Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Awalnya Umum, Mau Pindah BPJS Kenapa Gak Boleh?"

21 Desember 2017   11:59 Diperbarui: 21 Desember 2017   14:53 8708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada pertanyaan yang sudah lama muncul, berulang dan dua hari ini kembali mengemuka ke penulis. Kasusnya adalah ada pasien yang memulai perawatan di RS sebagai pasien non JKN meskipun dia sendiri sebenarnya memiliki kartu JKN. Tetapi ternyata tidak boleh pindah menjadi pasien JKN. Kenapa? Kan sudah bagus dia mau menggunakan dulu uangnya sendiri? Apa ruginya bagi JKN? Apa ruginya bagi RS? 

Agar tidak menimbulkan salah paham, ada baiknya dijernihkan. Apa bedanya dengan umumnya skema di Asuransi Kesehatan lain? 

Pada umumnya asuransi kesehatan, pertanggungan dihitung berdasarkan biaya yang timbul. Mudahnya berbasis fee for service. Besar pertanggungan adalah semua biaya yang timbul sesuai klausul akad, sampai batas jumlah tertentu. Dengan konsep ini, maka sebagai ilustrasi mudahnya: semakin lama dirawat, semakin banyak tindakan (operasi misalnya atau tindakan lain) dilakukan, semakin banyak obat diberikan, maka klaim juga semakin besar, sampai batas maksimal pertanggungan.

tonang, 2017
tonang, 2017
Pada skema JKN, yang digunakan adalah prospective payment dengan tarif INA-CBGs. Klausul JKN membiayai perawatan di RS adalah berbasis EPISODE. Satu episode dapat diajukan satu klaim. Tidak boleh satu episode diajukan sebagai lebih dari 1 klaim. Dalam satu episode perawatan suatu penyakit dengan diagnosis X misalnya, maka berapa lamapun dirawat, berapa banyak tindakan dilakukan, berapapun banyaknya obat diberikan, tetap saja pertanggunganya adalah satu episode dengan satu tarif INA-CBGs. 

Tonang, 2017
Tonang, 2017
Perbedaan ini yang membuat perlu mekanisme khusus untuk mengatur bila ada keinginan untuk melakukan koordinasi manfaat (Coordination of Benefit atau CoB). Amanah untuk CoB ini sudah muncul pada pasal23 ayat (4) UU SJSN 40/2004 yang kemudian diturunkan pada pasal 24 dan 27 Perpres 12/2013 sebagaimana terakhir diubah dengan Perpres 28/2016. Secara teknis, pengaturan CoB ditugaskan kepada BPJSK. Terakhir dengan Peraturan BPJSK nomor 4/2016. Ada beberapa skema:

BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
Bagaimana dengan pertanyaan pembukadi tulisan ini? Bolehkah "masuk sebagai pasien umum kemudian di tengah-tengah episode berpindah menggunakan manfaat JKN"?

Di awal JKN dulu, kalau pasien masuk rawat inap, maka masih diberi kesempatan sampai 3 x 24 jam untuk menunjukkan kepesertaan JKN. Masalah timbul ketika ternyata sebelum 3 hari sudah sembuh, atau sudah meninggal dan belum sempat membuktikan kepesertaan. Menjadi ganjalan, karena kemudian menjadi tarik ulur, siapa yang bertanggung jawab atas biayanya? Faskes yang lebih sering menerima dampak buruknya. 

Masalah lain, dapat terjadi orang masuk hari pertama sampai hari ketiga, tidak menggunakan manfaat JKN. Tetapi setelah itu menyatakan pindah menjadi pasien JKN. Siapa yang akan menanggung? Bolehkah semua menanggung? 

Tonang, 2017
Tonang, 2017
Kebijakan di awal JKN, dengan Permenkes 71/2013, untuk hal seperti ini, berlaku mekanisme cuf-off. Selama belum menggunakan JKN, maka pasien menanggung biayanya langsung ke RS. Setelah berpindah ke JKN, baru RS mengajukan klaim. 

Tonang, 2017
Tonang, 2017
Namun kemudian disadari bahwa ini berisiko besar terkait penggunaan uang negara. JKN menanggung berbasis diagnosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, mau berapa hari pun, pertanggungan itu bersifat paket. Jadi tidak bisa dipotong sebagian episode perawatan saja. Bila dilakukan cut-off maka sebenarnya terjadi pertanggungan ganda karena pasien sudah membayar sendiri sebagian episode, tapi masih tetap ditanggung oleh JKN. 

Maka pada bulan Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014 yang mengatur bahwa peserta harus sudah menetapkan sejak awal episode bahwa akan menggunakan atau tidak menggunakan manfaat JKN. Bila menyatakan akan menggunakan, maka peserta diberi waktu maksimal 3 x 24 jam atau sebelum pulang atau sebelum meninggal, untuk menyerahkan bukti kepesertaannya tersebut. Bila tidak dapat dipenuhi, maka pertanggungan JKN tidak dapat diberikan. Dengan regulasi ini, maka tidak bisa dilakukan lagi perpindahan status pasien dari Non JKN ke JKN di tengah-tengah episode perawatan. 

Saat ini, RS banyak dan relatif sering menghadapi situasi seperti itu: pasien masuk sebagai pasien non JKN, tetapi di tengah-tengah episode ingin pindah status ke JKN. Tentu saja RS tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Terjadilah salah paham. Kadang peserta sampai mengajak "pihak ketiga" untuk memaksa RS. Akibatnya, RS mendapat beban tambahan. 

Kadang argumennya: kenapa sih RS tidak mau? Kan RS malah untung dapat dari dua sumber? 

Masalahnya, kalau RS menerima, itu berarti berpotensi terlibat dalam pelanggaran penggunaan uang negara terkait "double-funding": satu kegiatan dibiayai dari dua atau lebih sumber anggaran. Itu bisa berujung pada dugaan tindak fraud dan tipikor. Memang bisa saja dianggap "kan yang salah BPJSK kok mau mencairkan klaim". Ilustrasinya: kalau misalnya bendahara kantor pemerintah memberikan uang melebihi seharusnya kepada seorang pegawai, maka memang bendahara itu salah dan mendapat sanksi, tetapi pegawai yang bersangkutan tetap juga harus mengembalikan uangnya. Bahkan bila pegawai itu dianggap layak tahu bahwa ada kesalahan tetapi tetap menerima, maka risikonya bisa dianggap ikut bersalah. 

Hal lain adalah sisi keadilan. Tidak adil bila orang yang mampu diperbolehkan "pindah status" karena misalnya punya uang sendiri untuk membayar dulu atau ada asuransi lain yang menanggung, baru kalau sudah melebihi plafon, berpindah status menggunakan JKN. Bagaimana dengan yang kurang mampu? Tentu ini bukan yang diharapkan dalam konsep Gotong Royong JKN. 

Bahwa skema CoB barangkali dianggap kurang menarik, mari diperbaiki skemanya, tanpa harus berarti menerobos regulasi yang sekarang ada. 

Semoga masyarakat memahami kondisi demikian, agar tidak mudah menudingkan kesalahan pada RS. Ada mekanisme yang harus dipatuhi dan ada sisi keadilan yang harus dijaga. 

Mari! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun