Mendengar nama negara Maroko, kita mungkin langsung teringat nama kota-kota terkenal seperti Rabat, Casablanca atau Marrakech. Namun, pernahkah mendengar nama Chefchaouen?
Chefchaouen, yang sering dijuluki "Kota Biru", adalah sebuah kota kecil di barat laut Maroko. Berada di kawasan pegunungan Rif, kota berpenduduk sekitar 42,700 ini dapat dicapai dalam waktu sekitar 3 jam dari kota Tangier atau hanya 1.5 jam dari Tetouan.
Sama seperti berbagai perjalanan penulis ke belahan dunia lainnya, tujuan ke Maroko ini pun dalam rangka sebuah penugasan kantor.Â
Perjalanan di awal Oktober tahun lalu demi memandu sebuah corporate incentive group dari salah satu perusahaan distributor kamera ternama di Jakarta. Chefchaouen kebetulan masuk jadwal persinggahan dalam perjalanan hari itu dari kota Rabat menuju Tangier.
Rute Rabat -- Chefchaouen membentang sepanjang 252 km. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh. Akan tetapi, karena melewati banyak kota kecil dan wilayah pegunungan, maka kecepatan bus pun lebih sering melambat. Apalagi si sopir sepertinya juga enggan menekan pedal gas lebih dalam. Tak mengapa, yang penting selamat dalam perjalanan.
Restoran Houda adalah sebuah restoran lokal di atas sebuah bukit dengan pemandangan menawan ke arah kota dan pegunungan Rif. Dan lokasi inilah yang dijual kepada tamu-tamunya, "lunch with a view of the blue city".
Jika Anda penyuka warna biru, inilah kotamu. Cara gampang untuk mengetahui seberapa biru Chefchaouen, ketik saja nama kota ini di mesin pencari manapun. Dan dalam sekian detik, sejuta gambar bangunan bernuansa biru dari kota tua ini hadir menyapamu. Itulah sebabnya Chefchaouen pun dijuluki "The Blue City" alias "Kota Biru".
Sejatinya, tidak ada yang tahu persis sejak kapan Chefchaouen mulai dijuluki "Kota Biru". Buku-buku wisata di masa lalu, seperti "All Morocco" ataupun "Insight Pocket Guide Morocco" hanya sekilas mengulas tentang kota ini, tanpa sekalipun menyebut julukannya itu.
Wilayah ini pernah didiami suku Ghomara, bersama dengan orang-orang Morisko (Moorish) dan Yahudi yang melarikan diri ke sini pada saat Reconquista (Penaklukan kembali wilayah Iberia oleh Spanyol) pada abad pertengahan.
Selanjutnya, pada tahun 1920, pasukan Spanyol menguasai Chefchaouen dan menjadikannya bagian dari Spanyol-Maroko. Namun, setelah Maroko merdeka pada tahun 1956, Chefchaouen pun dikembalikan.
Warna-warna biru menawan dari dinding rumah dan lantai lorong dengan anak tangga yang juga dicat itu terlalu menggoda untuk segera diabadikan. Ahmed pun harus dengan sabar memanggil dan menunggu jepretan kamera pengikut tour-nya yang seakan tidak ada habisnya itu.
Pesona utama Chefchaoen bukan terletak pada monumen bersejarah atau bangunan istana spektakuler dan sejenisnya. Bukan juga pada pemandangan alamnya yang indah menawan. Bukan hal-hal seperti yang biasa kita temukan di kota lain.
Chefchaoen terlihat begitu memesona hanya dengan jalan-jalan kecil berliku yang didominasi rumah-rumah berwarna biru, dari biru tua hingga biru muda. Warna-warna biru itu mengisi hampir semua dinding yang ada, begitu juga pintu dan jendela. Bahkan jalan pun ada yang dibirukan!
Banyak spot yang instagrammable tersebar di berbagai sudut kota tua ini. Dari jalan berliku, pintu rumah, jendela, tembok, dan lain-lain, didominasi warna biru. Jadi, kenapa harus biru? Rupanya ada alasannya.
Ada beberapa teori soal warna biru ini. Salah satunya konon warna biru sangat efektif mengusir nyamuk. Yang lain mengatakan biru adalah simbol langit dan surga, juga sebagai pengingat akan kehidupan spiritual.Â
Namun, jawaban berikut ini mungkin paling jujur. Sejak tahun 1970-an, konon kabarnya, dinding-dinding rumah memang diperintahkan untuk dicat biru demi menarik minat wisatawan mengunjunginya. Menarik bukan?
Soal warna biru ini juga akan kian menarik, andaikata orang Chefchaouen sudah mengenal pakar Numerologi Indonesia, Kompasioner Rudy Gunawan.Â
Menurut Numerologist pemegang Rekor MURI ini, warna biru sangat identik dengan lautan dan langit. Memandangi lautan biru yang luas dan langit biru yang cerah akan menggambarkan perasaan kita terhadap warna indah ini.
Meskipun kota kecil, tapi Anda bisa saja tersesat di gang-gang kecil bak labirin. Atau sengaja "tersesat". Ahmed, si pemandu wisata setempat, akhirnya keluarkan jurus pamungkas nya agar rombongan tetap mengikutinya. "Follow me, I'll show you the best spot for your Instragram photos".Â
Ternyata, jurus saktinya masih tetap gagal. Belum tahu dia, kalau wisatawan Indonesia itu sudah paling jago untuk urusan swafoto. Hampir semua sudut kota rasanya tidak luput difotoin. Bagi sebagian wisatawan Indonesia, urusan motret seakan lebih penting daripada menyimak cerita sejarah.
Namun perlu hati-hati. Konon Chefchaoen juga sangat terkenal di kalangan backpacker karena kemudahan mendapatkan narkoba. Kota ini diam-diam mempunyai reputasi sebagai pusat penanaman mariyuana di Maroko utara.
Kawasan pegunungan Rif dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil Cannabis (mariyuana). Meskipun barang haram ini sudah ditetapkan ilegal sejak kemerdekaan Maroko tahun 1956. Dan kemudian ditegaskan kembali soal larangan ini pada tahun 1974, tetapi di sebagian wilayah seperti Chefchaoen dan sekitarnya seakan ditolerir.
Maroko memang sudah lama dikenal sebagai penghasil utama tanaman kanabis yang terlarang ini. Ibarat cinta yang terlarang. Makin dilarang, makin dicari. Dan wilayah Chefchaouen adalah salah satu penghasil utama kanabis di Maroko.
Persinggahan di Chefchaoen berlalu cepat. Namun pesonanya seakan terus mengikuti kami, hingga kami meninggalkan Maroko. Dan kenangan bersamanya hingga kinipun tidak terlupakan.
Kelapa Gading, 25 Oktober 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto-foto adalah koleksi pribadi, kecuali foto peta dari Lonely Planet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H