Itulah nama kerenku. Dan orang sering menyebutku bunglon dengan nada sinis. Bagiku tidak masalah. Ini demi kebaikan bersama sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika.
Hidup di tengah-tengah bangsa yang beraneka ragam suku, bangsa, agama memerlukan kemampuan diri untuk menyesuaikan diri. Tanpa kemampuan itu tunggulah kematianmu yang cepat.
Apalagi hidup dalam gelanggang politik -- tapi juga aku yakin dalam bidang apapun. Entah di kantor pemerintahan maupun swasta, tak ada bedanya. Kau tak akan bisa menapaki karier bila tak menguasai teknik kamulfase atau pun mimikri seperti bunglon. Kariermu akan segera tamat dan kemudian membawamu menjadi gembel yang hina. Luntang-lantung di jalanan sebagai gelandangan jelata tanpa tahu rasanya menginjak lantai istana.
Aku mengubah diriku bukanlah untuk menipu. Aku melakukannya demi kebaikan diri dan terutama bangsaku.
Inilah keyakinanku selama ini. Dalam era pemilihan -- apa pilkada atau legislatif ataupun presiden yang kata orang disebut era demokrasi, dari rakyat untuk rakyat sekarang ini -- bagiku sama saja untuk selalu bisa beradaptasi.
Aku sepenuhnya meyakini kebenaran yang konon pernah disampaikan Charles Darwin bahwa makhluk yang paling kuat adalah yang paling dapat beradapsi, menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Dan kamulflase atau mimikri adalah strategi yang paling jitu dan hingga kini telah terbukti tak tergantikan.
Inilah strategi abadi yang tidak mengenal paham ketatanegaraan. Di alam kerajaan, republik atau pun rezim otorotiter maupun demokrasi, sama saja ampuhnya.
Sebagai orang yang beruntung hidup dalam keanekaragaman budaya, bahasa dan agama serta dalam kurun waktu peralihan dari rezim otoriter ke demokrasi, telah memberikan bukti-bukti tak terbantahkan akan strategi yang selalu dipakai bunglon yang jitu itu.
....
Hari ini aku ada janjian dengan seseorang yang dekat dengan ketua partai berkuasa. Ia lebih suka dipanggil orang dekat. Naluriku berbicara agar aku segera merapat ke partainya. Dengan demikian aku bisa terpilih lagi sebagai kepala daerah untuk kedua kalinya. Ini butuh perjuangan lagi seperti biasanya.
Pengalaman telah mengajariku agar selalu dekat dengan partai penguasa apabila ingin terus eksis.
Dulu ketika mau jadi kepala daerah kota administratif meski partaiku bukan nomor satu, aku bisa terpilih karena aku dekat dengan partai penguasa saat itu. Dan ketika pemilihan walikota yang kedua pun sama juga.Â
Aku mampu mendapat dukungan partai penguasa meskipun ada calon yang potensial dari partai bersangkutan. Tapi karena aku mempraktikkan cara-cara yang dipakai bunglon, maka cara itulah yang mengantarku hingga terpilih untuk kedua kalinya. Bahkan hingga sekarang menjadi gubernur dan akan memasuki periode kedua.
Orang dekat ini merupakan kepercayaan sang ketua umum partai. Aku kenal baik reputasinya sebagai penghubung orang-orang ring satu. Bukti telah banyak disampaikan dan aku sendiri telah menyaksikan sepak terjangnya.
Kami janjian di sebuah restoran.Sengaja aku datang lebih awal agar dapat melihat-lihat suasana. Banyak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah menjadikan aku lebih waspada. Bukan apa-apa, hanya perlu kehati-hatian saja. Meskipun banyak OTT, hal itu sama sekali tak berpengaruh bagiku. Ada tidaknya OTT sama saja.
Ibarat musim, untuk menjadi pemenang saat ini tetaplah dibutuhkan amunisi. Gejala umum yang menjadi praktik sehari-hari. OTT hanya menimpa orang-orang amatir yang lagi kena sial.
"Sauadara hanya butuh ketemu sekali lagi dengan saya," kata orang dekat itu. Aku menatapnya seperti anak kecil yang girang akan menerima uang jajan.
"Ketemu sekali lagi nama Saudara akan diumumkan ke publik sebagai calon yang didukung partai," lanjutnya.
Aku menyanggupi untuk pertemuan satu kali lagi itu. Syarat yang diminta aku persiapkan. Tanpa tranfer-transferan. Langsung cash di tempat.
.....
Ia datang dengan membawa surat keputusan partai yang aku minta. Surat yang berisi keputusan partainya dalam mendukungku menjadi calon gubernur periode kedua. Ini penting sebagai pijakan untuk langkah selanjutnya.
Setelah basa-basi sekedarnya yang tanpa makna, aku serahkan apa yang dia minta. Kontan. Dalam tas yang terbungkus rapi sesuai situasi dan kondisi. Dan dia serahkan pulan surat keputusan partai.
Sebagai orang yang telah puluhan tahun mengenal pergaulan politik dan lama pula berguru pada bunglon, aku dengan tenang menyerahkannya. Rupanya dia tak kalah tenangnya. Bahkan tampak sangat santun.
Dia menjanjikan beberapa hari ke depan, surat keputusan partai itu akan langsung dibacakan ketua umum partai katanya.
"Bapak sekarang tenang saja. Restu bos besar sudah di tangan Bapak." Katanya sambil berjabat tangan hangat sebelum berpisah.
....
Ketika akan diumumkan siapa yang akan menjadi calon gubernur dari partai penguasa. Hatiku semakin berdebar. Namun demikian keyakinanku sudah bulat. Tak mungkin orang dekat itu berkhianat.
"Calon gubernur dari partai kita adalah..... "
Demikian disampaikan ketua umum partai berkuasa pada siaran langsung di salah satu televisi berita nasional.
Deg.
"Brengsek. Aku telah dibohongi mentah-mentah. Banjingan itu orang dekat," umpatku. Surat keputusan partai yang tempo hari aku terima dari orang dekat itu ternyata bodong.
Aku segera mengontaknya. Hp tak diangkat. Aku ulangi mengontaknya, tidak juga diangkat. Kali lain kucoba lagi, takbada jawaban. Beberapa kali tak juga dijawab. Bahkan akhirnya ia matikan. Brengsek benar itu orang. Umpatku lagi.
Tak lama kemudian aku buka jejaring sosial Watshap. Oh, rupanya ia sudah menghilangkan jejak.
Aku lunglai. Uang milyaran telah melayang tanpa hasil. Tiga kali pertemuan tak membawa hasil. Janji-janjinya palsu.
Terbersit akan segera membuat laporan dengan pasal penipuan. Namun niat itu kuurungkan. Berdasar pengalaman yang ada, uang tak akan bisa kembali. Malu dan namaku akan tercemar sudah pasti jika aku lapor aparat. Jika ini aku lakukan, tentu orang dekat itu akan banyak bernyanyi. Inilah yang mengurungkan niat melapor kepada kepolisian.
Barangkali saudara bertanya, apa aku kecewa dan tak akan lagi mencoba dengan cara yang sama? Cara yang lagi ngetren, lagi musim dengan cara membayar untuk mendapatkan jabatan. Cara itu sudah lazim di negeri ini. Tak ada yang perlu ditutupi.
Oh tentu tidak. Sebagai bunglon sejati aku cepat dapat belajar dari pengalaman. Musim tipu-menipu rupanya telah tiba kembali bersamaan dengan datangnya pilkada menjelag tahun politik. Dan sebagai bunglon sejati aku akan memasuki musim itu.
Meskipun hal ini sudah biasa, tapi perlu juga diikuti. Secara refleks nurani bunglonku sigap merespon. Gunakan sisa jabatan yang ada untuk mengembalikan uang yang telah kau berikan. Toh ini lagi musimnya. Terima kasih. Saudara orang dekatku yang telah memberikan pelajaran awal yang berharga, batinku setenang air danau.***
Oleh: Tongato M. Atmowinoto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI