Fotografi terus berkembang pesat dari era ke era. Peminat fotografi pun makin rajin berburu foto. Baik di sekitar kota berupa cityscape, maupun ke luar kota demi foto landscape nan menawan. Foto-foto dengan komposisi menarik pun terus bermunculan. Dan satu di antara elemen komposisi yang paling menarik di-explore adalah the Leading Lines.
Pernahkah Anda mendengar sebuah apresiasi atas hasil foto seperti ini? "Wow, fotonya keren sekali. Pasti kameranya bagus dan mahal!". :)
Tidak sepenuhnya salah. Kamera yang bagus memang bisa membantu menghasilkan sebuah foto berkualitas. Tetapi, jangan lupa, kunci utama tetap berada di tangan sang fotografer alias "The Man Behind the Camera".
Dengan kata lain, untuk mendapatkan foto-foto yang menarik tidak semata mengandalkan gear yang mahal. Tidak semudah itu Ferguso! Ada teknik memotret yang harus dikuasai. Ada banyak pengetahuan lain yang wajib dipelajari.
Belum lagi perjuangan panjang untuk mendapatkan foto-foto tersebut. Dari waktu memotret yang tidak biasa, hingga kesabaran menunggu momen yang tepat. Hm, jadi ingat perjuangan memotret sunset di Pulau Tiga, Serang. Saat kembali ke Jakarta sudah jelang tengah malam.
Baca juga: "Berburu Foto Cityscape, dari Jakarta hingga Shanghai"
Sejatinya, sebuah foto memang tidak muncul begitu saja. Tidak dengan sekali jepret. Sebuah foto pun perlu dirancang dalam sebuah komposisi. Sebut saja, "The Art of Composition" yang tidak kalah penting.
Ada seni melihat, merancang, lalu membidik. Dan setiap fotografer boleh jadi melihat setiap subjek secara berbeda. Meskipun berdiri di spot yang sama. Begitupun komposisi foto yang bakal dibuatnya. Di sinilah seni memotret menjadi menarik. Jadi jelas tidak asal klik!
Begitu pentingnya elemen komposisi ini, hampir semua buku panduan fotografi pun ikut membahasnya secara mendalam. Di antaranya, buku-buku karya Michael Freeman, fotografer terkenal asal Inggris. Maupun berbagai buku fotografi karya fotografer kenamaan Indonesia lainnya.
Dari berbagai elemen komposisi yang disarankan, ada beberapa elemen yg menarik diterapkan. Bahkan banyak penyuka foto lanskap selalu menggunakannya sebagai panduan dasar. Sebut di antaranya, Rules of Third, Symmetry, Framing, dan Leading Lines.
Elemen yang disebutkan terakhir inilah yang menjadi salah satu komposisi yang paling saya sukai. Ada tantangan tersendiri untuk menemukannya. Seperti foto di atas, yang diambil di Pelabuhan Muara Angke, menggunakan batu-batu yang ada sebagai leading line ke arah kapal rusak.Â
Baca juga:Â "Framing, Ide Kreatif dalam Komposisi Fotografi"
Secara singkat, Leading Lines adalah garis imajiner yang menuntun mata penikmat foto menyusuri garis-garis itu menuju ke objek utama dari foto tersebut. Dan biasanya, garis imajiner ini dimulai dari bagian bawah foto dan mengarahkan mata ke atas. Dari latar depan ke latar belakang foto.
Mari amati foto lain berikut ini. Dibidik di sebuah jalan di Kota Tua Yerusalem. Foto ini membimbing mata mengikuti jalan lurus hingga ke subjek utama di dalam foto, yakni dua pejalan kaki di ujung jalan itu.
Saya memang sudah berniat memotret jalan di kota tua itu. Namun, ketika melihat ada warga lokal yang berjalan masuk ke ruang bidik kamera, saya pun menunggunya hingga mereka berada persis di bawah gerbang lengkung. Dan klik, klik! Butuh kesabaran dan sedikit keberuntungan. :)
Dalam kesempatan lain, tidak sedikit pula, garis imajiner itu sendiri menjadi elemen paling memikat dari sebuah komposisi foto. Contoh foto Terasering Panyaweuyan, yakni perkebunan bawang terkenal di Argapura, Majalengka.
O ya, Leading Lines, yang kerap disebut Elemen Garis, tidak selalu harus tegak lurus seperti foto jembatan di Tanjung Pasir yang saya tampilkan setelah alinea ini. Bisa juga bergerak secara diagonal ke satu arah, melingkar atau meliuk-liuk. Ya, seperti foto di Majalengka di atas.
Garis imajiner tentu saja tidak dibuat secara khusus. Garis-garis ini memang sudah tersedia secara alami. Anda hanya perlu menemukannya. Masalahnya, perlu melatih mata fotografi kita agar cepat menemukan sang garis khayal itu.
Misalnya, ketika saya sedang menunggu kapal feri di pelabuhan Bastiong Ternate, mata saya terpikat dengan alur jembatan yang menarik. Sebelum banyak penumpang melewatinya, saya segera memotret jembatan dengan warna garis-garis kuning tersebut.
Sama persis ketika berdiri di Piazza San Pietro di Vatikan. Melihat antrean yang panjang menuju basilika, saya ke luar antrean sebentar dan memotretnya.
Jika foto di Pelabuhan Bastiong seakan mengajak setiap penikmat foto ikut menyusuri jembatan ini menuju feri yang telah bersandar di dermaga. Maka foto di alun-alun Santo Petrus itu memperlihatkan garis antrian pengunjung menuju pintu masuk ke basilika.
elemen garis bisa berupa apa saja. Dari jembatan, jalan, bangunan, pilar, lampu jalan hingga alam di sekitar kita. Baik berupa aliran sungai, deretan bebatuan, hingga garis pantai.
Dari berbagai contoh di atas, jelas sudah,Selanjutnya, ayo lihat foto pesisir pantai di Halmahera Utara ini. Sebetulnya tidak ada 'garis' apapun. Tetapi, dari angkasa terlihat seperti sebuah garis diagonal. Pilihan komposisi secara diagonal membuat foto tampil lebih dinamis. Dan tentunya lebih sedap dipandang.
Bentuk garis imajiner memang bisa sangat beragam. Selain bisa melengkung, bisa pula sedikit zig zag. Semuanya menarik! Lihat saja foto masjid terapung Al Jabbar di Bandung maupun foto Jembatan Ancol (foto terakhir). Terlihat berbeda dibandingkan hanya memotret garis lurus memanjang.
Di antara berbagai garis imajiner yang ada, paling sulit menemukannya di alam terbuka. Berbeda dengan jembatan, pagar, jalan tol, dan sejenisnya yang lebih mudah ditemukan. Sebagian garis imajiner ini butuh daya imajinasi tersendiri. Jika sudah terbiasa mengenal polanya, Anda pasti menemukannya.
Ketika berburu foto di Sawarna-Bayah, yang dijuluki surga para landscapers, tanpa sengaja mata saya menemukan bentuk batu menarik. Bila berdiri di posisi yang tepat, kita segera mendapatkan bentuk batu tersebut bak sebuah garis memanjang hingga ke ujungnya. Dan di ujung sana berdiri Batu Layar, ikon kawasan wisata tersebut.
Bentuk yang tidak jauh berbeda saya temukan ketika memotret Pura Batu Bolong di kawasan Tanah Lot, Bali. Dengan memasang kamera pada posisi rendah (low angle), batu berlumut serta lorong air di sela-selanya mengantar mata kita ke Pura Batu Bolong. Anda bisa melihatnya, bukan?
Apakah masih ada contoh lainnya? Banyak. Anda pun bisa menemukan garis imajinermu sendiri. Tidak ada aturan yang spesifik mengatur garis apa yang bisa digunakan. Satu contoh terakhir, foto sunrise di Jembatan Ancol-Jakarta di bawah ini.Â
Garis imajiner yang berbeda bukan? Mata Anda diajak mengikuti pagar kayu yang sedikit zig zag menuju ke arah apartemen di ujung foto. Ah, ini bukan leading lines, bro! Bukan? No problem, yang penting saya menyukai komposisi ini. Haha.
Dalam memotret, sesekali Anda boleh saja membebaskan diri dari semua aturan. Selama Anda menyukai hasil karya fotomu sendiri, cukup sudah, brader. Jika terlalu terbeban dengan semua aturan, jangan-jangan Anda akan kehilangan kegembiraan memotret lagi. Semoga tidak! :)
***
Kelapa Gading, 16 Desember 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
1) Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi.
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H