Di sisi lain, harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga mulai dari Rp 900 ribu sampai Rp 350 ribu juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi. Tapi dalihnya demi rakyat. Pemerintah ingin rakyat mendapatkan layanan tes real time polymer chain reaction (RT-PCR) dengan harga wajar. Sangat klise. Sangat tak malu.
Dengan begitu, mungkin bisa terjawab, mengapa Presiden juga dapat menentukan harga PCR sendiri dan meminta Menteri Kesehatan menurunkan harga di kisaran Rp 450.000 sampai Rp 550.000,- saat Agustus 2021.
Ternyata, keputusan dan kebijakan menyoal harga PCR, sepertinya benar, Â diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020, pemerintah mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu. Menguntungkan kelompok tertentu.
Jualan PCR kepada rakyat dengan harga seenak perut sendiri. Di mana dan ke mana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini? Kok membiarkan rakyat dikibuli pemerintahan sendiri. Kini, jualannya mau menyasar ke transportasi darat ambil momentum libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Kisah fenomenal tentang PCR di Indonesia ini, sepertinya membuat kepanjangan PCR berubah dari polymer chain reaction menjadi picik culasi rakyat.
Mau tahu maksudnya? Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Picik artinya tidak luas (tentang pandangan, pengetahuan, pikiran, dan sebagainya. Makanya, kini terkuak.
Culas maknanya curang, tidak jujur, tidak lurus hati. Dan, Rakyat adalah penduduk suatu negara. Akhirnya, PCR bikin kamu-kamu ketahuan, ya,? Jadi picik culasi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H