Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menjaga Marwah: TKMKB, Bukan DPM

4 Januari 2016   12:07 Diperbarui: 4 Januari 2016   13:38 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sering dan di banyak tempat, BPJSK di daerah meminta saya untuk berdiskusi tentang Monitoring dan Evaluasi (Monev) serta Kendali Mutu dan Kendali Biaya (KMKB) dalam sistem JKN. Apalagi dalam tulisan di media sosial, sudah berulang kali saya membahasnya. Di semua tempat, forum dan tulisan itu, saya menegaskan bahwa yang ada Tim KMKB (TKMKB) bukan Dewan Pertimbangan Medis (DPM). Mengapa? Karena dalam regulasi JKN sejak dari UU, PP, Perpres, Permenkes sampai Peraturan BPJSK, sampai saat ini, TIDAK ADA yang menyebut dan mengatur tentang DPM. Yang disebutkan secara eksplisit dan tegas adalah TKMKB.

Selama itu pula belum pernah ada sanggahan, pendapat berbeda, atau koreksi dari pihak BPJSK melalui pada Duta BPJSK yang bertemu langsung di lapangan, yang berinteraksi di media sosial (FB dan WA), maupun dalam komunikasi personal. Artinya, tidak ada yang membantah bahwa memang DPM tidak diatur sama sekali dalam regulasi JKN.

Saya sangat mendorong pemberdayaan TKMKB. Kampanye dan penyebaran informasi secara masif saya lakukan baik di media soaial maupun di lapangan. Bahkan ketika terjadi kegaduhan oleh adanya sajian “pesta kembang api” di Pertemuan TKMKB Riau awal November lalu, saya berdiri mati-matian mendudukkan masalah dan membela bahwa esensi pertemuan itu yang jauh lebih penting karena untuk memberdayakan TKMKB.

Tetapi saya terus terang sangat kecewa ketika mendapati bahwa pada pekan ini, masih ada kegiatan Pertemuan DPM yang diselenggarakan BPJSK. Hal itu tidak dibantah oleh Direksi BPJSK dalam komunikasi kemarin sore dan malam hari. Belum yang secara personal menyampaikan masih adanya kegiatan DPM. Mengapa BPJSK masih melakukan yang demikian?

DPM adalah warisan era ASKES. Dalam bahasa Inggris, disebut Medical Advisory Board. Terakhir DPM diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan 416/2011 tentang Tarif Pelayanan ASKES. Sedangkan ASKES sudah bubar. Sudah tidak ada lagi. Yang ada sekarang adalah BPJSK dalam era JKN. Sedangkan dalam regulasi JKN, sekali lagi, TIDAK ada yang mengatur soal DPM.

Mengapa saya sangat tegas bersikap soal DPM ini? Ada beberapa hal. Pertama, jelas bahwa secara regulasi, tidak ada yang mengatur soal DPM. Dalam klarifikasi kepada Direksi BPJSK kemarin sore sampai malam, tidak ada bantahan bahwa memang tidak ada klausul DPM dalam regulasi dari UU sampai Peraturan BPJSK. Ternyata DPM dibentuk “hanya” berdasarkan SK Direktur BPJSK.

Saya bukan ahli soal hukum, saya juga belum mendapatkan SK dimaksud. Hanya secara nalar wajar, mengapa ada bentukan yang runutan acuannya di UU sampai Peraturan BPJSK sendiri pun tidak diatur. Mengapa tidak sekalian saja soal DPM itu diatur dalam Peraturan BPJSK bila memang yakin keberadaan dan fungsinya adalah tepat dan diperlukan?

Dalam beberapa paparan, BPJSK menggambarkan sistem KMKB dalam JKN sebagaimana gambar berikut ini. Kotak merah bergaris putus-putus sengaja saya tambahkan untuk DPM karena sekali lagi, tidak dikenal dalam regulasi JKN. Saya rutin menjelaskan slide ini untuk menjelaskan konsep KMKB di JKN, sekaligus mendudukkan masalah tentang DPM dan pentingnya TKMKB.

Gambar 1

Gambar itu diperjelas dengan tabel berikut ini. Sengaja pula saya tambahkan baris paling bawah warna hitam untuk menunjukkan acuan regulasi pembentukannya. Sekali lagi, tidak ada acuan regulasi dari UU sampai Peraturan BPJSK sendiri untuk pembentukan DPM. Kalaupun memang, entah bagaimana pertimbagannya secara hukum, BPJSK merasa perlu membentuk DPM, maka itu adalah organ internal. Artinya, segala hal terkait DPM adalah untuk kepentingan BPJSK, bukan untuk diterapkan kepada pihak lain dalam skema JKN yaitu para Dokter dan Faskes.

Gambar 2

Sedangkan yang jelas-jelas diatur dalam Peraturan BPJSK nomor 1 tahun 2014 dalam pasal 84-86 tentang KMKB, yang jelas diatur adalah TKMKB. Sama sekali tidak ada yang menyinggung tentang DPM. Ternyata di lapangan, saya mendapati bahwa Pembentukan TKMKB itu sendiri baru dimulai pada bulan Juni 2014 . Penelusuran saya, SK dimaksud adalah Surat Direktur Pelayanan Nomor 4745/III.1/0614 tanggal 10 Juni 2014 tentang Pembentukan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya. 

