Pagi nan dingin menggigit sampai ke tulang. Namun, arus pengunjung masih terus mengalir ke salah satu spot populer di punggung bukit Pananjakan ini. Kian berjejal, seakan semuanya ingin berada di baris terdepan. Tidak berapa lama kemudian, di ufuk timur tampak matahari mulai merekah. Bak bola emas raksasa menyembul dari perut bumi. Amboi, indahnya!
Atmosfer seperti itulah yang boleh jadi selalu menjadi harapan ratusan ribu wisatawan yang mengunjungi Taman Nasional Bromo sepanjang tahun. Pengunjung pun rela bangun subuh dan bergegas ke beberapa spot foto demi menunggu sunrise atau matahari terbit.
Akan tetapi, tidak setiap saat kita beruntung mendapatkan panorama spektakuler itu. Harapan menyaksikan sang surya muncul di kaki langit kerap tidak terwujud. Dan itulah romantika sebuah perjalanan mengejar matahari terbit. Kadang sukses, sering juga tidak berhasil.
Alam memang menyimpan rahasianya sendiri. Meskipun kita sudah berusaha memilih waktu perjalanan di musim yang terbaik. Tetapi, tidak ada jaminan apapun untuk medapatkan sunrise nan cetar. Aplikasi cuaca apapun sekedar memprediksi. Bukan menggaransi.
Pengalaman berburu sunrise bukan hanya sekali. Di Bromo saja setidaknya sudah dua kali penulis ke sana untuk menunggu matahari terbit. Dan keduanya berujung sendu di hati. Sunrise yang ditunggu-tunggu sepertinya enggan menampakkan diri.
Namun, Bromo bukan hanya soal sunrise. Taman nasional inipun memiliki pesona lautan pasir dengan panorama Gunung Batok yang menarik. Belum lagi padang savananya yang menawan.
Di suatu pagi yang sepi, penulis hanya bisa tepekur di puncak Candi Borobudur sambil memandang ke timur yang kelabu. Perjalanan panjang sejak subuh dari hotel yang nyaman di Yogyakarta hingga tiba di puncak Borobudur pun seakan sia-sia.
Apalagi untuk mendapatkan akses naik ke sini pun tidak mudah. Harus membayar 'paket sunrise' yang lumayan mahal dari Hotel Manohara - Borobudur.
Tidak hanya penulis yang menunggu sunrise saat itu. Bersama belasan turis asing dan fotografer lainnya, kami telah menunggu di puncak Borobudur sejak jam 04.40-an pagi. Jauh sebelum pintu gerbang utama Borobudur dibuka untuk umum pada jam 06.00.
Tanpa sunrise yang diharapkan, Borobudur masih tetap menakjubkan. Anda hanya perlu mencari sudut pengambilan yang tepat untuk membuat sebuah foto menarik di Candi Buddha terbesar di dunia ini. Dan boleh jadi, kegagalan di pagi itu adalah alasan yang bagus untuk nanti kembali lagi ke Borobudur. Seperti kata Jenderal Douglas MacArthur, “I shall return!”.
Berburu sunrise (matahari terbit) memang lebih menantang dibandingkan memotret sunset (matahari terbenam). Selain harus bangun sangat pagi ketika sebagian orang masih terlelap, kita pun harus tahu posisi ideal untuk memotretnya. Jangan sampai ketika sunrise sedang beringsut naik, kita justru berada di spot yang salah. Bisa-bisa kena 'Panic attack'.
Benjamin Franklin, salah satu tokoh pendiri negara AS, pernah mengatakan, "By failing to prepare, you are preparing to fail." Intinya, persiapan sangat penting. Dan di era kini, beberapa aplikasi digital akan sangat membantu proses perburuan sunrise itu. Mulai dari ramalan cuaca hingga kapan sunrise mulai muncul.
Soal waktu sunrise, contohnya. Kini banyak tersedia aplikasi yang bisa diunduh gratis dari Play Store. Salah satu di antaranya adalah "Sun Surveyor Lite" yang menampilkan detail waktu yang lengkap. Mulai dari Blue Hour, waktu Sunrise, hingga Golden Hour. Silakan lihat contoh tangkapan layarnya berikut ini.
Kembali ke perburuan sunrise lainnya, penulis sudah cukup sering menanti sunrise di beberapa pantai yang menghadap ke arah timur. Sebut saja, Pantai Kenjeran di Surabaya, Pantai Sanur di Bali, dan Pantai Dewi Mandapa di Lampung. Bisa dibilang setiap ada kesempatan ke Surabaya maupun Bali, penulis selalu menyempatkan mampir ke kedua pantai ini untuk memotret sunrise.
Tentu saja tidak harus dari pantai. Sunrise juga bisa dinikmati dan difoto dari berbagai spot lainnya. Misalnya saja, dari puncak Candi Borobudur tadi. Begitu pula dari lokasi lain, seperti di tepi Danau Bratan – Bali atau tepatnya dekat Pura Ulun Danu. Bahkan penulis pun pernah menunggu sunrise di tepi empang di desa Rammang-Rammang- Maros.
Baca juga: “Pesona Pagi di Rammang-Rammang”
Dalam suatu perburuan sunrise lainnya bersama sebuah Komunitas Fotografi, kami bahkan pernah dua pagi melewatkan waktu di Angkor Wat, Siem Reap - Kamboja tanpa hasil memuaskan. Perjalanan di bulan November saat itu memang kerap diiringi hujan. Bukan sunrise yang kami dapatkan, tapi “November Rain” yang rajin menyapa.
Akan tetapi, sama persis di kisah perburuan lainnya, kami tetap mencoba menikmati setiap momen yang ada di sekitar Angkor Wat yang merupakan salah satu “UNESCO World Heritage Site”.
Ada yang mengabadikan berbagai sudut menarik kuil tersebut. Dan ada juga yang memotret anak-anak setempat ataupun para Biksu yang kebetulan ada di situ.
Jadi apapun hasilnya, tetap saja nikmati proses perjalanan itu dan setiap momen yang berlalu. Jangan pernah membatasi ‘kenikmatan perjalanan’ semata dari berapa banyak foto indah yang dihasilkan. Dan jangan biarkan suasana hatimu menjadi muram karena kegagalan memotret sunrise.
Andaikan gagal mendapatkan sunrise di satu spot, pun selalu ada peluang mendapatkannya di lokasi lain. Meskipun setiap lokasi tentunya berbeda, kecuali matahari nya yang so pasti sama. Setidaknya, pesona sunrise memang sangat layak diperjuangkan. Bukan hanya bagi fotografer, tetapi juga bagi banyak penikmati pagi dan pemburu sunrise lainnya.
Jadi suatu saat jika Anda berburu foto sunrise dan tidak mendapatkannya, tetap nikmati saja pagi yang indah itu. Sunrise tidak pernah ingkar janji. Kita saja yang tidak selalu beruntung melihatnya ‘bangun pagi’. :)
Kelapa Gading, 07 Januari 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto-foto adalah koleksi pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI