pembangunan jalan tol tersebut patut diacungi jempol. Itu prestasi!

Sayangnya, jalan tol yang dibangun di rezim ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Sementara pembiayaannya, jor-joran menggunakan dana utang yang besarnya sampai ribuan triliun? 

Ingat, siapa pun presidennya, membangun apa pun dengan dana utang, itu pasti bisa. Tetapi ujungnya apa? Menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat untuk waktu yang sangat panjang. 

Lalu, dari keberadaan 1.900 km jalan tol yang dibangun itu, apakah ada kemaslahatan yang siginifikan bagi rakyat Indonesia? Jawabnya pasti ada. Tapi berapa persen?

Memang, kemudian rantai distribusi bahan sembako sebagai contoh,  menjadi lebih mudah dan cepat, tapi faktanya kini apa, BBM dan harga kebutuhan pokok malah naik. Aneh?

Sudah begitu, tarif tol semakin tinggi. Bagaimana? Artinya, jalan tol ini hanya untuk kepentingan bisnis semata. Apalagi pengguna jalan tol hanya para pemilik mobil. Rakyat kecil tidak merasakan kemanfaatannya.

Belum lagi dampak terhadap para pedagang yang ada disepanjang jalan yang kini tidak terlewati lagi oleh banyak kendaraan yang akhirnya tidak beroperasi lagi karena mobil-mobil lebih memilih menggunakan jalan tol. 

Hanya orang-orang pemilik modal besar yang mampu berdagang di rest area, hanya mereka yang menikmati hasilnya. Ternyata jalan tol pun tak signifikan terhadap ekonomi rakyat kecil. 

Inikah yang dinamakan tata kelola negara? Pemimpin hanya mengejar prestasi pribadi, kelompok, dan partainya, tetapi dengan cara menumpuk utang ribuan triliun, rakyat yang jadi kambing hitam.

Sejatinya, bersyukur, kini Indonesia di pandang hebat oleh pendukung rezim dan negara lain. Tapi, harus diingat, ini dilakukan dengan tata kelola yang serampangan. Ambisius. 

Mengapa Presiden-Presiden sebelumnya malah lebih memikirkan jalan nasional, ketimbang jalan tol? Sebab, mereka memang tetap memikirkan nasib rakyat.

Apalagi yang dibanggakan rezim ini, dari hasil utang? Rakyat pun tahu. Tetapi saat utang semakin menumpuk, rakyat pun semakin ditekan. 

Semoga fase kedua Ramadhan yang penuh ampunan ini, tetap dapat dilalui oleh rakyat Indonesia dengan ibadah yang aman, nyaman, dan khusyuk, meski banyak rakyat juga ikutan terjerat utang. Ada yang utang untuk kebutuhan primer, tapi banyak yang utang untuk kebutuhan sekunder dan demi gaya hidup hedon.

Mari, mengampuni diri sendiri dari utang, agar tak terjerat utang, gara-gara tak mampu memanaj diri, tak mampu menata kelola kehidupan sendiri, lalu mengorbankan diri, keluarga, hingga masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun