Kota-kota di antara sungai selalu membuatku terpesona. Seperti Paris dengan sungai Seine yang mengalir di tengah kotanya. Lalu London yang dibelah sungai Thames. Terus ada Palembang yang dilewati Sungai Musi. Dan tentu saja Banjarmasin! Bekas ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan itu tidak hanya dikitari Sungai Martapura dan Sungai Barito. Tapi juga oleh puluhan sungai lainnya.Â
Tidak seperti dugaanku, penerbangan pagi ke Banjarmasin ternyata penuh. Rute Jakarta - Banjarmasin rupanya cukup sibuk. Dari sebuah situs reservasi tiket, terungkap sedikitnya ada 11 kali penerbangan dalam sehari. Dilayani hampir semua maskapai nasional. Menarik!
Mendung tipis menyapu langit Kalimantan Selatan, ketika Citilink dengan nomor penerbangan QG-480 akhirnya mendarat sempurna di bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin. Tepat pada pukul 10.30. Ketepatan waktu yang alangkah indahnya jika tetap terjaga untuk semua penerbangan.Â
Meskipun ini bukan kunjungan pertama ke kota berjuluk "Kota Seribu Sungai" itu. Tetapi, seolah perjalanan pertama saja. Maklum lah, kunjungan pertama telah berlalu lebih dari satu dasawarsa. Dan tidak banyak lagi yang teringat. Ah, tentu saja kecuali Lok Baintan dan Soto Banjar Bang Amat. :)Â
Sebagai kota terbesar di Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin memang memiliki lebih banyak daya tarik wisata. Bandingkan saja dengan kota Banjarbaru. Kota yang sejak tahun 2022 lalu telah menggantikan statusnya sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan itu.
Selain dilintasi Sungai Martapura dan Sungai Barito, kota berpenduduk sekitar 657 ribu itu, juga dilewati puluhan sungai kecil lainnya. Bahkan mencapai lebih dari 100 sungai, seperti data yang dirilis BPS. Beberapa di antaranya, sungai Alalak, sungai Kuin dan sungai Kelayan.
Sungai-sungai di Banjarmasin sejatinya telah lama berperan penting dalam berbagai aktivitas masyarakat setempat. Tidak hanya sebagai sarana transportasi sungai. Tetapi, juga untuk berbagai kegiatan lainnya. Apalagi di era terkini, ketika sektor pariwisata terus dipacu.
Potensi wisata di Banjarmasin memang cukup melimpah. Tidak hanya Pasar Terapung yang selama ini identik sebagai ikon pariwisata Banjarmasin. Di pusat kota saja terdapat banyak objek wisata menarik. Lokasinya pun tidak jauh satu dengan yang lain. Cukup berjalan kaki dari satu spot ke spot berikutnya.Â
Misalnya saja, dari Patung Bekantan ke Menara Pandang. Atau di sisi lain Sungai Martapura. Dari Taman Siring Nol Kilometer ke Masjid Raya Sabilal. Pun tidak terlalu jauh jika hendak menyusuri tepian Martapura dari Jembatan Dewi sampai Jembatan Pasar Lama. Rute pejalan kaki yang kian populer di kota ini.Â
Dan tentu saja, sedikit di luar pusat kota Banjarmasin, banyak wisatawan pun tidak melewatkan Jembatan Sei Alalak, Jembatan Barito dan Lok Baintan. Jembatan Sei Alalak sendiri kini disebut-sebut sebagai ikon baru kota Banjarmasin. Dan soal Pasar Terapung Lok Baintan akan saya tulis dalam artikel terpisah.Â
Dengan berbagai pertimbangan di atas, saya pun akhirnya memilih sebuah hotel yang berlokasi di Jalan Lambung Mangkurat. Persis di jantung kota Banjarmasin. O ya, saya memang lebih menyukai lokasi hotel di pusat kota. Alasannya simple. Mudah berjalan kaki ke mana-mana.
Dan begitu pula yang saya lakukan ketika mengunjungi Banjarmasin di awal bulan Desember 2022 lalu. Dari hotel ke Masjid Sabilal, contohnya, hanya berjarak sekitar 700 meter. Tidak lebih dari 10 menit berjalan kaki. Dengan jarak yang hampir sama pula ke Patung Bekantan.
Masjid Sabilal Muhtadin, yang juga dikenal sebagai Masjid Raya Sabilal Muhtadin, adalah masjid terbesar di Banjarmasin. Kapasitas masjid ini mencapai 15,000 jemaah. Dan tidak hanya ukurannya yang impresif. Masjid ini pun memiliki gaya arsitektur yang sangat indah.
Tidak heran, Masjid Sabilal menjadi salah satu destinasi wisata populer di Banjarmasin. Saya sendiri mengunjunginya dua kali. Baik di pagi hari maupun menjelang maghrib. Kala lampu-lampu masjid yang telah dinyalakan membuatnya tampil kian memesona. Persis seperti foto terlampir berikut.
Selain pesona arsitekturnya, masjid yang dibangun tahun 1981 sebagai penghormatan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari itu, ternyata menyimpan sejarah yang menarik. Khususnya terkait lokasi berdirinya masjid megah ini. Bagaimana tidak, masjid ini berdiri di bekas tanah asrama tentara Pulau Tatas.Â
Konon kabarnya, di era kolonialisme Belanda, lokasi ini dikenal sebagai Fort Tatas atau Benteng Tatas. Sebuah bekas benteng pertahanan militer Belanda di wilayah Kalimantan Selatan.
Tidak jauh dari Masjid Sabilal, cukup menyeberang jalan saja, terdapat Taman Siring Sungai Martapura. Kawasan bersantai di tepian Sungai Martapura ini menyajikan spot foto menarik ke arah Sungai Martapura dan Menara Pandang Banjarmasin. Juga lokasi ideal menikmati senja yang indah di kota ini.
Lokasi itu pun sangat dekat ke Taman Siring Nol Kilometer Banjarmasin. Spot foto lain yang terletak di seberang bekas kantor gubernur Kalimantan Selatan. Kantor gubernur sendiri saat ini tentu saja sudah pindah ke Banjarbaru, ibu kota baru dari Provinsi Kalimantan Selatan.
Setelah menyusuri sisi barat Sungai Martapura hingga Jembatan Pasar Lama, saya memutuskan menyeberang ke sisi lainnya. Tempat berdirinya beberapa objek wisata lainnya, antara lain Menara Pandang, Pasar Terapung Kapten Piere Tendean dan Patung Bekanten.
Objek wisata paling menonjol di sisi ini tidak lain adalah Menara Pandang Banjarmasin. Landmark kota yang baru diresmikan pada tahun 2014 silam. Belum terlalu lama. Dari atas menara ini, pengunjung bisa menikmati lanskap nan cantik dari Sungai Martapura dan kota Banjarmasin. Sayang sekali, pas ke situ, akses ke puncak menara sedang ditutup.
Wisata jalan kaki dengan sejumlah perhentian membuat rute yang cukup jauh pun tetap menyenangkan. Begitulah, tanpa terasa saya sudah dekat dengan Jembatan Dewi. Hanya beberapa ratus meter ke arah hotel. Namun, sebelum menyeberang jembatan tua itu, sebuah patung menarik perhatianku.Â
Aha, rupanya inilah sang Bekantan. Hewan primata yang kabarnya banyak ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Pantas saja, ada Patung Bekantan di kota ini. Dan Bekantan bukan satu-satunya objek wisata yang menghiasi kawasan itu. Masih ada Dermaga Apung dan Kampung Ketupat.Â
Jembatan Dewi sendiri merupakan jembatan tertua di Banjarmasin. Jembatan yang dulunya disebut Jembatan Coen itu, dibangun pada tahun 1914. Nama Coen konon merujuk ke nama John Coen, seorang pemimpin Belanda kala itu. Atau bisa saja yang dimaksud adalah Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang sangat terkenal.
Lalu bagaimana dengan nama Dewi?Â
Menurut cerita, pada sekitar tahun 1960-1970-an, ada sebuah bioskop yang dibangun di dekat jembatan itu. Namanya Bioskop Dewi. Lama kelamaan, masyarakat Banjarmasin pun menyebutnya Jembatan Dewi. Disesuaikan dengan nama bioskop di dekatnya. Biar gampang saja.
Satu hal lagi yang menarik dari jembatan ikonik ini. Bagian tengah jembatan ini dapat diangkat bila ada perahu besar yang hendak lewat ke arah pedalaman. Hm, mirip ya dengan Jembatan Kota Intan di kawasan Kota Tua Jakarta.
Kawasan sekitar Jembatan Dewi memang menarik dijelajahi. Andai saja tidak ada janji lain untuk memotret di sore itu, saya masih pingin lanjut ke Kampung Ketupat. Kampung ini dulunya hanya kampung biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, namanya berubah menjadi Kampung Ketupat. Nama itu disematkan karena banyak warganya yang menjual ketupat.Â
Sore itu langit di atas Banjarmasin cetar membara. Dan dari sebuah rooftop cafe di dekat Jembatan Sei Alalak, panorama kota Banjarmasin kian memikat. Momen menjelang sunset memang selalu menjadi waktu terbaik menikmati senja. Tentu saja sambil memotret. :)
Jembatan Sei Alalak sendiri adalah salah satu jembatan terbaru di Banjarmasin. Jembatan jenis kabel pancang (cable-stayed) itu baru diresmikan pada tanggal 21 Oktober 2021 lalu. Dan kabarnya masih banyak jembatan lain yang sedang dibangun di Banjarmasin dan sekitarnya.
Banjarmasin dikelilingi banyak sungai. Dan penuh dengan ratusan jembatan. Jadi selain berjuluk "Kota Seribu Sungai", kota ini pun bisa saja digelari "Kota Seribu Jembatan". Kenapa tidak? Setidaknya, hingga saat ini sudah terdapat lebih dari 700 jembatan di kota ini. Dan bakal banyak jembatan lainnya yang akan terus dibangun.Â
***
Kelapa Gading, 17 Januari 2023
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H