Ada pasien baru di IGD. Jatuh dari genting. Ternyata seorang "pekerja amatir". Artinya: bekerja tanpa bendera sebuah CV atau PT. Tidak ada klausul "pemberi kerja". Dia hanya bekerja atas permintaan tetangganya. Si tetangga tidak ke kontraktor profesional, karena sama-sama orang biasa.
Malangnya, pekerja amatir itu terjatuh, patah tulang, dilarikan ke IGD. Berikutnya? Bingunglah banyak orang...
Kejadian yang mirip adalah penjual bakso tersiram air panas, atau petani penggarap tergigit ular saat bekerja. Sama bingungnya.
Dalam klausul yang berlaku sekarang, pekerja informal seperti itu harus tetap mendaftar sebagai peserta BPJamsostek. Kalau kemudian terjadi "kecelakaan kerja", maka penjaminannya melalui JKK oleh BPJamsostek. Bukan melalui BPJSK walau ybs aktif sebagai peserta JKN.
Tapi dalam banyak kasus, pekerja informal, belum terdaftar di BPJamsostek. Bila terjadi kecelakaan kerja, maka tanggung jawab pada "pemberi kerja". Dalam hal ini: dirinya sendiri. Jadilah kemudian bingung.
Kondisi lain: pasien tidak mampu, sakit, tapi belum menjadi peserta JKN. Sama, ini juga membuat kebingungan.
Sebenarnya, meski di era JKN sekalipun, RS masih relatif sering menghadapi kenyataan seperti itu. Terutama pada kelompok masyarakat SADIKIN (sedikit di atas miskin atau kalau sakit jadi miskin) dan lebih khusus lagi pekerja informal. Pasien dan keluarga tidak mampu membayar (walau secara status ekonomi di atas garis "tidak mampu"). RS menjadi repot karena harus terlibat dan terbelit dalam urusan pembiayaan.
Sebenarnya bahkan sejak di meja pendaftaran awal, begitu ada pasien yang BELUM MENJADI atau NON AKTIF kepesertaan JKN nya, RS sudah ancang-ancang sejak awal. DITANDAI (bukan secara negatif) sebagai harus mendapat perhatian. Ditandai ini tidak bermaksud mempengaruhi pelayanannya. Hanya potensi risiko masalah bagi RS ketika ada hambatan biaya. Khususnya bila termasuk kelompok Sadikin dan Pekerja Informal.
Beberapa kemungkinan dan upaya solusi:
1. Kalau ybs penduduk Kota/Kab yang komitmen JKN nya tinggi, langsung RS koordinasi dengan Dinkes setempat, berusaha dijadikan PBI APBD, langsung aktif atas rekomendasi Pemda (lepas dari soal bagaimana nanti tunggakannya bila sebelumnya menjadi peserta non PBI).
2. Kalau ybs penduduk kota/kab yang masih menganggarkan Bantuan Sosial, segera RS berkoordinasi dengan Dinsos setempat, agar ada bantuan dari Pemda.