Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komunikasi Publik Buruk, Masalah UU Cipta Kerja Tambah Keruh

12 Oktober 2020   11:41 Diperbarui: 12 Oktober 2020   11:48 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Positif dan negatif

Apa yang dikesahkan oleh seorang tukang cukur, dari sudut pandangnya sebagai wong cilik dan hidup dari menjual jasa cukur rambut, ternyata tidak sederhana, yaitu ingin rakyat Indonesia terus tak menderita. Mengapa tak sederhana? Saat berbagai rezim pemimpin Indonesia ada sebelum era reformasi, pemimpin menjadi penguasa mutlak, kebebasan masih dibatasi, rakyat masih polos, dan rezim cerdik. Begitu kran reformasi dibuka, kebebasan di buka, rakyat semakin cerdas dan rezim jadi nampak tak cerdas.

Namun, begitu, rezim yang nampak tak cerdas karena segala intrik, taktik, dan politiknya sudah terbaca rakyat, tapi rezim sekarang masih memaksakan kehendak, sengaja buta dan tuli dari teriakan rakyat dari sikap dan perbuatannya yang tak amanah karena ada "hutang" kepada cukong.

Sehingga, rezim sekarang memang lebih sangat menonjol kepada hal-hal negatifnya, meski ada hal positif yang telah diperbuat.

Dan fatalnya, hal-hal negatif itu justru terus dibuat oleh rezim ini dengan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan rakyat dan sekadar pencitraan.

Apa indikator dan faktanya? Semisal, Koalisi Masyarakat Sipil menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR gagal memberikan informasi yang tepat terkait omnibus law Undang-undang atau UU Cipta Kerja. 

Berkutnya, banyak pihak pula yang mengatakan bahwa Jokowi tidak terbuka dan tak melibatkan ruang partisipasi publik seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasalnya, naskah akademik dan UU yang disahkan tidak dapat diakses publik. Menyebut rakyat disinformasi dan percaya hoaks, padahal dia sendiri yang menyembunyikan informasi. Membantah sejumlah protes publik terkait pasal-pasal di UU Cipta Kerja, di sisi lain, naskah final UU itu hingga kini masih di Badan Legislasi DPR untuk dirapikan. Publik pun mempertanyakan naskah mana yang dirujuk Presiden Jokowi.

Saya kutip dari Tempo.co, Minggu (11/10/2020), Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur menduga Jokowi memperoleh informasi dan laporan yang sesat. Akibatnya, Presiden mengecap para pengunjuk rasa termakan hoaks.

Pola semacam ini juga pernah terjadi  saat publik ramai-ramai menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).

Bisa jadi, tujuan dengan menyebut hoaks agar masyarakat tidak berani menyampaikan pendapatnya di muka umum dan melakukan demonstrasi. Yang melakukan hoaks pun lantas ditangkapi polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun