Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kiat LCC Memangkas Biaya, Harga Tiket pun Bisa Murah

29 September 2020   17:54 Diperbarui: 1 Oktober 2020   12:48 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka maskapai di bandara LAX. Sumber: Alan Wilson/ wikimedia

Kisah Low Cost Carrier (LCC) atau Low Cost Airlines ternyata mengundang banyak pertanyaan kritis. Jika begitu murah, lalu bagaimana perawatan pesawatnya? Mungkinkah ada jadwal perawatan dikurangi? Boleh jadi armada yang digunakan adalah pesawat bekas? Apa saja layanan yang dihilangkan? Dan barangkali masih ada sejumlah pertanyaan lainnya yang tertahan di ujung jari. Belum diketik. :)

Baca juga: Fenomena "Low-Cost Carrier", dari Amerika hingga Indonesia

Di dunia aviasi Indonesia, setiap kejadian apapun terkait perusahaan penerbangan bertarif rendah selalu diikuti banyak analisa cerdas hingga sebatas spekulasi. Dari para ahli di berbagai acara gelar wicara, sampai diskusi seru di berbagai grup whatsapp. Beragam opini pun bertebaran.

Dari sekian banyak isu yang menjadi topik sentral, sepertinya dua hal yang paling kerap disorot. Harga yang dianggap terlalu murah sehingga abai perawatan, hingga anggapan armadanya yang rata-rata sudah terlalu tua. Harga murah karena pesawat tua seolah-olah menjadi hipotesis paling pas.

Akan tetapi, penulis beruntung pernah mendapatkan salah satu jimat yang dibagikan Kompasianer idola Khrisna Pabichara, yakni perlunya "Riset". Ada dua jimat lainnya yang tidak kalah esensial. Silakan baca di sini.

Menariknya, dari sebuah situs yang konsisten memperbarui database dunia penerbangan sipil, termasuk data pesawat dari ratusan maskapai penerbangan, ternyata sebagian persepsi itu tidak sepenuhnya benar. 

Fakta yang sama juga bisa diulik di statista.com. Kenyataannya, sebagian besar armada LCC justru masih tergolong berusia muda. Malah banyak yang masih gres, termasuk dari jajaran armada LCC di Indonesia.

Berdasarkan data yang dikutip www.planespotters.net serta dari situs masing-masing maskapai lainnya, mari sejenak kita lihat perbandingan usia rata-rata armada penerbangan terlampir.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Penulis sengaja gabungkan dalam tabel di atas, baik LCC maupun maskapai penerbangan besar lainnya (Full-Service Airlines). Dengan demikian, jelas sudah. Tidak ada korelasi langsung antara harga murah dan armada tua.

Situs statista.com dalam rilisnya bertajuk "Worldwide aircraft fleet Age by Region 2020-2030", mengungkap hasil senada. Tren usia pesawat, misalnya di pasar Amerika Utara, dari maskapai penerbangan tradisional atau Full-service Airlines rata-rata di atas 10 tahun. Sebaliknya, sebagian besar armada LCC masih berada di bawah 10 tahun.

Lagipula, dalam dunia penerbangan sejatinya tidak dikenal batas usia pesawat. Selama perawatan pesawat berjalan baik, maka pesawat tersebut tetap diijinkan terbang. Hakikatnya, pesawat terbang beroperasi bukan dinilai dari usianya, namun dinilai dari kelaikannya.

Pemeliharaan pesawat diatur dalam regulasi yang sangat ketat. Hal ini untuk memastikan keselamatan dan pesawat berfungsi dengan baik selama penerbangan. Dalam penerbangan sipil, regulasi nasional wajib dikordinasikan di bawah standar internasional yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). 

Data armada easyJet. Sumber: www.easyjet.com
Data armada easyJet. Sumber: www.easyjet.com

Indonesia sendiri pernah meregulasi batasan usia pesawat, termasuk kategori transpor untuk Angkutan Udara Penumpang yang dioperasikan di wilayah RI. Melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. 155 Tahun 2016, pemerintah membatasi usia pesawat paling tinggi 15 tahun. Namun, aturan tersebut kini telah dicabut melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. 27 Tahun 2020. Kenapa? Ya, itu tadi. Di dunia penerbangan memang tidak dikenal batas usia pesawat.

Kembali ke topik utama. Bagaimana para jawara LCC bisa begitu gila menabur godaan harga tiket murah. Apa saja kiatnya? Ada puluhan strategi bisnis yang bisa diulik dari berbagai situs maupun referensi lainnya. Namun, penulis membatasi pada beberapa strategi saja, yang kebetulan sesuai dengan pengalaman perjalanan sendiri.

Pemilihan Bandara 'Kelas Dua'

Sekian tahun yang lalu dalam sebuah penugasan kantor, dengan rute terbang Washington, DC ke Orlando - Florida, ternyata pesawat yang kami gunakan tidak terbang dari bandara utama di ibukota itu, yakni Dulles International Airport dan Ronald Reagen Washington Airport yang berlokasi lebih dekat. Tetapi, pesawat kategori LCC itu menggunakan Baltimore / Washington International Airport yang dikenal dengan nama BWI. Kenapa memilih bandara itu? Karena BWI adalah bandara paling murah di sekitar wilayah Washington, DC. As simple as that.

Bandara BWI. Sumber: Bwi airport /www.viewfromthewing.com
Bandara BWI. Sumber: Bwi airport /www.viewfromthewing.com
Hal yang sama terjadi jika Anda gunakan AirAsia menuju Kuala Lumpur atau Bangkok. Di kedua kota itu, AirAsia memilih menggunakan bandara kelas dua (secondary airport), yaitu KLIA2 di Kuala Kumpur dan Don Mueang Airport yang sudah tua di Bangkok. Sebelumnya, AirAsia malah menggunakan bandara khusus Budget Airlines di LCCT atau KL Low Cost Carrier Terminal.

Ketiga bandara di atas, yakni BWI, KLIA2 dan Don Muang adalah bandara yang menawarkan biaya operasional yang jauh lebih murah dibandingkan bandara utama. 

Sama juga dengan London Luton Airport (markas easyJet) dan London Stansted Airport (hub-nya Ryanair), yang sudah pasti lebih murah dibandingkan beroperasi dari Bandara Internasional Heathrow yang mahal.

Jalan kaki menuju pesawat. Sumber: Frances Comor via Ryanair
Jalan kaki menuju pesawat. Sumber: Frances Comor via Ryanair
Mayoritas LCC memang memilih basis bandara berbiaya murah dan bandara tujuan pun yang lebih kurang populer. Kecuali di kota yang hanya memiliki satu bandara. 

Dengan demikian, para jawara LCC memiliki ruang negosiasi yang kuat, serta mampu menekan biaya operasional di bandara. Tentu saja, fasilitas bandara kedua ini tidak sementereng bandara utama. 

Selain berlokasi lebih jauh, tidak selalu ada travelator, garbarata, dll. Apakah penumpang keberatan? Tidak. Yang penting murah. Turun tangga menuju tarmac, lalu jalan kaki atau naik bus ke pintu pesawat adalah pemandangan biasa di area LCC beroperasi.

Pemilihan 'Single Aircraft Type' 

LCC umumnya memilih tipe pesawat sejenis dari sebuah pabrik pesawat, baik dari Airbus yang bermarkas di Toulouse, Prancis, maupun pabrik Boeing dari Chicago, AS. Meskipun, ada juga LCC yang menggunakan dua jenis pesawat berbeda dalam jajaran armadanya.

Armada Boeing dari Southwest. Sumber: www.dallasnews.com
Armada Boeing dari Southwest. Sumber: www.dallasnews.com
Pemilihan strategis ini penting. Dengan fokus pada satu pabrikan pesawat terbang, maka banyak LCC yang mampu memesan armada dalam jumlah besar sekaligus. So pasti dengan harga yang lebih kompetitif. Tidak itu saja, penggunaan satu jenis pabrikan sangat menguntungkan dalam menekan biaya perawatan, suku cadang, dan biaya pelatihan pilot serta mekanik.

Tidak perlu lagi penyediaan bermacam suku cadang dan pelatihan berbeda untuk jenis pesawat yang tidak sama. Contoh nyata dalam hal ini adalah Southwest Airlines dan easyJet. Southwest hanya menggunakan pesawat Boeing 737. Dan easyJet memilih pesawat buatan Airbus sepenuhnya sebagai kekasih hati.

Prosedur 'On-line Check in' hingga layanan dalam pesawat

Bagi yang sudah pernah gunakan AirAsia tentu terbiasa dengan web check-in dan di bandara tinggal menyerahkan bagasi di konter drop bagasi. 

Di bandara internasional lainnya, penumpang malah lakukan semuanya. Mulai dari memindai paspor melalui check-in kiosk untuk cetak boarding pass dan luggage tag, hingga menaruh bagasi sendiri di konter drop bagasi. 

Mesin check in swalayan. Sumber: www.thepointsguy.com
Mesin check in swalayan. Sumber: www.thepointsguy.com
Yang tidak bawa bagasi dan sudah web check-in malah bisa langsung melenggang ke gate. Digital boarding pass atau mobile boarding pass sudah diterima di mana-mana. Asyik bukan? Jadi masih punya waktu mampir ngopi dulu. :)

Sungguh suatu efisiensi besar. Pengurangan staf dan konter yang biasanya layani check in, hingga proses boarding yang lebih singkat. Southwest malah menerapkan sistem 'free seating' (open seating) atau tanpa nomor tempat duduk tertentu. LCC ini hanya mengatur sistem boarding (naik pesawat) per grup dan selanjutnya penumpang boleh memilih tempat duduk di manapun.

Bagaimana layanan dalam pesawat? Minimalis. Tanpa kewajiban layanan hot meals, kecuali yang sudah memesan sebelumnya, maskapai malah bisa mengurangi kru yang bertugas. Jika ada permintaan, pun semua dikenakan biaya tambahan. Apapun itu. Makanan, minuman, fasilitas hiburan tv /video, dan lain-lain.

Yang penting maskapai wajib mematuhi rasio antara pramugari/a (flight attendant) dan jumlah penumpang, yakni 1 (satu) pramugari/a utk setiap 50 tempat duduk dalam pesawat. Kru yang bertugas juga melakukan hampir segalanya selama penerbangan. Dari menyambut penumpang di pintu pesawat, berikan instruksi keselamatan, layani pesanan makanan, menjual barang duty-free, hingga membersihkan kursi pesawat, dll. Dan kemudian siap melayani penumpang baru kembali. Sebagian LCC sengaja menghilangkan kantong di kursi, agar penumpang tidak meninggalkan apapun di dalam pesawat sebelum turun.

Menu easyJet yang dijual. Sumber: www.airlinequality.com
Menu easyJet yang dijual. Sumber: www.airlinequality.com
Di saat web check-in pun sudah terpampang biaya tambahan untuk pilihan kursi, makanan, dan kemungkinan kelebihan bagasi. AirAsia menawarkan 'Hot Seat' dengan biaya tambahan. 

Hot Seat adalah kursi yang berada di kabin depan dan dengan ruang kaki extra. Tidak itu saja, pemegang boarding pass di kursi 'Hot Seat' diijinkan naik pesawat terlebih dahulu (express boarding). 

Masih ada kiat lainnya yang diterapkan. Misalnya, fokus pada rute penerbangan 'point to point' tanpa transit di bandara lain. Jika transit, pasti menimbulkan biaya ekstra. 

Pilihan rute-rute pendek pun dengan sendirinya bisa memaksimalkan pesawat terbang secara tek-tok. Dan kru pun tidak harus menginap di kota tujuan, yang pasti menimbulkan biaya lainnya.

Pasar LCC, yang menyasar ke penumpang liburan, akan terus tumbuh. Pasar Full-Service Airlines pun tetap berpeluang berkembang. Meskipun lebih murah, tidak semua pelanggan pindah ke LCC. Rute Jakarta - Singapura yang dikepung banyak maskapai lainnya, termasuk pemain LCC seperti Jetstar dan Air Asia, toh tidak membuat Singapore Airlines kehilangan penumpangnya.

Aneka maskapai di bandara LAX. Sumber: Alan Wilson/ wikimedia
Aneka maskapai di bandara LAX. Sumber: Alan Wilson/ wikimedia
Ibarat mau makan siang di sebuah Mal. Yang suka layanan lengkap, silakan masuk ke resto 'fine dining' yang mahal. Pelayan berjejer rapi dan siap melayani semua pesanan dengan cepat, ketika kita baru saja duduk manis. Akan tetapi, Mal juga menyediakan fasilitas 'food court', di mana pelanggan yang berkeliling mencari makanan yang sesuai. Pilih, bayar, ambil makanan, dan mencari meja kosong sendiri. Semuanya swalayan. Keduanya menjanjikan pengalaman yang berbeda. 

Pada ujungnya, pilihan tetap di tangan konsumen.

Kelapa Gading, 29 September 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi: 1, 2, 3
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun