Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia, Sebelum dan Sesudah Reformasi

13 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:14 2326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbedaan sebelum dan sesudah reformasi di Indonesia. | Kompas

Setelah era reformasi, kran kebebasan dibuka. Semua rakyat menjadi berani. Rakyat tidak lagi bodoh dan tak tinggal diam bila terjadi penyelewengan amanah yang menyengsarakan.Sayang, rezim jadi terlihat tak cerdik meski tetap jelas terlihat licik, sebab rakyat sudah cerdas. Mampu membaca segala tindakan licik dalam setiap intrik, taktik, dan politiknya.

"Apa perbedaan Indonesia sebelum dan sesudah era reformasi?" tanya seseorang yang saya dengar dalam sebuah obrolan. Ternyata usut punya usut, pertanyaan itu lahir akibat sengkarut UU Cipta Kerja yang sampai terjadi demonstrasi dan anarki, yang justru masalahnya diciptakan oleh DPR dan Pemerintah.

Dalam demonstrasi pun, polisi yang keberadaannya, seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, justru menjadi alat dan benteng "penguasa" dan menjadi musuh rakyat.

Hari ini, Selasa (13/10/2020) saat ada sebagian rakyat kembali melakukan demonstrasi, saya juga dapat kiriman video yang isinya para polisi berhasil menangkapi rakyat yang membawa bekal peralatan untuk rusuh dan anarki.

Baca juga: Tantangan Demokrasi di Indonesia Sejak Era Reformasi sampai Saat Ini

Pertanyaannya, mengapa rakyat yang mau demonstrasi sampai membawa bekal dan peralatan untuk rusuh dan anarki? Mengapa video keberhasilan polisi diviralkan?

Jujur, saya menunggu adanya kiriman video tentang keberhasilan para demonstran yang sampai ke tempat tujuan, diayomi dan dilindungi oleh polisi. Tanpa ada rusuh, keributan, dan anarki. 

Dan, berhasil menyampaikan tuntutan, diterima oleh pemimpin yang dituju. Sama seperti para pemimpin ini butuh suara rakyat untuk dapat kursi di parlemen dan pemerintahan yang tak pernah dihalangi oleh polisi. 

Mengapa kini polisi berubah fungsi? Kasihan polisi di lapangan yang sama-sama rakyat dan dibenturkan demi melayani dan tunaikan tugas "kepentingan".

Semua deskripsi yang kini terjadi di NKRI, memang sudah jauh dari harapan kemerdekaan yang dicitakan oleh para pejuang bangsa yang rela berkorban nyawa demi Indonesia merdeka.

Setelah Indonesia merdeka, dari zaman Indonesia dipimpin oleh rezim-rezim sebelum reformasi, hingga kini di pimpin oleh rezim-rezim baru, apakah ada perbedaan yang siginifikan pada keadaan rakyatnya?

Ternyata, dari semua rezim, rakyat tak merasakan ada perubahan yang nyata terhadap kesejahteraan tingkat hidupnya. Masyarakat tetap miskin ilmu dan miskin harta. Apa yang dicitakan sesuai Pembukaan UUD 1945, tetap saja hanya masih sebatas wacana di atas kertas, namun tak terbukti dalam kehidupan rakyat. Hukum dan keadilan masih menjadi barang sangat mahal bagi rakyat.

Sementara kesejahteraan dan lepas dari kemiskinan pun tetap sekadar mimpi di siang boling dan utopia bagi rakyat.

Indonesia yang faktanya gemah ripah loh jinawi, namun siapa yang terus menguasai dan menikmati gemah ripah loh jinawinya Indonesia itu?

Rakyat hanya dibutuhkan suaranya untuk mereka memperoleh kedudukan dan jabatan. Rakyat hanya dijadikan atas nama demi mereka menguasai hutan, gunung, sawah, dan lautan.

Hukum terus tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pergerakan rakyat demi perjuangan hak-haknya terus dikekang dan dibatasi. Rakyat terus ditakut-takuti dan diintimidasi. Semua mereka lakukan dengan  berbagai skenario dan penyutradaraan.

Apa-apa yang tidak disetujui rakyat, rezim menyilahkan rakyat menutut ke pengadilan. Namun, pengadilan juga bagian dari rezim. Ke mana rakyat harus mengadu dan berteriak atas semua ini.

Lepas dari penjajahan kolonialisme hingga 75 tahun, nyatanya selama 75 tahun pula rakyat di jajah oleh rakyat yang diberikan amanah dan kepercayaan.

Baca juga: Saudaraku dan Imajinasi Reformasi yang Hambar

Ada yang bertanya, apa perbedaan pemimpin Indonesia zaman rezim sebelum reformasi dan setelah reformasi?

Ada yang menjawab, sebelum reformasi, demokrasi hanya milik rezim. Rakyat terbelenggu dan selalu ketakutan karena pergerakannya tak kan bisa lepas dari pengawasan penguasa bila melawan apalagi membangkang. Rezim lebih cerdik nan licik, karena rakyat terus dibikin bodoh dan diam. Itulah sebabnya, rezim dapat bertahan hingga puluhan tahun.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Setelah era reformasi, kran kebebasan dibuka. Semua rakyat menjadi berani. Rakyat tidak lagi bodoh dan tak akan tinggal diam bila terjadi penyelewengan amanah yang menyengsarakan.

Sayang, rezim jadi terlihat tak cerdik meski tetap jelas terlihat licik, sebab rakyat sudah cerdas. Mampu membaca segala tindakan licik dalam setiap intrik, taktik, dan politiknya.

Kini, apa pun yang direncanakan oleh rezim. Apa pun intrik, taktik, dan politiknya, bukan hanya rakyat yang mampu membaca. Namun, karena kebodohan di antara anggota rezim itu, maka di antara mereka justru yang membongkar rahasia dari akal liciknya sendiri.

Mereka bahkan terus tanpa menyadari melakukan intrik, taktik, dan politik basi, sebab skenarionya sudah terbaca dan terdeteksi. 

Percuma berbuih mendebat, bernarasi, membela diri, mempertahankan diri, bahkan sampai menuduh balik kecurangan dan kejahatan dilakukan oleh rakyat, padahal siapa di balik adegan dari skenario yang dibuat oleh mereka sendiri.

Di saat semua negara sibuk dengan melawan pandemi corona. Ada negeri yang pemimpin dan wakil rakyatnya malah sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk melayani para junjungannya demi mengambil NKRI dengan caranya.

Sibuk membuat rakyat turun ke jalan, berdemonstrasi, dan berbuat anarki. Pemimpin dan wakil rakyat macam apa itu? Bahkan, membenturkan rakyat dengan rakyat yang berseragam, bukan malah menjadi pengayom dan pengaman rakyat, malah menjadi musuh rakyat.

Baca juga: 21 Mei 1998, Kenangan Saya dalam Gerakan Reformasi Mahasiswa

Di mana logika dan akal sehatnya. Memaksakan kehendak dengan melepaskan hati nurani berubah menjadi bukan manusia berbudi.

Apa yang kini sedang terjadi di NKRI, jelas-jelas menjadi deskripsi bahwa rakyat memang telah tak dianggap dan sudah tak berdaulat.

Kapan mereka akan menyadari dan malu, bahwa sejatinya, segala hal yang mereka rencanakan, mereka perbuat, semua sudah dicerna dan dibaca rakyat.

Sungguh, saya jadi kawatir bila sampai ada people power. Akan ada gerakan perjuangan rakyat yang mengulang sejarah 75 tahun lalu, merebut Indonesia dari penjajahan kolonialisme. Kini, merebut Indonesia, merdeka seutuhnya.  Merebut penjajahan dari rezim.

Namun, jangan-jangan mereka memang telah siap menghadapi kemarahan rakyat?

Aneh, seharusnya mereka yang kini memimpin dan duduk di kursi parlemen dan pemerintahan karena suara dari rakyat, namun mereka terus lupa diri dan melupakan siapa yang membuat mereka ada di sana. Dan, seharusnya mereka bekerja untuk siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun