Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Chefchaouen, Kota Biru yang Menawan Hati di Maroko

25 Oktober 2020   11:14 Diperbarui: 25 Oktober 2020   12:39 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar nama negara Maroko, kita mungkin langsung teringat nama kota-kota terkenal seperti Rabat, Casablanca atau Marrakech. Namun, pernahkah mendengar nama Chefchaouen?

Chefchaouen, yang sering dijuluki "Kota Biru", adalah sebuah kota kecil di barat laut Maroko. Berada di kawasan pegunungan Rif, kota berpenduduk sekitar 42,700 ini dapat dicapai dalam waktu sekitar 3 jam dari kota Tangier atau hanya 1.5 jam dari Tetouan.

Sama seperti berbagai perjalanan penulis ke belahan dunia lainnya, tujuan ke Maroko ini pun dalam rangka sebuah penugasan kantor. 

Perjalanan di awal Oktober tahun lalu demi memandu sebuah corporate incentive group dari salah satu perusahaan distributor kamera ternama di Jakarta. Chefchaouen kebetulan masuk jadwal persinggahan dalam perjalanan hari itu dari kota Rabat menuju Tangier.

Rute Rabat -- Chefchaouen membentang sepanjang 252 km. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh. Akan tetapi, karena melewati banyak kota kecil dan wilayah pegunungan, maka kecepatan bus pun lebih sering melambat. Apalagi si sopir sepertinya juga enggan menekan pedal gas lebih dalam. Tak mengapa, yang penting selamat dalam perjalanan.

Peta lokasi Chefchaouen. Sumber: Lonely Planet via planetjanettravels.com
Peta lokasi Chefchaouen. Sumber: Lonely Planet via planetjanettravels.com
Setelah belasan kali melirik GPS, akhirnya bus kita pun mulai menderu memasuki wilayah Chefchaoen. Sesuai rencana, sebelum memasuki kota tua Chefchaoen, ada satu spot menarik sebagai photo stop dan sekaligus untuk makan siang. 

Restoran Houda adalah sebuah restoran lokal di atas sebuah bukit dengan pemandangan menawan ke arah kota dan pegunungan Rif. Dan lokasi inilah yang dijual kepada tamu-tamunya, "lunch with a view of the blue city".

Jika Anda penyuka warna biru, inilah kotamu. Cara gampang untuk mengetahui seberapa biru Chefchaouen, ketik saja nama kota ini di mesin pencari manapun. Dan dalam sekian detik, sejuta gambar bangunan bernuansa biru dari kota tua ini hadir menyapamu. Itulah sebabnya Chefchaouen pun dijuluki "The Blue City" alias "Kota Biru".

Sejatinya, tidak ada yang tahu persis sejak kapan Chefchaouen mulai dijuluki "Kota Biru". Buku-buku wisata di masa lalu, seperti "All Morocco" ataupun "Insight Pocket Guide Morocco" hanya sekilas mengulas tentang kota ini, tanpa sekalipun menyebut julukannya itu.

Buku panduan wisata Maroko. Sumber: koleksi pribadi
Buku panduan wisata Maroko. Sumber: koleksi pribadi
Sejarah kota kecil ini, yang awalnya sebuah kasbah (benteng), telah berlangsung ratusan tahun lalu. Adalah Moulay Ali ibn Rashid al-Alami yang diyakini sebagai pendiri kota ini pada 1471 dengan tujuan untuk melawan invasi Portugis ke wilayah Maroko utara. Sang pendiri ini adalah keturunan dari Abd as-Salam al-Alami dan Idris I, pendiri Dinasti Idrisid (788-791).

Wilayah ini pernah didiami suku Ghomara, bersama dengan orang-orang Morisko (Moorish) dan Yahudi yang melarikan diri ke sini pada saat Reconquista (Penaklukan kembali wilayah Iberia oleh Spanyol) pada abad pertengahan.

Selanjutnya, pada tahun 1920, pasukan Spanyol menguasai Chefchaouen dan menjadikannya bagian dari Spanyol-Maroko. Namun, setelah Maroko merdeka pada tahun 1956, Chefchaouen pun dikembalikan.

Mr.Ahmed, pemandu wisata di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Mr.Ahmed, pemandu wisata di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Meskipun sejarah Chefchaouen sangat menarik, tetapi sang local guide, Ahmed, yang menemani kami sore itu, tidak kuasa menahan hasrat semua pendengarnya untuk segera memisahkan diri satu-satu.

Warna-warna biru menawan dari dinding rumah dan lantai lorong dengan anak tangga yang juga dicat itu terlalu menggoda untuk segera diabadikan. Ahmed pun harus dengan sabar memanggil dan menunggu jepretan kamera pengikut tour-nya yang seakan tidak ada habisnya itu.

Pesona utama Chefchaoen bukan terletak pada monumen bersejarah atau bangunan istana spektakuler dan sejenisnya. Bukan juga pada pemandangan alamnya yang indah menawan. Bukan hal-hal seperti yang biasa kita temukan di kota lain.

Chefchaoen terlihat begitu memesona hanya dengan jalan-jalan kecil berliku yang didominasi rumah-rumah berwarna biru, dari biru tua hingga biru muda. Warna-warna biru itu mengisi hampir semua dinding yang ada, begitu juga pintu dan jendela. Bahkan jalan pun ada yang dibirukan!

Rumah penduduk di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Rumah penduduk di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Dengan kian dikenalnya "Kota Biru" ini secara internasional, pelan tapi pasti, Chefchaouen atau juga disebut Chaouen, kian berkembang menjadi salah satu destinasi populer di Maroko. 

Banyak spot yang instagrammable tersebar di berbagai sudut kota tua ini. Dari jalan berliku, pintu rumah, jendela, tembok, dan lain-lain, didominasi warna biru. Jadi, kenapa harus biru? Rupanya ada alasannya.

Ada beberapa teori soal warna biru ini. Salah satunya konon warna biru sangat efektif mengusir nyamuk. Yang lain mengatakan biru adalah simbol langit dan surga, juga sebagai pengingat akan kehidupan spiritual. 

Namun, jawaban berikut ini mungkin paling jujur. Sejak tahun 1970-an, konon kabarnya, dinding-dinding rumah memang diperintahkan untuk dicat biru demi menarik minat wisatawan mengunjunginya. Menarik bukan?

Soal warna biru ini juga akan kian menarik, andaikata orang Chefchaouen sudah mengenal pakar Numerologi Indonesia, Kompasioner Rudy Gunawan. 

Menurut Numerologist pemegang Rekor MURI ini, warna biru sangat identik dengan lautan dan langit. Memandangi lautan biru yang luas dan langit biru yang cerah akan menggambarkan perasaan kita terhadap warna indah ini.

Sebuah jalan di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Sebuah jalan di Chefchaouen. Sumber: koleksi pribadi
Sebagai sebuah destinasi yang menarik datangnya makin banyak wisatawan, termasuk backpacker, Chefchaoen juga memiliki cukup banyak hotel untuk melayani wisatawan Eropa yang biasanya datang di musim panas. Begitu juga kafe, restoran dan toko suvenir. Setidaknya terdapat sekitar 200 hotel di kota ini, yang kebanyakan bergaya butik hotel dan hotel- hotel kecil.

Meskipun kota kecil, tapi Anda bisa saja tersesat di gang-gang kecil bak labirin. Atau sengaja "tersesat". Ahmed, si pemandu wisata setempat, akhirnya keluarkan jurus pamungkas nya agar rombongan tetap mengikutinya. "Follow me, I'll show you the best spot for your Instragram photos". 

Ternyata, jurus saktinya masih tetap gagal. Belum tahu dia, kalau wisatawan Indonesia itu sudah paling jago untuk urusan swafoto. Hampir semua sudut kota rasanya tidak luput difotoin. Bagi sebagian wisatawan Indonesia, urusan motret seakan lebih penting daripada menyimak cerita sejarah.

Bersama Ahmed di alun-alun kota tua. Sumber: koleksi pribadi
Bersama Ahmed di alun-alun kota tua. Sumber: koleksi pribadi
Alun-alun kota tua, tempat biasanya kita semua berkumpul kembali sehabis 'walking tour' dipenuhi barisan kafe-kafe bergaya tradisional. Sangat sederhana. Di sini para wisatawan dan penduduk lokal saling berbaur. 

Namun perlu hati-hati. Konon Chefchaoen juga sangat terkenal di kalangan backpacker karena kemudahan mendapatkan narkoba. Kota ini diam-diam mempunyai reputasi sebagai pusat penanaman mariyuana di Maroko utara.

Kawasan pegunungan Rif dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil Cannabis (mariyuana). Meskipun barang haram ini sudah ditetapkan ilegal sejak kemerdekaan Maroko tahun 1956. Dan kemudian ditegaskan kembali soal larangan ini pada tahun 1974, tetapi di sebagian wilayah seperti Chefchaoen dan sekitarnya seakan ditolerir.

Maroko memang sudah lama dikenal sebagai penghasil utama tanaman kanabis yang terlarang ini. Ibarat cinta yang terlarang. Makin dilarang, makin dicari. Dan wilayah Chefchaouen adalah salah satu penghasil utama kanabis di Maroko.

Rumah biru di sebuah gang. Sumber: koleksi pribadi
Rumah biru di sebuah gang. Sumber: koleksi pribadi
Jadi sebaiknya jika ada yang nawarin, abaikan saja. Bilang saja, "I only love the Blue City". Juga, "Blue Sky". Bahkan, sebutin "Blue Band" pun boleh saja. Hahaha. Pokoknya, ada biru-birunya. Tetapi, katakan tidak untuk mariyuana. 

Persinggahan di Chefchaoen berlalu cepat. Namun pesonanya seakan terus mengikuti kami, hingga kami meninggalkan Maroko. Dan kenangan bersamanya hingga kinipun tidak terlupakan.

Kelapa Gading, 25 Oktober 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto-foto adalah koleksi pribadi, kecuali foto peta dari Lonely Planet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun