Pada Januari 2015 lalu, tersiar kabar bahwa Ahok telah menerbitkan izin reklamasi bagi Muara Samudera Wisesa, anak perusahaan Agung Podomoro Land. Izin tersebut dinilai illegal karena kewenangannya bukanlah berada di Gubernur DKI, akan tetapi ada di Menteri KKP. Semua ini membuat pertanyaan mengarah kepada Ahok, mengapa menerbitkan izin illegal tersebut, apakah ada udang di balik batu ?
Selain berita mengenai izin illegal, Walhi kembali mengangkat topik bagaimana pulau reklamasi merupakan salah satu penyebab banjir Jakarta. http://properti.kompas.com/read/2015/02/13/170000021/Walhi.Reklamasi.dan.Proyek.Properti.Penyebab.Banjir.Jakarta
Tulisan ini bertujuan membahas apakah premis dari Walhi tersebut beralasan.
Banjir Jakarta terus Memburuk
Saat dipimpin Jokowi dan Ahok warga Jakarta mengharap masalah banjir bisa berkurang, terlebih Ahok pada tanggal 23 Januari 2013 menyatakan merasa heran sungai di Jakarta 5 tahun tak dikeruk. Kutipan "Bayangin sudah lebih dari lima tahun, sungai-sungai kita tidak pernah dikeruk, jadi kalau kita baca sejarah, Belanda itu punya anggaran untuk keruk, sedangkan anggaran untuk air kita hanya 2% dari APBD. Kenapa ke PU nya, kan jalan terus. Tapi kita tahu ada banjir terus tidak pernah ada pengerukan, bayangkan," kata Ahok di Kantor Balai Kota Jakarta, Rabu (23/1).
http://www.merdeka.com/jakarta/ahok-heran-sungai-di-jakarta-5-tahun-tak-dikeruk.html
Berbagai aktivitas penanggulangan banjir segera dilakukan Jokowi dan Ahok, diantaranya terekam dari berita-berita dibawah ini.
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/19/083489498/Setengah-Tahun-Jokowi-40-Persen-Sungai-Dikeruk
Kutipan: “Hingga bulan ketujuh masa kepemimpinan Gubernur DKI Joko Widodo, Dinas Pekerjaan Umum DKI mengklaim telah mengeruk 40 persen sungai, kali, saluran makro dan mikro, serta saluran penghubung di Jakarta. "Dari total 141 sungai, kali, dan saluran, sudah 61 dikeruk," kata Kepala Seksi Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Konservasi dan Pendayagunaan Sumber Daya Air Dinas PU, Maryana, kepada Tempo, Kamis, 13 Juni 2013.”
http://www.jakarta.go.id/v2/news/2013/01/rp-1-triliun-untuk-normalisasi-waduk-pluit#.VRjhEZuqpBc
Kutipan :” Pemprov DKI Jakarta menyiapkan anggaran sebesar Rp 1 triliun untuk menormalisasi Waduk Pluit. Normalisasi diperlukan, mengingat saat ini kedalaman Waduk Pluit hanya 2-3 meter saja. Padahal, idealnya kedalaman waduk mencapai 10 meter. Anggaran sebesar Rp 1 triliun berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2013.”
Kutipan :” JAKARTA, KOMPAS.com — Proyek pembangunan Waduk Ria Rio, Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, diperkirakan bisa menghabiskan anggaran dana Rp 1 triliun. Anggaran diambil dari APBD dan akan dibagi ke tiga instansi yang terlibat dalam proyek tersebut, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Jakarta Propertindo, dan Dinas Pekerjaan Umum.”
Kutipan :” Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengatakan, proses pengerjaan normalisasi waduk di seluruh Jakarta memakan waktu selama 3 tahun. Di Jakarta setidaknya ada 76 waduk. "Ini sudah jalan lebih kurang setahun, jadi nanti kira-kira 2015 jadi semuanya," kata Jokowi, saat mengecek pengerukan Waduk Rawa Babon, Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, Rabu (4/12).”
Negara Asing juga dilibatkan dalam menanggulangi banjir di Jakarta, diantaranya proyek hibah rumah pompa Pluit dari Jepang dan proyek Bank Dunia yang dikenal dengan nama Jedi seperti yang diberitakan dibawah ini:
http://foto.metrotvnews.com/view/2014/03/27/223982/peresmian-rumah-pompa-waduk-pluit
Kutipan :” Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak (tengah) berbincang dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kedua kiri), Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Norio Mitsuya (kiri) dan Kepala Balai Besar Ciliwung-Cisadane T Iskandar (kedua kanan) ketika meresmikan Rumah Pompa Air Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta, Kamis (27/3). Peresmian rumah pompa Waduk Pluit dengan tiga pompa air baru berkekuatan 15 meter kubik per detik senilai 1,6 milyar yen hibah dari pemerintah Jepang tersebut sebagai upaya untuk mengantisipasi Banjir di Jakarta. ANTARA/Wahyu Putro A/ip
http://news.detik.com/read/2013/12/11/100428/2438495/10/jokowi-resmikan-proyek-jedi-di-waduk-melati Kutipan :” Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) meresmikan pelaksanaan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang bekerjasama dengan Bank Dunia di Waduk Melati, Jakarta Pusat. Ia menargetkan pengerukan 14 waduk dan kali di Jakarta bisa selesai 2015.”
Kenyataannya semakin banyak dana dikeluarkan oleh APBD DKI maupun bantuan Jepang dan Bank Dunia, banjir di DKI semakin menjadi. Selama bulan Maret 2015, hujan yang turun meski tidak lebih dari setengah jam, beberapa ruas jalan di Ibu kota menjadi lumpuh karena banjir 30-40cm yang tak mampu diliwati kendaraan motor maupun mobil pribadi. Bahkan Istana Negara dan Monas, pada minggu pertama Februari 2015 mengalami banjir untuk ketiga kalinya dalam 3 tahun terakhir ini.
Bila dimasa Foke/Bowo yang dirasa Ahok tidak ada pengerukan sungai, mengapa banjir besar hanya terjadi lima tahun sekali, yaitu di 2002 dan 2007. Tapi justru dijaman Jokowi/Ahok yang banyak pengerjaan revitalisasi sungai dan waduk, kenapa banjir besar bisa terjadi setiap tahun? Bahkan dibeberapa kawasan perumahan seperti Kelapa Gading, Jakut dan Green Garden, Jakbar mengalami banjir besar berkali-kali selama tahun 2014.
Apakah proyek reklamasi pulau buatan yang sedang giat dikerjakan para pengembang dan sibuk dipasarkan sejak 2012 telah menyumbat atau mendangkalkan mulut sungai kita, sehingga berapa banyakpun upaya revitalisasi sungai dan waduk di tengah kota, pola banjir di Jakarta berobah menjadi lebih sering, dari 5 tahunan sekali, menjadi berkali-kali setiap tahunnya, terutama diwilayah aliran sungai yang dekat ujung muaranya sedang diuruk jutaan kubik pasir untuk reklamasi pulau buatan?
Kontroversi Reklamasi Pulau.
Menteri Lingkungan Hidup di jaman Presiden Megawati, menerbitkan SK no. 14 tahun 2003 tanggal 9 Februari 2003 yang melarang kegiatan reklamasi dan revitalisasi pantai. Putusan tersebut digugat oleh 6 perusahaan kontraktor proyek reklamasi Pantura Jakarta. Menurut Nabiel Makarim, “Yang menjadi isu disini bukanlah gugatan terhadap KLH tetapi apakah 12 juta masyarakat DKI Jakarta akan ditenggelamkan, karena hasill studi AMDAL menunjukkan bahwa rencana kegiatan tersebut akan meningkatkan potensi banjir di wilayah Jakarta.” (http://www.menlh.go.id/sidang-pertama-gugatan-6-perusahaan-kontraktor-bp-pantura-digelar/).
Menteri KKP Susi sebagai pihak yang berwenang dalam nenerbitkan izin reklamasi menekankan dalam proyek reklamasi adalah, bahwa ia tidak mungkin menyetujui proyek itu dilakukan kalau tidak ada water site-nya. ” Mestinya itu disiapkan. Karena kalau tidak dilakukan, seperti Jakarta, ya bandara Soekarno Hatta akan tenggelam. Jakarta permukaan tanahnya juga turun terus ditambah juga di depannya akan diurug, ya akan makin tenggelam,” katanya. (http://harapanrainforest.blogspot.com/2015/02/menteri-susi-angkat-bicara-soal-banjir.html http://economy.okezone.com/read/2015/02/12/320/1105065/pemberian-izin-reklamasi-mutlak-kewenangan-menteri-susi)
Walhi yang paling konsisten menentang reklamasi mengeluhkan karena rencana reklamasi yang dilakukan Ahok tidak mendapat penolakan keras dari tokoh masyarakat, seniman, akademisi, LSM lingkungan, padahal menurut Walhi reklamasi pulau menjadi salah satu penyebab banjir. Kutipan ‘Sebelum Pluit City pun, reklamasi yang sudah dilakukan di wilayah utara Jakarta, bikin banjir. Pengerukan dalam proyek reklamasi membuat air laut naik sehingga aliran sungai terhambat. Sungai juga mengalami pengendapan lumpur yang mendangkalkan,’ ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Puput TD kepada KCM beberapa waktu yang lalu. (http://www.harianterbit.com/megapol/read/2015/03/30/23855/28/18/Kenapa-Penolakan-Reklamasi-Pantai-Jakarta-Tidak-Bergema)
Dari hasil menggoogle, penulis menemukan bahwa sebenarnya apa yang dikhawatirkan oleh mantan menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, maupun opini menteri KKP Susi dan Walhi seperti yang penulis kutip diatas ternyata benar, karena dengan hadirnya satu pulau reklamasi saja, kekhawatiran Jakarta akan tenggelam sudah menjadi kenyataan.
Coba diperhatikan gambar di atas, gambar pertama (kiri atas) merupakan foto satelit pantai utara (pantura) Jakarta diambil pada tanggal 28 November 2012. Sebelum reklamasi mendekati pantai, pergerakan air terlihat lancar mengalir ke laut.
Gambar kedua (kanan atas), diambil pada 18 Maret 2013. Proyek reklamasi yang dinamakan Golf Island sudah mendekati pantai, tampak laut di bagian kanan yang akan menjadi cikal-bakal Golf Island menjadi keruh dan dangkal.
Gambar ketiga (kiri bawah), diambil pada 13 September 2014. Pulau reklamasi sudah terbentuk. Keberadaan pulau mulai memblok muara sungai. Berdasarkan skala pengukuran satelit (lihat garis merah), jarak dari pulau terhadap daratan hanyalah sekitar 100 meter. Ini tidak sesuai dengan pernyataan Gubernur Ahok yang mengatakan bahwa pembangunan pulau reklamasi haruslah minimal 300 meter dari daratan.
http://news.liputan6.com/read/2175133/ahok-reklamasi-pantai-tak-pengaruhi-banjir
Ahok mengatakan, dalam Perpres tersebut semua hal tentang reklamasi sudah diatur. Termasuk jarak antara pulau dan daratan, misalnya harus minimal 300 meter.
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/04/08/17352191/Ahok.Ingat.Satu.Jengkal.Lahan.Reklamasi.Pulau.Sertifikatnya.Tetap.Milik.DKI
Kutipan:"Sekarang kan gini, air sungai kan datang dari selatan ke utara, terus kamu bikin pulau 300 meter di atas (utara Jakarta), ini ada ngehambat jalur air anda enggak? Ya enggak ada urusan dengan Anda, justru dia menahan ombak. Sekarang saya mau tanya, ruginya di mana sih bikin pulau," kata Basuki dengan nada tinggi.
Izin bagi Golf Island itu memang dikeluarkan oleh Foke/Bowo, tapi telah berakhir pada September 2013, dan tidak diperpanjang oleh Jokowi.
Tidak hanya itu, Jokowi juga ingin pembangunan reklamasi pulau tidak membebani APBD. Mengingat, biaya yang digelontorkan untuk proyek reklamasi pantai utara Jakarta itu sangat besar.
Jokowi bahkan mengejek para pembeli properti reklamasi di pantura Jakarta, agar jangan bodoh membeli tanah yang belum ada.
"Saya tidak tahu ya tapi yang jelas bodoh itu yang beli. Barang belum ada, pulaunya saja belum ada, tapi sudah bayar," kata Jokowi.
Gambar ke empat (kanan bawah) diambil pada 16 Mei 2014. Pulau reklamasi sudah terbentuk penuh, jembatan penghubungpun sudah rampung. Perhatikan pendangkalan dan keruhnya air laut di muara sungai antara pantura Jakarta dengan pulau reklamasi. Bayangkan rusaknya pantai dan biota laut yang ada di sana. Perhatikan aliran air sungai ke laut yang terhambat dengan adanya pulau reklamasi. Tidak heran pada awal 2015, dengan curah hujan yang rendah saja dan tanpa kiriman dari Bogor/Puncak, banjir besar kembali terjadi di Jakarta. Bahkan istana kembali terendam, yang mana, Ahok menyalahkan PLN atas ketiadaan pasokan listrik ke Waduk Pluit. Apakah benar, banjir gara-gara pompa tidak bekerja selama beberapa jam ? Kembali rakyat Jakarta diperdaya dengan alasan yang tidak masuk akal.
Satu pulau saja sudah sedemikian merepotkan. Bayangkan, di sebelah Golf Island tersebut akan segera diuruk pulau bagi Pluit City yang izinnya sudah dikeluarkan Ahok pada Desember 2014, bagaimana efeknya bagi Jakarta ? Bayangkan lagi, di kiri kanan Golf Island dan Pluit City, akan terbit lagi 15 pulau lain. Akan jadi apa Jakarta ?
Pada zaman Foke/Bowo, pengajuan izin Muara Samudera Wisesa dan pulau-pulau lain selalu ditolak dengan alasan ketiadaan AMDAL. Bahkan Jokowi pun menyatakan menolak perpanjangan izin yang lama dan menolak memberikan izin baru, sebelum ada kajian mendalam. Bagaimana kok Ahok begitu menjadi Gubernur resmi sepeninggal Jokowi, secara buru-buru, dalam waktu 3 bulan ternyata menerbitkan izin bagi Muara Wisesa Samudera, tanpa dilengkapi analisa terhadap dampaknya bagi Jakarta ? Dimana prioritas Ahok yang sedemikian menggebu-gebu membela pengembang dengan segala cara?
Perilaku menyimpang Ahok ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha selalu berakhir dengan dirugikannya kepentingan rakyat. Bukan hanya itu saja, banjir yang terus-menerus menimpa istana juga mencoreng wajah Indonesia di mancanegara. Bukan hanya memberi izin illegal, Ahok ternyata memaksakan tanggul NCICD menjadi tanggungan APBD DKI. Padahal menurut Menteri Susi, harusnya water site dan bendungan ini ditanggung pengembang. Buat dulu water-sitenya, baru izin dikeluarkan. Di sinilah perbedaan jelas Gubernur yang pro pengembang dengan ibu Menteri yang benar memikirkan kepentingan rakyat.
Kisruh Ahok versus DPRD rupanya merupakan konflik yang sengaja dibuat untuk menutupi kasus izin illegal yang dikeluarkan Ahok untuk Agung Podomoro Land. Selain itu, dari versi RAPBD yang diunggah Ahok ke website Pemprov, terlihat bahwa tanggul untuk kepentingan developer reklamasi itu dicoret DPRD, untuk kemudian dimasukkan kembali oleh Ahok dalam RAPBD yang disetorkannya kepada Mendagri.
Tatkala nasib APBD 2015 tampaknya harus menggunakan Pergub atau kembali ke APBD 2014, akhirnya terbongkar bahwa hanya pembuatan tanggul itulah kepentingan yang tak henti diperjuangkan Ahok, seperti terlihat pada link berikut : http://m.rmol.co/news.php?id=196011
Meski demikian, dari puluhan ribu mata anggaran yang masuk dalam RAPBD DKI 2015, Basuki hanya mengungkapkan keprihatinannya terhadap proyek pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul laut raksasa.
Bila APBD 2014 digunakan, dia pun khawatir tidak bisa membangun tanggul laut sepanjang 8 kilometer yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat.
Semakin jelas dimana prioritas seorang Ahok, apakah memang pada kepentingan rakyat DKI, atau hanyalah satu dari sekian pejabat yang gemar kongkalikong dengan pengusaha, dalam hal ini ironinya adalah pengusaha pengembang properti yang akan menenggelamkan Jakarta. Sungguh kasihan rakyat DKI, sudah hampir ditenggelamkan, disuruh bayar lagi tanggulnya oleh Ahok !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H