Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 revisi terakhir, ditetapkan dalam bentuk Kepmenkes 413/2020. Salah satu perubahan mendasar adalah kriteria mengakhiri (discharge) masa isolasi bagi pasien covid.
Dalam pedoman sebelumnya, kriteria mengakhiri masa isolasi adalah: hasil pemeriksaan PCR negatif dari minimal 2 kali pemeriksaan berturut-turut dengan jeda minimal 24 jam.
Kriteria ini menjadi tantangan berat pada dua kondisi:
1. Daerah dengan akses dan kapasitas pemeriksaan PCR yang relatif terbatas. Akibatnya terjadi masa tunggu lama untuk menunggu hasil PCR dan memutuskan pengakhiran masa isolasi.
2. Pada kasus ekstrem dimana terjadi hasil positif PCR yang tidak kunjung negatif meskipun pasien sudah lama dirawat dan sudah tidak ada gejala klinis.
Di sisi lain, ada penelitian bahwa :
1. Setelah sekian hari sejak timbulnya gejala, atau sejak timbulnya penyakit (onset of illness), maka tidak dapat lagi diperoleh virus hidup dalam kultur, walaupun hasil PCR masih positif.
Onset of ilness ini pada prateknya dimulai sejak timbulnya gejala, atau sejak pengambilan sampel yang kemudian dinyatakan positif bila tanpa gejala, atau 7 hari sebelum mulai terdeteksinya antibodi.
2. Setelah mencapai ukuran cycle-time (ct) tertentu, maka saat dilakukan kultur, tidak lagi dapat ditumbuhkan virusnya. Sebagai catatan, ct hasil RT-PCR ini tergantung pada mesin dan kit PCR yang digunakan. Tidak bisa dibandingkan begitu saja antar laboratorium.
3. Dengan tidak adanya lagi virus yang hidup (dibuktikan dari hasil kultur) setelah hari tertentu atau setelah tercapai nilai ct tertentu, maka risiko penularan sudah minimalMaka disusun kriteria secara Time-based Strategy dan Symptom-based Strategy. Jadilah kemudian WHO menerbitkan rekomendasi tersebut pada tanggal 27 Mei 2020:
1. Untuk pasien konfirmasi dengan gejala, maka masa isolasi adalah minimal 10 hari sejak gejala timbul PLUS 3 hari bebas gejala.
2. Untuk pasien konfirmasi tanpa gejala, maka masa isolasi adalah 10 hari sejak dinyatakan positif (tanggal saat pengambilan sampel yang menunjukkan hasil positif)
Juga untuk mengatasi bila ada kasus ekstrem dengan hasil positif memanjang. Karena situasi itu membebani bagi paisen, dan beban bagi kapasitas pelayanan kesehatan
Untuk itu, WHO menyerahkan kepada masing-masing negara untuk memutuskan standar atau kriteria yang akan diterapkan masing-masing.
Tanggal 28 Mei 2020, Singapura memutuskan kriterianya. Disusul CDC pada tanggal 29 Mei 2020. Masing-masing dengan adaptasi atau variasi sendiri. Tidak sepenuhnya mengikuti WHO.
Indonesia memutuskan mengikuti WHO pada Pedoman revisi terakhir tanggal 13 Juli 2020. Banyak yang khawatir, apakah benar-benar aman mengakhiri isolasi tanpa PCR
Lantas bagaimana?
Karena sudah menjadi aturan, tentu menjadi pedoman. Kenyataannya memang akses ke PCR belum merata benar. Baik secara kapasitas maupun kedekatan geografis yang menentukan waktu tunggu hasilnya.
Usul saya, dalam menerapkan klausul tersebut, sebaiknya diputuskan dalam bentuk Tim. Terdiri dari multi disiplin di RS. Kalau untuk di masyarakat, oleh Tim dari Organisasi Proefsi dan Dinkes.
Karena sebenarnya, klausul itu harus memperhatikan juga kualitas isolasi yang dilakukan. Prinsip isolasi adalah mencegah transmisi. Baik dari maupun terhadap pasien dan lingkungan sekitarnya. Harus menjadi perhatian apakah isolasiya sudah tepat. Juga, apakah bila diakhiri masa isolasinya, berisiko bagi orang-orang yang rentan di sekitarnya.
Kalau sudah yakin, maka barulah klausul WHO itu dapat diterapkan. Dengan keputusan bersama.
Mangga.
Tonang Dwi Ardyanto
@ TDA 16/7/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H