Jika diperjalanan ada istilah 'photo stop' dan 'coffee stop'. Boleh jadi, keduanya itu bisa disandingkan dengan 'blog walking' di jagat Kompasiana. Aktivitas ini membuka mata dan hati untuk selalu mau belajar dari siapapun. Jangan pernah merasa sudah cukup tahu. Seperti pepatah lama di dunia persilatan, “Di atas langit masih ada langit.”
Sejujurnya, saya bukan seorang sprinter atau pelari cepat. Juga jauh dari seorang pebalap yang mampu melahap setiap etape dengan cepat. Saya hanya seorang Pejalan yang ingin konsisten menulis. Setidaknya dua artikel setiap minggu. Dan di hari-hari lain, saya adalah pembaca di Kompasiana.
Di awal tahun 2021 ini, jika kembali melihat pencapaianku sepanjang 21 April – 31 Desember 2020, tentunya tidak banyak yang patut dibanggakan. Masih sangat jauh jika dibandingkan puluhan atau mungkin ratusan Kompasianer lainnya. Namun demikian, saya tetap bersyukur atas semua pencapaian sejauh ini. Rasa syukur dan selalu berterima kasih, seperti yang kerap diajarkan Kompasianer Senior Katedrarajawen yang saya hormati.
Bisa menulis di Kompasiana saja sudah senang. Lalu, bisa mengenal serta menjalin persahabatan dengan sesama Kompasianer lainnya adalah suatu berkat tersendiri. Dan secara tidak langsung, juga ada hikmah tersembunyi di balik pandemi covid-19. Andaikata tidak terjadi pandemi selama ini, boleh jadi saya tidak akan pernah menulis di Kompasiana. A blessing in disguise.
Dari data statistik yang selalu tampil di laman profil, terlihat beberapa data singkat yang mudah dibaca. Misalnya, dari 96 artikel yang ditulis, terdapat 72 artikel yang mendapatkan label AU. Sedangkan, 24 lainnya berstatus Pilihan. Tentu saja, saya patut berterima kasih kepada Admin Kompasiana yang telah memercayakan label tersebut untuk artikel-artikelku.
Tidak lama setelah menayangkan artikel ke-40 bertajuk "Milan, di Antara Mode, Bola dan Duomo", sebuah notifikasi berbeda muncul. "Selamat, akun Anda telah diverifikasi". Wow! Bahagia sekali. Tetapi, di samping senang, saya pun sepenuhnya mengerti. Setiap kepercayaan harus dihargai dengan menulis lebih baik lagi. Ada tanggung jawab yang menyertainya.
Perjalanan di Kompasiana masih sangat panjang. Saya hanya perlu menikmatinya. Dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Bukankah kata orang “Success is a journey, not a destination”. Jadi nikmati saja proses sepanjang perjalanan, tidak sekedar mengejar hasil akhirnya.
Di akhir tahun 2020, tepat pada tanggal 31 desember 2020, sang "Pejalan" akhirnya menapak ke tingkat “Penjelajah”. Jika dianalogikan seperti etape di lomba balap sepeda “Tour de France” yang legendaris, maka etape berikutnya dari Penjelajah ke Fanatik terbentang sebuah rute yang sangat panjang. Tetiba jadi pingin nyanyikan lagunya Beatles, "The Long and Winding Road". Hahaha.
Namun, beruntung di Kompasiana ada sang Maestro Tjiptadinata Effendi, panutan kita semua, yang selalu memberikan inspirasi. Jika mau sukses harus konsisten menulis. “Jangan menulis gaya Lumba-lumba,” tulis Pak Tjipta dalam sebuah artikelnya. Tahu kan sifat lumba-lumba?
Dan jangan pula seperti "Firework", tulisnya lagi di artikel yang lain. Hanya meroket sesaat, kemudian menghilang dalam kegelapan malam. Siap, Pak Tjipta!