Kisah Low Cost Carrier (LCC) atau Low Cost Airlines ternyata mengundang banyak pertanyaan kritis. Jika begitu murah, lalu bagaimana perawatan pesawatnya? Mungkinkah ada jadwal perawatan dikurangi? Boleh jadi armada yang digunakan adalah pesawat bekas? Apa saja layanan yang dihilangkan? Dan barangkali masih ada sejumlah pertanyaan lainnya yang tertahan di ujung jari. Belum diketik. :)
Baca juga: Fenomena "Low-Cost Carrier", dari Amerika hingga Indonesia
Di dunia aviasi Indonesia, setiap kejadian apapun terkait perusahaan penerbangan bertarif rendah selalu diikuti banyak analisa cerdas hingga sebatas spekulasi. Dari para ahli di berbagai acara gelar wicara, sampai diskusi seru di berbagai grup whatsapp. Beragam opini pun bertebaran.
Dari sekian banyak isu yang menjadi topik sentral, sepertinya dua hal yang paling kerap disorot. Harga yang dianggap terlalu murah sehingga abai perawatan, hingga anggapan armadanya yang rata-rata sudah terlalu tua. Harga murah karena pesawat tua seolah-olah menjadi hipotesis paling pas.
Akan tetapi, penulis beruntung pernah mendapatkan salah satu jimat yang dibagikan Kompasianer idola Khrisna Pabichara, yakni perlunya "Riset". Ada dua jimat lainnya yang tidak kalah esensial. Silakan baca di sini.
Menariknya, dari sebuah situs yang konsisten memperbarui database dunia penerbangan sipil, termasuk data pesawat dari ratusan maskapai penerbangan, ternyata sebagian persepsi itu tidak sepenuhnya benar.Â
Fakta yang sama juga bisa diulik di statista.com. Kenyataannya, sebagian besar armada LCC justru masih tergolong berusia muda. Malah banyak yang masih gres, termasuk dari jajaran armada LCC di Indonesia.
Berdasarkan data yang dikutip www.planespotters.net serta dari situs masing-masing maskapai lainnya, mari sejenak kita lihat perbandingan usia rata-rata armada penerbangan terlampir.
Situs statista.com dalam rilisnya bertajuk "Worldwide aircraft fleet Age by Region 2020-2030", mengungkap hasil senada. Tren usia pesawat, misalnya di pasar Amerika Utara, dari maskapai penerbangan tradisional atau Full-service Airlines rata-rata di atas 10 tahun. Sebaliknya, sebagian besar armada LCC masih berada di bawah 10 tahun.
Lagipula, dalam dunia penerbangan sejatinya tidak dikenal batas usia pesawat. Selama perawatan pesawat berjalan baik, maka pesawat tersebut tetap diijinkan terbang. Hakikatnya, pesawat terbang beroperasi bukan dinilai dari usianya, namun dinilai dari kelaikannya.
Pemeliharaan pesawat diatur dalam regulasi yang sangat ketat. Hal ini untuk memastikan keselamatan dan pesawat berfungsi dengan baik selama penerbangan. Dalam penerbangan sipil, regulasi nasional wajib dikordinasikan di bawah standar internasional yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).Â
Indonesia sendiri pernah meregulasi batasan usia pesawat, termasuk kategori transpor untuk Angkutan Udara Penumpang yang dioperasikan di wilayah RI. Melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. 155 Tahun 2016, pemerintah membatasi usia pesawat paling tinggi 15 tahun. Namun, aturan tersebut kini telah dicabut melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. 27 Tahun 2020. Kenapa? Ya, itu tadi. Di dunia penerbangan memang tidak dikenal batas usia pesawat.
Kembali ke topik utama. Bagaimana para jawara LCC bisa begitu gila menabur godaan harga tiket murah. Apa saja kiatnya? Ada puluhan strategi bisnis yang bisa diulik dari berbagai situs maupun referensi lainnya. Namun, penulis membatasi pada beberapa strategi saja, yang kebetulan sesuai dengan pengalaman perjalanan sendiri.
Pemilihan Bandara 'Kelas Dua'
Sekian tahun yang lalu dalam sebuah penugasan kantor, dengan rute terbang Washington, DC ke Orlando - Florida, ternyata pesawat yang kami gunakan tidak terbang dari bandara utama di ibukota itu, yakni Dulles International Airport dan Ronald Reagen Washington Airport yang berlokasi lebih dekat. Tetapi, pesawat kategori LCC itu menggunakan Baltimore / Washington International Airport yang dikenal dengan nama BWI. Kenapa memilih bandara itu? Karena BWI adalah bandara paling murah di sekitar wilayah Washington, DC. As simple as that.
Ketiga bandara di atas, yakni BWI, KLIA2 dan Don Muang adalah bandara yang menawarkan biaya operasional yang jauh lebih murah dibandingkan bandara utama.Â
Sama juga dengan London Luton Airport (markas easyJet) dan London Stansted Airport (hub-nya Ryanair), yang sudah pasti lebih murah dibandingkan beroperasi dari Bandara Internasional Heathrow yang mahal.
Dengan demikian, para jawara LCC memiliki ruang negosiasi yang kuat, serta mampu menekan biaya operasional di bandara. Tentu saja, fasilitas bandara kedua ini tidak sementereng bandara utama.Â
Selain berlokasi lebih jauh, tidak selalu ada travelator, garbarata, dll. Apakah penumpang keberatan? Tidak. Yang penting murah. Turun tangga menuju tarmac, lalu jalan kaki atau naik bus ke pintu pesawat adalah pemandangan biasa di area LCC beroperasi.
Pemilihan 'Single Aircraft Type'Â
LCC umumnya memilih tipe pesawat sejenis dari sebuah pabrik pesawat, baik dari Airbus yang bermarkas di Toulouse, Prancis, maupun pabrik Boeing dari Chicago, AS. Meskipun, ada juga LCC yang menggunakan dua jenis pesawat berbeda dalam jajaran armadanya.
Tidak perlu lagi penyediaan bermacam suku cadang dan pelatihan berbeda untuk jenis pesawat yang tidak sama. Contoh nyata dalam hal ini adalah Southwest Airlines dan easyJet. Southwest hanya menggunakan pesawat Boeing 737. Dan easyJet memilih pesawat buatan Airbus sepenuhnya sebagai kekasih hati.
Prosedur 'On-line Check in' hingga layanan dalam pesawat
Bagi yang sudah pernah gunakan AirAsia tentu terbiasa dengan web check-in dan di bandara tinggal menyerahkan bagasi di konter drop bagasi.Â
Di bandara internasional lainnya, penumpang malah lakukan semuanya. Mulai dari memindai paspor melalui check-in kiosk untuk cetak boarding pass dan luggage tag, hingga menaruh bagasi sendiri di konter drop bagasi.Â
Sungguh suatu efisiensi besar. Pengurangan staf dan konter yang biasanya layani check in, hingga proses boarding yang lebih singkat. Southwest malah menerapkan sistem 'free seating' (open seating) atau tanpa nomor tempat duduk tertentu. LCC ini hanya mengatur sistem boarding (naik pesawat) per grup dan selanjutnya penumpang boleh memilih tempat duduk di manapun.
Bagaimana layanan dalam pesawat? Minimalis. Tanpa kewajiban layanan hot meals, kecuali yang sudah memesan sebelumnya, maskapai malah bisa mengurangi kru yang bertugas. Jika ada permintaan, pun semua dikenakan biaya tambahan. Apapun itu. Makanan, minuman, fasilitas hiburan tv /video, dan lain-lain.
Yang penting maskapai wajib mematuhi rasio antara pramugari/a (flight attendant)Â dan jumlah penumpang, yakni 1 (satu) pramugari/a utk setiap 50 tempat duduk dalam pesawat. Kru yang bertugas juga melakukan hampir segalanya selama penerbangan. Dari menyambut penumpang di pintu pesawat, berikan instruksi keselamatan, layani pesanan makanan, menjual barang duty-free, hingga membersihkan kursi pesawat, dll. Dan kemudian siap melayani penumpang baru kembali. Sebagian LCC sengaja menghilangkan kantong di kursi, agar penumpang tidak meninggalkan apapun di dalam pesawat sebelum turun.
Hot Seat adalah kursi yang berada di kabin depan dan dengan ruang kaki extra. Tidak itu saja, pemegang boarding pass di kursi 'Hot Seat' diijinkan naik pesawat terlebih dahulu (express boarding).Â
Masih ada kiat lainnya yang diterapkan. Misalnya, fokus pada rute penerbangan 'point to point'Â tanpa transit di bandara lain. Jika transit, pasti menimbulkan biaya ekstra.Â
Pilihan rute-rute pendek pun dengan sendirinya bisa memaksimalkan pesawat terbang secara tek-tok. Dan kru pun tidak harus menginap di kota tujuan, yang pasti menimbulkan biaya lainnya.
Pasar LCC, yang menyasar ke penumpang liburan, akan terus tumbuh. Pasar Full-Service Airlines pun tetap berpeluang berkembang. Meskipun lebih murah, tidak semua pelanggan pindah ke LCC. Rute Jakarta - Singapura yang dikepung banyak maskapai lainnya, termasuk pemain LCC seperti Jetstar dan Air Asia, toh tidak membuat Singapore Airlines kehilangan penumpangnya.
Pada ujungnya, pilihan tetap di tangan konsumen.
Kelapa Gading, 29 September 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi: 1, 2, 3
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H