Dengan demikian, dalam klausul tersebut, dapat memberikan layanan sebagai bentuk konsultasi terhadap pasien. Hanya, bagaimana mewujudkannya? Penjelasan UU 44/2009 maupun Permenkes 69/2014 yang menerjemahkan hak dan kewajiban pasien, tidak ada penjelasan lebih lanjut tetang bagaimana perwujudan hak tersebut.
3. Dalam hal adanya Dokter berpraktik tanpa SIP (dan tidak memenuhi klausul Hak Pasien tersebut), justru Direktur yang harus bertanggung jawab. Pasal 42 dan 80 UU PK 29/2004 memberikan ancaman denda Rp. 300 juta bagi orang yang memperkerjakan dokter tanpa SIP. Dengan demikian, Direktur termasuk yang berisiko kena sanksi tersebut.
Dalam semangat yang sama, kita semua juga harus tegas terhadap ketentuan pasal 73, 77 dan 78 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Tidak jarang kita lihat ada yang memasang nama tempat praktik, menggunakan alat dan/atau metode yang mirip dengan dokter bahkan sampai menuliskan resep, surat keterangan sakit atau surat rujukan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah adalah dokter atau dokter gigi. Terhadap hal-hal tersebut, jelas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud yang mengandung ancaman pidana. Tidak berlebihan rasanya kalau kita menilai bahwa penegakan aturan terhadap hal tersebut masih kurang nyata. Minimal kita tidak cukup menaruh perhatian, sebagaimana kita menuntut dokter/dokter gigi untuk memenuhi semua aturan.
Bagaimana kaitannya dengan JKN?
September 2015 silam, ada berita menarik. Potongan foto sebuah harian ini, adalah salah satu saja dari berita sejenis. Dalam beberapa kali paparan tentang JKN, saya sering mendapat pertanyaan serupa. Belum lama juga muncul berita tentang penghentian layanan JKN di sebuah RS yang dikaitkan dengan masalah serupa.
Adanya Dokter yang menjalankan praktik tanpa SIP merupakan pelanggaran prosedur. Atas dasar Perpres 12/2013 dan Permenkes 28/2014, maka pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur, berarti termasuk layanan yang tidak ditanggung dalam skema JKN. Tidak menyenangkan? Memang. Tapi itulah memang regulasinya.
Ada lagi yang lebih menimbulkan “pertanyaan”. Ada beberapa laporan klaim yang tidak dapat dicairkan karena “layanan diberikan oleh Dokter PNS pada jam kerja di RS Swasta”. Padahal Dokter itu memegang SIP di RS swasta tersebut. Lantas apa masalahnya? Dari penelusuran, didapatkan bahwa alasannya: dalam pengajuan SIP seorang Dokter PNS untuk bekerja di RS swasta, harus menyertakan Surat Rekomendasi dari Instansi Negeri tempat kerja yang salah satu klausul bunyinya adalah “mengijinkan di luar jam kerja”. Itulah alasannya untuk memasukkanya sebagai “pelayanan tidak sesuai prosedur”. Makin tidak menyenangkan? Tapi memang demikian bunyi regulasinya kalau mau konsekuen.
Kalau sampai ada Dokter yang melakukan pelayanan tanpa SIP di sebuah RS, sebenarnya tidak hanya Dokter bersangkutan yang menanggung salah. Dalam hal adanya Dokter berpraktik tanpa SIP, justru Direktur yang harus bertanggung jawab. Pasal 42 dan 80 UU PK 29/2004 memberikan ancaman denda Rp. 300 juta bagi orang yang memperkerjakan dokter tanpa SIP. Dengan demikian, Direktur termasuk yang berisiko kena sanksi tersebut.
Artinya terkait berita di atas, hak Dokter jasa pelayanan untuk klaim yang tidak terbayar itu tetap menjadi tanggung jawab Direktur. Jasa Pelayanan adalah hak Dokter (UU Praktek Kedokteran 29/2004) dan RS (UU RS 44/2009). Bahwa klaim tidak bisa cair adalah risiko dari terjadinya pelayanan tidak sesuai prosedur. Sekali lagi, ini jelas tidak menyenangkan. Tapi demikian memang bunyi regulasinya.
Menanggapi hal tersebut, Kemkes bertindak cepat dengan mengedarkan SE SetDitJen BUK Kemkes tanggal 17 September 2015 mengingatkan kepada RS untuk segera memenuhi kewajiban adanya SIP bagi Dokter. Direktur dan Pimpinan Faskes diminta memastikan seluruh Dokter untuk memiliki SIP yang masih berlaku, serta segera mengajukan perpanjangan selambat-lambatnya 3 bulan sebelum habis masa berlakunya (sesuai pasal 14 Permenkes 2052/2011).