Kadang argumennya: kenapa sih RS tidak mau? Kan RS malah untung dapat dari dua sumber?Â
Masalahnya, kalau RS menerima, itu berarti berpotensi terlibat dalam pelanggaran penggunaan uang negara terkait "double-funding": satu kegiatan dibiayai dari dua atau lebih sumber anggaran. Itu bisa berujung pada dugaan tindak fraud dan tipikor. Memang bisa saja dianggap "kan yang salah BPJSK kok mau mencairkan klaim". Ilustrasinya: kalau misalnya bendahara kantor pemerintah memberikan uang melebihi seharusnya kepada seorang pegawai, maka memang bendahara itu salah dan mendapat sanksi, tetapi pegawai yang bersangkutan tetap juga harus mengembalikan uangnya. Bahkan bila pegawai itu dianggap layak tahu bahwa ada kesalahan tetapi tetap menerima, maka risikonya bisa dianggap ikut bersalah.Â
Hal lain adalah sisi keadilan. Tidak adil bila orang yang mampu diperbolehkan "pindah status" karena misalnya punya uang sendiri untuk membayar dulu atau ada asuransi lain yang menanggung, baru kalau sudah melebihi plafon, berpindah status menggunakan JKN. Bagaimana dengan yang kurang mampu? Tentu ini bukan yang diharapkan dalam konsep Gotong Royong JKN.Â
Bahwa skema CoB barangkali dianggap kurang menarik, mari diperbaiki skemanya, tanpa harus berarti menerobos regulasi yang sekarang ada.Â
Semoga masyarakat memahami kondisi demikian, agar tidak mudah menudingkan kesalahan pada RS. Ada mekanisme yang harus dipatuhi dan ada sisi keadilan yang harus dijaga.Â
Mari!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H