Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Permenkes 99/2015: Revisi terhadap Permenkes 71/2013

20 Januari 2016   06:16 Diperbarui: 20 Januari 2016   09:25 6992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tanggal 31 Desember 2015 kemarin, telah terbit Permenkes 99/2015 sebagai revisi terhadap Permenkes 71/2013. Beberapa perubahan tersebut menarik untuk dibahas. 

1. Pada pasal 3 terdapat perubahan dan penambahan berupa keharusan tersedianya Fasiltas Laboratorium Pratama di PPK 1. Bila PPK tidak dapat menyediakannya, maka BPJSK dapat bekerjasama dengan Laboratorium Pratama. Pada Permenkes 71/2013, standarnya adalah "Laboratorium Sederhana". Ketentuan tentang Laboratorium Pratama tertuang dalam Permenkes 411/2010 Di dalamnya dimuat persyaratan fisik, kelengkapan alat, standar tenaga sampai ke kemampuan pemeriksaan minimal. 

Ketentuan ini nampaknya disinkronkan dengan ketentuan mengenai standar pelayanan laboratorium di klinik (Permenkes 9/2014) dan di puskesmas (Permenkes 75/2014). Disesuaikan juga dengan kemampuan pemeriksaan memenuhi Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer (Permenkes 5/2014). Tentu ini sebuah tantangan bagi PPK 1. 

Sebenarnya sudah sejak masuk 2015 kemarin, memang BPJSK mulai juga bekerjasama dengan Laboratorium Jejaring. Terkait standar tarifnya, disepakati bersama antara Laboratorium Klinik dan FKTP setempat dikeatahui oleh Dinkes. Ada beberapa keluhan memang terkait relatif rendahnya tarif yang disepakati karena biasanya berbasis "penawaran terendah".

Sebagai orang laboratorium tentu saya harus menekankan dan menegaskan bahwa yang harus lebih dulu dipenuhi adalah Standar Akreditasi Laboratoriumnya (Kepmenkes 298/2008) dulu, baru berbicara tarif yang paling efisien. Jangan sampai standarnya dikalahkan oleh harga penawaran "termurah". 

2. Setelah pasal 4 ditambahkan pasal 4A bahwa BPJSK wajib melaporkan secara berkala Faskes yang telah bekerjasama kepada Pemerintah dan Pemda. Hal ini penting untuk menegaskan pelaksanaan pasal 35 Perpres 12/2013 bahwa pada dasarnya ketersediaan faskes dan nakes aalah tanggung jawab pemerintah dan pemda. 

3. Pada pasal 5 diubah dan ditambah bahwa selain memenuhi persyaratan teknis, kerjasama BPJSK dengan Faskes juga harus mempertimbangkan aksesibilitas, kecukupan antara jumlah Fasilitas Kesehatan dengan jumlah Peserta yang harus dilayani, kapasitas Fasilitas Kesehatan, serta jumlah penduduk di wilayah tersebut. Dua terakhir adalah penambahan dari isi sebelumnya di Permenkes 71/2013. 

Dalam hal ini perlu tetap diperjelas bahwa bila terdapat keberatan atas suatu proses kredensialing, maka alurnya adalah membuat pengaduan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk kemudian ditelusuri duduk masalahnya (diatur lebih khusus pada pasal-pasal selanjutnya). 

4. Pada pasal 8, ayat 2 yang berbunyi "Dalam rangka pemberian pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan" dihilangkan. Maknanya disatukan dalam ayat 1 bahwa bila Dinkes setempat menyatakan tidak ada tenaga dokter suatu wilayah, maka BPJSK dapat bekerja sama dengan bidan dan/atau perawat untuk melaksanakan layanan PPK 1, sesuai kewenangan masing-masing dalam perundang-undangan. Selain itu ditambahkan ayat (3) bahwa bidan dan/atau perawat tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari Dinkes dan organisasi profesi. Ini sesuai dengan amanah pasal 20 Permenkes 1/2012 tentang Sistem Rujukan. 

5. Pada pasal 9 ditambahkan 2 ayat: 

(2a) Seleksi dan kredensialing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. 

(2b) Dalam hal Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) tidak terlibat dalam seleksi dan kredensialing, BPJS Kesehatan dalam melakukan penetapan hasil harus secara bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. 

Keterlibatan Dinkes dan Asosiasi Faskes ini dipertegas dalam pasal 10. Kemudian bila ada keberatan, maka dapat diajukan kepada Dinkes Propinsi (pasal 11). 

6. Ada tambahan pasal 15A sebelum pasal 16:

Pasal 15A : Seluruh Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan wajib memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pasien termasuk mengenai pelayanan JKN. 

Nampaknya ini di dasari banyak keluhan di lapangan tentang ketidak tahuan soal hak dan kewajiban. Tentu ini bisa juga menjadi beban tambahan bagi faskes. Namun ada juga sisi positif bahwa sebenarnya memang adalah kewajiban Faskes untuk menjelaskan kepada pasien tentang hak dan kewajibannya, lepas dari status dan jenis kepesertaan (UU RS 44/2009 dan Permenkes 69/2014). Artinya, sebelum ada JKN pun, kewajiban ini sudah melekat. Yang perlu diperkuat tentu adalah kerjasama yang baik antara Faskes dengan petugas BPJSK di lapangan agar bisa saling mendukung dan melengkapi proses penjelasan tersebut. 

7. Pada pasal 16 terdapat perubahan tentang cakupan pelayanan non spesialistik di PPK 1. Ada dua perubahan.

f. transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis; butir ini dihilangkan. Butir terkait pada pasal 18 juga dihapus. 

f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama (sesuai perubahan pada pasal 3.

Penghapusan butir tentang transfusi lebih sesuai dengan klausul keamanan pelayanan darah. 

8. Pasal 22 terdapat penambahan menjadi pasal 22A:

Pasal 22A 

(1) Rumah sakit wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap untuk pelayanan JKN. 

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara langsung dan/atau tidak langsung 

(3) Pemberian informasi secara langsung dilakukan dengan menyediakan fasilitas pelayanan informasi atau dilakukan oleh petugas Rumah Sakit. 

(4) Pemberian informasi secara tidak langsung dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website. 

Hal ini menanggapi keluhan mengenai "RS penuh". Kewajiban ini terkait juga dengan UU KIP no 14/2008 dan Permenkes 26/2011 serta Permenkes 1/2015. Dengan pemenuhan data ini, maka lebih mudah menata agar pasien mendapat akses tempat tidur di RS. 

Namun harus juga disadari bahwa pelayanan RS yang baik justru dicapai ketika penggunaan tempat tidur pada kisaran 80%. Karena RS juga memiliki kewajiban kapasitas cadangan (surge capacity) menghadapi situasi mendadak. Jadi, harus hati-hati untuk menilai bahwa RS berbohong soal tempat tidur. 

9. Pasal 25 untuk memperlancar penyediaan obat rujuk balik. 

Pasal 25 

(1) Untuk menjamin pemenuhan obat program rujuk balik BPJS Kesehatan harus melakukan kerjasama dengan apotek, ruang farmasi atau instalasi farmasi di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang mudah diakses oleh peserta JKN. 

(2) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar BPJS Kesehatan di luar biaya kapitasi. 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan obat program rujuk balik diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan. 

Ketentuan ini kemudian diatur dalam Lampiran huruf E. 

10. Penambahan pasal 32A

Pasal 32A 

Terhadap pelayanan nonkapitasi yang diberikan oleh jejaring Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan membayarkan langsung klaim pembiayaan pelayanan tersebut kepada jejaring Fasilitas Kesehatan. 

Hal ini menjawab keluhan tentang proses pencairan dana non kapitasi kepada pemberi pelayanan jejaring seperti bidan jejaring. Yang perlu menjadi perhatian juga adalah proses verifikasi kepesertaan ketika peserta mendapatkan pelayanan di faskes jejaring, dalam klausul ada keterlambatan pembayaran premi. 

11. Padal 39 ada perubahan:

(3) BPJS Kesehatan wajib melaporkan hasil Utilization Review secara berkala kepada Menteri dan DJSN. Kata "wajib" ditambahkan pada revisi ini. 

Meskipun tata cara dan mekanisme pelaporan itu tetap diatur berdasarkan Peraturan BPJSK (ayat 4 pasal 39).

12. Penambahan pasal 39A dan 39B terkait mekanisme pengaduan. Awalnya mekanisme ini diatur dalam Permenkes 28/2013. 

Pasal 39A 

(1) Setiap Peserta atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan terhadap pelayanan Jaminan Kesehatan. 

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Fasilitas Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan. 

(3) Fasilitas Kesehatan atau BPJS Kesehatan wajib menyediakan sarana pengaduan yang dikelola secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri oleh Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan. 

(4) Dinas Kesehatan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 

(5) Dalam hal Peserta atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak puas dengan penyelesaian pengaduan oleh Fasilitas Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan, pengaduan dapat disampaikan secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Menteri. 

13. Perubahan pada pasal 41 tentang jangka waktu harus terakreditasinya Faskes untuk dapat bekerja sama dengan BPJSK. 

a. Diberi waktu tenggang sampai 7 tahun untuk PPK 1, berarti sampai sebelum 1 Januari 2023.

b. Diberi waktu tenggang 5 tahun untuk PPK 2 dan PPK 3, berarti sampai sebelum 1 Januari 2021.

Perubahan ini karena melihat kenyataan masih banyakya Faskes yang belum terakreditasi. Bila dipaksakan kaku, maka berisiko banyak Faskes yang belum bisa bekerjasama. Namun tentunya, ketentuan ini tidak mengubah ketentuan bahwa selambat-lambatnya 2 tahun setelah ijin operasional, RS harus sudah terakreditasi (Permenkes 12/2012). Sedang terkait Akreditasi FKTP, diatur dalam Permenkes 46/2015. 

Demikian beberapa perubahan dalam Permenkes 99/2015 sebagai revisi terhadap Permenkes 71/2013. Semoga membawa JKN semakin baik.

#SalamKawalJKN

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun