Positif dan negatif
Apa yang dikesahkan oleh seorang tukang cukur, dari sudut pandangnya sebagai wong cilik dan hidup dari menjual jasa cukur rambut, ternyata tidak sederhana, yaitu ingin rakyat Indonesia terus tak menderita. Mengapa tak sederhana? Saat berbagai rezim pemimpin Indonesia ada sebelum era reformasi, pemimpin menjadi penguasa mutlak, kebebasan masih dibatasi, rakyat masih polos, dan rezim cerdik. Begitu kran reformasi dibuka, kebebasan di buka, rakyat semakin cerdas dan rezim jadi nampak tak cerdas.
Namun, begitu, rezim yang nampak tak cerdas karena segala intrik, taktik, dan politiknya sudah terbaca rakyat, tapi rezim sekarang masih memaksakan kehendak, sengaja buta dan tuli dari teriakan rakyat dari sikap dan perbuatannya yang tak amanah karena ada "hutang" kepada cukong.
Sehingga, rezim sekarang memang lebih sangat menonjol kepada hal-hal negatifnya, meski ada hal positif yang telah diperbuat.
Dan fatalnya, hal-hal negatif itu justru terus dibuat oleh rezim ini dengan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan rakyat dan sekadar pencitraan.
Apa indikator dan faktanya? Semisal, Koalisi Masyarakat Sipil menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR gagal memberikan informasi yang tepat terkait omnibus law Undang-undang atau UU Cipta Kerja.Â
Berkutnya, banyak pihak pula yang mengatakan bahwa Jokowi tidak terbuka dan tak melibatkan ruang partisipasi publik seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasalnya, naskah akademik dan UU yang disahkan tidak dapat diakses publik. Menyebut rakyat disinformasi dan percaya hoaks, padahal dia sendiri yang menyembunyikan informasi. Membantah sejumlah protes publik terkait pasal-pasal di UU Cipta Kerja, di sisi lain, naskah final UU itu hingga kini masih di Badan Legislasi DPR untuk dirapikan. Publik pun mempertanyakan naskah mana yang dirujuk Presiden Jokowi.
Saya kutip dari Tempo.co, Minggu (11/10/2020), Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur menduga Jokowi memperoleh informasi dan laporan yang sesat. Akibatnya, Presiden mengecap para pengunjuk rasa termakan hoaks.
Pola semacam ini juga pernah terjadi  saat publik ramai-ramai menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).
Bisa jadi, tujuan dengan menyebut hoaks agar masyarakat tidak berani menyampaikan pendapatnya di muka umum dan melakukan demonstrasi. Yang melakukan hoaks pun lantas ditangkapi polisi.