Dharma Habangka (bagian 1)
Oleh : Toni Pratama
"Kenapa ditebang pohonnya, Yah? Hoammmm.....!" tanya Rendy sambil menguap masih mengantuk.
"Nanti kamu akan tahu kenapa," jawab ayahnya singkat.
Entah karena sedang sibuk atau sedang malas meladeni kekepoaan Rendy yang pertanyaannya bisa sepanjang kereta api. Bisa juga karena sebuah pertanda.
Sosok Pak Jikrin memang tidak banyak bicara. Ia hanya tahunya kerja, kerja, dan kerja. Seorang pekerja keras cerdas yang sangat mencintai keluarganya. Sebagai seorang yang bergelut di bidang keuangan sebuah instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Selatan, profesionalismenya selalu dikedepankan. Karirnya sebagai aparatur negara terbilang cukup cemerlang. Berdampak lurus pada kehidupan keluarganya juga semakin mapan.
Keluarga Pak Jikrin sudah dikaruniai empat orang putra. Rendy sebagai putra sulung, disusul Arif, Agung, dan Yusril dengan jarak umur masing-masing 3 tahun. Saat ini, Rendy sudah memasuki semester 1 perkuliahan sarjananya. Ia memilih jurusan Psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia YAI, di Jakarta. Sedangkan adik-adiknya berjenjang rapi dari SMA, SMP, dan si bungsu masih SD. Saat musim liburan semester seperti saat ini, Rendy pulang ke Toboali, kota kelahirannya sekaligus rumah bagi keluarga tercintanya.
Baru semalam Rendy tiba di rumah. Badannya masih capek oleh perjalanan yang panjang. Pagi-pagi itu ia terbangun oleh suara ayahnya menebang pohon ketapang kencana yang selama ini menjadi peneduh di halaman depan rumahnya.
"Abang, hari ini ayah mau ajak kami main ke Sungailiat. Tapi Abang nggak usah ikut, ya! Kasian tuh si Katty nggak ada yang jaga. Ibu kan masih ikut rombongan PKK ke Jogja," kata si Arif membuyarkan lamunan Rendy. Katty adalah kucing Persia peliharaan mereka.
"Iya, abang di rumah aja, masih capek dan ngantuk juga. Oh,ya, ini ada kaus buat kamu," jawab Rendy.
"Wahhh... gambarnya Panda! Kesukaan Arif nih!" Arif kegirangan.