Dalam kancah Euro 2020, Mancini memilih 26 pemain terbaik di Italia. Dari kecerdasan, ketegasan, dan tanggungjawabnya, Mancini benar-benar memilih pemain yang sesuai standarnya. Tak ada pemain titipan. Tak ada pemain yang masuk skuat karena kepentingan.
Oleh sebab itu, dari 26 pemain yang dipilihnya, Mancini tak pernah menganggap apalagi mengucap bahwa dalam skuatnya ada pemain utama dan ada pemain lapis kedua. Inilah bukti bahwa Mancini adalah pelatih yang paham dan menguasai pedagogi (kognitif, afektif, psikomotor) pemain dan tak salah memilih pemain. Tak menerima pemain titipan, apalagi pemain yang ada beban kepentingan.
Bahkan dalam jumpa pers seperti telah disiarkan oleh berbagai media internasional dan nasional, Mancini mengungkapkan bahwa dia benar-benar kepada pemainnya, bahkan menyebut kami memiliki 26 starter dalam skuad Italia yang dibawa dalam Euro 2020.
Mancini pun membuktikan ucapannya, menggadapi Wales dengan 8 pemain starter baru, dengan tetap target utamanya menang, ternyata pemain starter yang baru merumput di laga ke-3, tetap tampil sama baiknya dengan pemain starter yang sudah turun di laga ke-1 dan ke-2. Italia pun membungkam Wales, dan mengunci juara Grup A.
Mancini cerdas menjaga mental pemain
Setelah sukses memuncaki Grup A dan lolos ke 16 besar, perjalanan Italia mengarungi Euro 2021 akan bertambah berat. Namun, demikian sikap dan kecerdasan Mancini patut ditiru oleh seluruh pembina dan pelatih di Indonesia.
Mancini sangat percaya kepada 26 pemain yang dipilihnya dari pikiran dan tangannya sendiri. Lebih dari itu, perasaan dan pikiran ke-26 pemain juga sangat dijaga oleh Mancini.
Meski dalam sebuah laga, pemain yang turun hanya 11, yang menghuni bench pemain 7 orang, total 18 orang. Maka, dari 26 pemain yang dipilih, di laga 1 dan 2 ada yang tak berjersey tim 8 orang. Tetapi, di laga ke-3 dari 26 pemain telah merasakan merumput dan menghuni bench pemain, tidak menjadi pengisi tribun penonton abadi.
Itu semua terjadi, karena Mancini menganggap 26 pemainnya adalah starter. Semua pemain utama, tidak ada cadangan, tak ada pemain lapis satu atau lapis dua, apalagi meruntuhkan mental pemain dengan menyebut secara verbal ada pemain grade A dan grade B, hingga grade C dan seterusnya. Grade itu, kelas.
Di Indonesia, sangat masif saya jumpai, mulai dari sepak bola akar rumput, tim kota/kabupaten/provinsi, klub-klub, hingga timnas, pembina dan pelatihnya mengkotak-kotak kelas pemain.
Bila pembina dan pelatih mengkotak-kotak kelas pemain atau level pemain hingga menyebut kelompok di level akar rumput, maka dipastikan pembina dan pelatih jelas tak lulus pedagogi. Tak layak dan wajib dijauhkan dari sepak bola akar rumput, karena jelas tak akan mampu mendidik dan membina tumbuh kembang kognisi dan afektif pemain, hingga pemain mentalnya jatuh, layu sebelum berkembang.