Pernyataan Presiden Jokowi dalam konferensi pers terkait UU Cipta Kerja pada Jumat, 9 Oktober 2020 yang menyebut aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja terjadi karena disinformasi dan termakan hoaks, hingga kini terus menuai kontroversi dan disesalkan oleh banyak pihak. Bahkan ada pihak yang sampai mengungkap bahwa pernyataan Presiden itu menyesatkan.
Kesah tukang cukur
Sejatinya, hari Minggu, 11 Oktober 2020, saya ingin rehat dari ingar bingar sengkarut di NKRI dan mencoba sehari saja tak menulis artikel. Sayang, meski rehat sehari tak menulis artikel berhasil, namun saya tak berhasil mencegah sahabat dan rekan-rekan saya membombardir wa saya dari berbagai berita menyoal sengkarut di NKRI sejak pagi hingga malam hari.
Bahkan di luar dugaan saya, saat saya potong rambut, ternyata tukang cukur langganan saya sedang off dan digantikan oleh rekannya. Lalu, apa yang terjadi? Sejak tukang cukur rekan tukang cukur langganan saya ini mulai memotong rambut saya, dia tak berhenti bicara menyoal sengkarut di NKRI.
Dia bicara dari sudut pandangnya sebagai wong cilik. Rupanya semakin saya dengarkan, karena saya coba tak melayani pembicaraannya, nampak sekali bahwa dia sangat kecewa kepada pemimpin di negeri ini. Dia sebut, siapa pun Presidennya, rakyat tetap saja menderita dan miskin.
Sebagai wong cilik, saat sekarang terjadi demontrasi yang akhirnya timbul rusuh, dia mengatakan, berarti kalau sampai rakyat demo, berarti ada yang tidak beres, meski ada.yang rusuh. Dia juga mengatakan bahwa sebelum akhirnya ada demo penolakan, bukannya pemerintah dan DPR sudah diingatkan oleh berbagai pihak tapi tetap ngotot.
Malah, Presidennya kabur saat didatangi pendemo. Begitu Presiden bicara dalam konferensi pers, malah bilang rakyat demo karena termakan isu disinformasi dan hoaks.
Atas antuasiasnya dia bicara masalah Indonesia dan sepertinya memahami apa yang sedang terjadi, saya pun coba menanyakan apakah dia ikut memilih Presiden saat Pilpres dan dari mana dia menjadi begitu paham dengan apa yang sedang terjadi di NKRI?
Dia pun menjawab, tidak ikut memilih dalam Pilpres karena bekerja di rantau sebagai tukang cukur rambut. Dia juga menjelaskan bahwa dia tidak merasakan pendidikan tinggi, namun tahu kondisi Indonesia terutama dari apa yang dia rasakan sebagai rakyat dan selalu rajin mengikuti perkembangan Indonesia dan berita media massa terutama televisi dan mengatakan bahwa sebenarmya Indonesia kini sedang dijajah oleh bangsa sendiri.
Karena penasaran, saya pun akhirnya coba bertanya, apa harapan dia untuk Indonesia dan para pemimpinnya agar Indonesia tak terus bermasalah. Jawabnya ternyata cukup ringkas dan padat. Sebagai rakyat biasa yang hidup dari ongkos jasa mencukur rambut, dia hanya berharap "pemimpin Indonesia memihak rakyat." Alasannya, hingga kini siapa pun Presidennya, rakyat masih menderita.
Begitu tugasnya selesai mencukur rambut saya, saya pun langsung pamit dan menyemangati, semoga pemimpin kita kembali ke rakyat, rakyat akan lepas dari penderitaan.
Positif dan negatif
Apa yang dikesahkan oleh seorang tukang cukur, dari sudut pandangnya sebagai wong cilik dan hidup dari menjual jasa cukur rambut, ternyata tidak sederhana, yaitu ingin rakyat Indonesia terus tak menderita. Mengapa tak sederhana? Saat berbagai rezim pemimpin Indonesia ada sebelum era reformasi, pemimpin menjadi penguasa mutlak, kebebasan masih dibatasi, rakyat masih polos, dan rezim cerdik. Begitu kran reformasi dibuka, kebebasan di buka, rakyat semakin cerdas dan rezim jadi nampak tak cerdas.
Namun, begitu, rezim yang nampak tak cerdas karena segala intrik, taktik, dan politiknya sudah terbaca rakyat, tapi rezim sekarang masih memaksakan kehendak, sengaja buta dan tuli dari teriakan rakyat dari sikap dan perbuatannya yang tak amanah karena ada "hutang" kepada cukong.
Sehingga, rezim sekarang memang lebih sangat menonjol kepada hal-hal negatifnya, meski ada hal positif yang telah diperbuat.
Dan fatalnya, hal-hal negatif itu justru terus dibuat oleh rezim ini dengan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan rakyat dan sekadar pencitraan.
Apa indikator dan faktanya? Semisal, Koalisi Masyarakat Sipil menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR gagal memberikan informasi yang tepat terkait omnibus law Undang-undang atau UU Cipta Kerja.Â
Berkutnya, banyak pihak pula yang mengatakan bahwa Jokowi tidak terbuka dan tak melibatkan ruang partisipasi publik seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasalnya, naskah akademik dan UU yang disahkan tidak dapat diakses publik. Menyebut rakyat disinformasi dan percaya hoaks, padahal dia sendiri yang menyembunyikan informasi. Membantah sejumlah protes publik terkait pasal-pasal di UU Cipta Kerja, di sisi lain, naskah final UU itu hingga kini masih di Badan Legislasi DPR untuk dirapikan. Publik pun mempertanyakan naskah mana yang dirujuk Presiden Jokowi.
Saya kutip dari Tempo.co, Minggu (11/10/2020), Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur menduga Jokowi memperoleh informasi dan laporan yang sesat. Akibatnya, Presiden mengecap para pengunjuk rasa termakan hoaks.
Pola semacam ini juga pernah terjadi  saat publik ramai-ramai menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).
Bisa jadi, tujuan dengan menyebut hoaks agar masyarakat tidak berani menyampaikan pendapatnya di muka umum dan melakukan demonstrasi. Yang melakukan hoaks pun lantas ditangkapi polisi.
Yang pasti, apa yang diungkup oleh Presiden Jokowi menyoal disinformasi dan hoaks, tanpa disadari semakin memperlemah posisi pemerintah yang bak belahan jiwa dengan DPR. Serta semakin memperlemah wibawa pemerintah sendiri yang semakin tak dipercaya rakyat dalam komunikasi publik yang buruk.
Jokowi menyusul komunikasi buruk menterinya dalam hal UU Cipta Kerja, Airlangga Hartarto dan Mahfud MD yang menuduh ada dalang kerusuhan dan mau manangkapi dan menindak tegas demonstran yang anarkis.
Indikator lain yang membuktikan bahwa UU Cipta Kerja bermasalah dan ditolak berbagai pihak, beberapa gubernurpun mendukung rakyat atas penolakan ini.
Bahkan tercatat sudah ada beberapa nama gubernur yang diwartakan berbagai media nasional ada dipihak rakyat.
Gubernur yang memilih berada di samping buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di antaranya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ikut berkirim surat ke Presiden Jokowi agar menangguhkan undang-undang yang dijuluki sapu jagat itu. Mengikuti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji yang lebih dulu meminta pemerintah membatalkan UU Ciptaker.
Bila para Gubernur sampai harus berkirim surst kepada Presiden karena berpihak kepada rakyat, ini semakin memberikan bukti bahwa selama ini komunikasi publik publik pemerintah kepada rakyat buruk dan gagal. Hal ini pun semakin menunjukkan bahwa negeri ini semakin terpuruk khususnya dalam pendidikan  karakter dan pendidikan bangsa pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H