Miris. Bagaimana siswa dalam sekolah formal tidak learning lost? Pendidikan kita semakin kronis dalam berbagai masalah yang menumpuk.
Contoh kasus
Ada satu contoh kasus, ketika ada pihak yang memberikan suatu bacaan di grup whatsapp (WA) kegiatan sosial yang diiikuti oleh para siswa dan orang tua, baik sebelum dan di saat pandemi corona, padahal baik orang tua dan siswa sama-sama memiliki handpone dan sudah berkali-kali disampaikan, bahwa setiap pihak yang mengkoordinir kegiatan mengirim bacaan itu adalah untuk dibaca dan dianalisis, ternyata saat pihak tersebut melakukan kegiatan sosial dalam bentuk tatap muka, dan menguji para siswa, ternyata para siswa jangankan menganalisis bacaan. Membaca dan membuka bacaan saja tidak.
Di sisi lain, saat pihak menyelenggarakan kegiatan yang mewajibkan siswa hadir dalam acara sesuai waktu yang ditentukan, ternyata budaya hadir di kegiatan terlambat sudah mendarah daging.
Mirisnya antara orang tua dan siswa sama-sama kompak memberikan alasan mengapa terlambat dan jauh dari ekspetasi.
Dari contoh kasus kegiatan sosial tersebut, budaya buruk yang mengakar kuat pada siswa dan orang tua adalah tak membaca, tak merasa memiliki, tak peduli, tak simpati, mengabaikan, dan yang paling memprihatinkan menjadikan terlambat dan tidak tepat waktu hadir dalam kegiatan menjadi persoalan biasa. Bahkan tak ada lagi rasa malu.
Pertanyaannya, bilakah pendidikan sekolah formal dan pendidikan di rumah dapat diandalkan, akan terjadi sikap-sikap yang jauh dari harapan dari para orang tua dan siswa di kegiatan sosial nonformal?
Learning lost terbukti
Seperti sudah saya prediksi, tanpa pandemi corona saja, pendidikan di Indonesia terus tercecer, apalagi kini pandemi corona terus melanda, maka persoalan pendidikan semakin kronis.
Saat belum ada pandemi, masih banyak guru-guru sebagai ujung tombak di kelas-kelas belum mampu mengemban amanah pendidikan nasional, pasalnya para guru sendiri juga terkendala dalam hal kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, hingga tak lulus Ujian Kompetensi Guru (UKG).
Banyak sekali faktor yang menjadi penyebab para guru tak memiliki 4 kompetensi standar, dan sejatinya inilah pangkal masalah mengapa pendidikan di Indonesia kronis dalam ketertinggalan.
Saat belum ada pandemi, pendidikan di Indonesia boleh dibilang belum sesuai arah dan tujuan, sebab hasilnya tetap saja masih jauh dari harapan, belum melahirkan para siswa yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Siswa masih tawuran dan masih banyak melakukan tindakan negatif lainnya. Indikator kegagalan pendidikan ini pun di tambah oleh laporan PISAÂ (Programme for International Student Assessment) yang mengungkap pendidikan Indonesia terus tertinggal.
Saat pandemi corona datang, saya juga berpikir, bagaimana jalannya pendidikan di Indonesia yang harus dengan belajar jarak jauh (PJJ). Belajar normal saja, bicara kreativitas dan inovasi seolah menjadi harga mahal, karena kondisi para guru yang masih terus tertinggal dalam 4 kompetensi standar pun tak lulus UKG.
Rasa kawatir itu pun kini terbukti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kini telah mencatat, tanda-tanda learning lost sudah mulai terjadi berdasarkan hasil asesmen diagnostik yang dilakukan guru selama masa pandemi Covid-19. Â Learning lost adalah kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar pada siswa.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI, Kamis (21/1) mengungkapkan bahwa learning lost tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun ini baru hasil analisis guru berdasarkan asesmen diagnostiknya.
Namun, hasil analisis ini dapat dijadikan pegangan, sebab ada persentasenya. Terungkap sebanyak 47 persen sekolah/guru mengatakan, hanya 50 persen siswa memenuhi standar kompetensi. Selain itu, sebanyak 20 persen sekolah/guru menilai, sebagian kecil siswa memenuhi standar kompetensi. Artinya, siswa yang memenuhi standar kompetensi hanya di bawah 50 persen.
Sementara itu, sebanyak 31,9 persen sekolah/guru yang menilai siswanya sebagian besar sudah memenuhi standar kompetensi. Jika sebagian besar guru menilai siswanya tidak memenuhi standar kompetensi, artinya sudah ada kecenderungan terjadi learning lost.
Siswa sudah urusan dan tugas sekolah
Seperti sudah saya ungkap, belajar dalam situasi normal, tatap muka saja, pendidikan Indonesia terus tercecer karena faktor kompetensi guru dan uji kompetensi guru. Di tambah kurang berperannya orang tua dalam pendidikan anak.
Sebab, paradigmanya, bagi orang tua saat anaknya sudah disekolahkan, maka pendidikan menjadi tugas sekolah dan guru. Orang tua sudah tak punya beban dan sudah tak ikut memperhatikan pendidikan anak.
Ternyata budaya ini terus berlangsung saat Covid-19 datang. Para orang tua memang ada sebagian membantu dan sibuk mengurus dan mendampingi anaknya belajar PJJ dan menerima tugas dari gurunya. Namun, berapa persen orang tua di Indonesia yang ikut terlibat dalam pendidikan sekolah anaknya selama masa PJJ?
Fakta bahwa hasil analisis diagnostik guru menyebut bahwa kini para siswa sudah mulai learning lost, semakin membuktikan masalah kronis pendidikan kita sulit diurai.
Lebih ironis, ketika PJJ berlangsung dan para guru tidak lagi dibebani belajar dengan target ketuntasan kurikulum, tapi sesuai kemampuan siswa, nyatanya learning lost sudah terjadi.
Kerjasama sekolah dan orang tua bagaimana?
Terjadinya learning lost pada siswa, sejatinya sudah saya prediksi sejak pandemi corona hadir dan belajar harus dengan PJJ.
Tanpa ada corona dan PJJ, pendidikan kita sudah terpuruk. Akar masalah dan benang kusutnya pun sudah teridentifikasi. Namun, saya heran Kemendikbud sepertinya membiarkan persoalan PJJ ini asal jalan. Hingga apa yang dikawatirkan pun terjadi dan terbukti. Siswa sudah learning lost.
Sejak awal, dalam artikel pun sudah berkali-kali saya tulis bahwa dalam PJJ, kerjasama antara sekolah dan orang tua harus jelas. Bahkan harusnya ada hitam di atas putih.
Harus disadari bahwa para orang tua selama ini sudah mempercayakan anak-anaknya ke sekolah dan seolah, orang tua sudah tak punya tanggungjawab lagi mendidik anaknya di rumah.
Budaya lepas tangan orang tua ini, ternyata dilanjutkan saat sekolah dilakukan dengan PJJ. Sekolah pun tak jelas dan tegas memberikan garis sejauh mana keterlibatan orang tua dalam kerjasama pendidikan selama masa PJJ.
Atas kondisi ini, maka persoalan learning lost di Indonesia hanya masalah tinggal menunggu waktu. Seharusnya bisa diantisipasi dan diatasi, namun malah seolah sudah tahu akan ada becana, tapi pihak yang berkepentingan dan sudah tahu akan ada bencana, membiarkan bencana benar-benar terjadi.
Miris. Bagaimana siswa dalam sekolah formal tidak learning lost? Lihatlah contoh kasus yang saya ungkap. Lihatlah apa yang kronis dalam pendidikan kita selama ini? Lihat sekolahnya, lihat kompetensi gurunya, lihat kepedulian dan kerjasama para orang tuanya.
Di mana Kemendikbud? Di mana Pemerintah? Sebab, persoalan learning lost dan sikap-sikap tak membaca, tak merasa memiliki, tak peduli, tak simpati, tak empati, mengabaikan, terbudaya tak tepat waktu, hingga tak berkarakter dan tak berbudi pekerti luhur terus hanya menjadi sebatas mimpi.
Para pemimpin pun malah terus asyik masyuk meneladani berseteru demi kepentingan politiknya, oligarkinya, dinastinya, korupsinya dan lain sejenisnya. Pebdidikan anak-anak Indonesia pun semakin terpuruk. Learning lost di Indonesia akan bersaing dengan pandemi corona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H