Lebih khusus lagi, saya sangat menekankan bahwa SSB itu Sekolah Sepak Bola dan menjadi pondasi layaknya di sekolah formal, karena ada kata sekolah, maka para pembina dan pelatih (guru), wajib diampu oleh SDM yang memiliki dan memenuhi persyaratan pedagogi, kompeten dalam pemahaman serta bagaimana mentransfer teori dan praktik ilmu sepak bola, dengan dasar tahu kondisi dan perbedaan kognitif afektif, dan psikomotir para siswanya. Para orang tuanya pun ada pembinaan dan pelatihan yang sama.
Bukan seperti sekarang yang terus terjadi. Pembinaan dan pelatihan hingga kompetisi di SSB salah kaprah. Pembina bukan orang yang kompeten dalam pedagogi, pelatih bahkan banyak yang tak berlisensi, ada yang hanya berlisensi D yang pendidikannya semiggu, Lisensi C yang dua minggu dan seterusnya. Tapi tak berpendidikan formal yang memenuhi syarat untuk menjadi pelatih/guru anak PAUD atau TK atau SMP yang minimal wajib Sarjana (S1).
Para orang tua pun terus dininabobokan oleh para pembina dan pelatih yang tak kompeten dengan mimpi masuk timnas. Orang tua juga bangga anaknya menjadi pemain seribu bendera, menclok ke SSB sana-sini, cari yang gratisan/beasiswa karena merasa anaknya hebat, tapi lupa etika dan sopan-santun kepada SSB awal yang membina dan melatih anaknya.
Karena kondisi yang tidak pernah ada titik terang dan kepastian dari PSSI menyoal SSB hingga detik ini, maka para pegiat sepak bola akar rumput pun berlomba ada yang membikin Asosiasi SSB, Forum SSB dll, sampai festival, turnamen, kompetisi mandiri.
Tapi lihat, saat STy disanjung, timnas Indonesia disanjung dalam perhelatan Piala AFF 2020, karena penggawa muda Indonesia dahsyat. Dari mana asal muasal pondasi para pemain ini pertama dibina, dilatih, dan berkompetisi sepak bola? Dari SSB.
Nama siapa yang sekarang tercantum dalam perhelatan Kompetisi Piala Soeratin? Apakah nama SSB? Yang tercantum nama Klub. Sampai kapan SSB hanya jadi sapi perah dan dijalankan tanpa arah, dikelola, dibina, dan dilatih oleh SDM yang tak kompeten dan tak layak ada di SSB?
Bila yang dipikir hanya kepentingan dan kepentingan, maka sampai 1001 tahun, sepak bola Indonesia akan terus sulit berprestasi, karena ibarat bangunan rumah, pondasinya tak dibuat, tak dibangun dengan alat, materi, struktur, serta SDM yang ahli dibidangnya pun sesuai persyaratannya.
Sampai kapan SSB akan terus dibiarkan tak terafiliasi, tak terstrukur, dan tak teregulasi dalam ranah pembinaan sepak bola nasional di bawah PSSI hingga kompetisi?
Kini opini publik naik, timnas di bawah STy hebat, tapi siapa pondasinya? Pondasinya tetap terlantar dan menghidupi diri sendiri, tetapi buahnya terus dipetik pihak yang tak menanam. Inilah wajah pondasi sepak bola nasional yang terus buram. Miris. Sedih. Prihatin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H