Sayangnya, sampai pertengahan tahun 2015 ini pun, masih sangat sedikit kalangan dokter yang tahu apa itu TKMKB. Kalaupun sudah terbentuk, mereka merasa belum ada kegiatan nyata. Petunjuk Teknis TKMKB pun baru terbit pada Oktober 2015. Artinya, dari sisi regulasi, sesuatu yang jelas diatur dalam Peraturan BPJSK sendiri, malah kurang mendapat perhatian. Sementara DPM yang tidak ada dalam Peraturan BPJSK sendiri, justru lebih sering “terdengar suaranya”.

Apa maksud “terdengar suaranya”? Sejak sekira September 2014, mulai muncul keluhan bahwa proses verifikasi klaim di lapangan, berujung pada kata-kata “tidak sesuai rekomendasi DPM”. Bahkan ternyata sampai hari ini pun, masih ada keluhan seperti itu di banyak daerah. Saya berani mengatakan karena saya mendengar langsung, melihat langsung maupun dari diskusi di media sosial.

Apa pasal? Karena verifikator menolak ajuan klaim berdasarkan “rekomendasi DPM”. Apa itu rekomendasi DPM? Gambar-gambar di bawah ini menunjukkan salah satu contoh penerapan rekomendasi itu yang secara resmi disebutkan dalam surat dari sebuah cabang BPJSK.

Gambar 3

 

Gambar 4

Salah contoh hasil rekomendasi “Diagnosis Sepsis harus disertai bukti pemeriksaan kultur yang positif”. Padahal jelas bahwa “hasil kultur negatif tidak pernah menyingkirkan diagnosis sepsis”. Demikian juga soal “diagonsis pneumonia harus disertai foto thorak yang khas”. Atau juga “disebut agranulositosis hanya bila jumlah netrofil adalah NOL”. Contoh-contoh serupa masih banyak ditemukan seperti dalam gambar 4 tersebut. Di lapangan, rekomendasi ini menjadi persoalan besar. Apakah ini yang disebut “second opinion” sebagai salah satu fungsi DPM dalam tabel gambar 2?

Akhirnya, rekomendasi itu menjadi kontroversial. Menjadi perdebatan, termasuk “kok bisa muncul rekomendasi seperti itu?” Mari kita simak berita berikut ini, yang adalah salah satu contoh bagaimana BPJSK menerapkan dan menempatkan soal DPM dalam berita bulan Juni 2014: Laporan 11 kasus ke DPM Sumut.

Siapa anggota DPM? Anggota DPM adalah Pakar Klinis (sebagaimana disebut dalam tabel di gambar 2). Dari berita tersebut, berderet para Dokter Konsultan (bahkan Profesor Doktor).

Apa DPM itu menurut salah satu Kepala Divre BPJSK? Gambar berikut petikan dari berita tersebut. Jelas terlihat bahwa ada kesimpang siuran pemahaman dari Kepala Divre tersebut terhadap kedudukan dan fungsi DPM. Yang seharusnya dibentuk sebagai Lembaga “INDEPENDEN” adalah TKMKB. Bukan DPM. Itu jelas dalam regulasi Peraturan BPJSK nomor 1 tahun 2014.

Apa tujuan pembentukan DPM? Petikan berikut ini menjelaskannya. Padahal, siapa dan apa itu lembaga DPM sehingga digunakan rekomendasinya sampai untuk pembinaan terhadap petugas pelayanan kesehatan? Bagaimana menjadi dasar dugaan malpraktik? Bagaimana proses penelusurannya?

Apalagi ketika kemudian rekomendasi DPM itu digunakan oleh verifikator untuk menolak klaim. Lho, kok bisa muncul rekomendasi seperti contoh soal sepsis itu? Padahal yang ada anggotanya adalah para pakar senior? Hal itu terjadi karena mekanisme kerjanya adalah “BPJSK mengajukan suatu kasus untuk dimintakan rekomendasi dari DPM”. Persis seperti dalam berita itu. Kemudian kasus-kasus itu dibahas secara “rapat setengah kamar”.

Apa artinya “rapat setengah kamar”? Anggota DPM hanya menerima “laporan” dari pihak BPJSK. Tanpa ada kesempatan untuk klarifikasi ke penyedia layanan yang kasusnya dilaporkan oleh BPJSK. Laporan itu pun ditutupi identitas pasien dan nama RS nya. Sampai-sampai di suatu daerah ada laporan bahwa: rekomendasi DPM untuk menolak klaim suatu kasus, diterbitkan oleh anggota DPM padahal ternyata itu adalah kasus yang ditangani sendiri oleh anggota DPM tersebut.

Adanya perdebatan soal rekomendasi ini mau tidak mau berujung pula pada selisih pendapat dari Dokter yang merawat pasien, ketika ternyata klaim atas pasien tersebut ditolak dengan alasan “tidak sesuai rekomendasi DPM”. Tidak jarang mereka langsung protes “siapa sih DPM itu kok bisa-bisanya ada rekomendasi aneh seperti itu?”. Siapa yang dirugikan dengan kondisi demikian? Banyak pihak. Termasuk, dan terutama dalam kacamata pembahasan tulisan ini, adalah marwah kehormatan profesi kedokteran itu sendiri.

Mari kita lihat bagaimana dengan TKMKB. Alur dasar hukumnya jelas. Sejak dari Pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004, kemudian Pasal 42 Perpres 12/2013, Pasal 43A Perpres 111/2013 dan Pasal 84-86 Peraturan BPJSK nomor 1/2014. Memang ada yang salah kaprah. Beberapa “Pejabat” BPJSK masih menggunakan Permenkes 71/2013. Bahkan dalam buku Petunjuk Teknis TKMKB masih ada kesalahan karena menyebutkan bahwa pembentukan TKMKB mengacu pada Pasal 37-38 Permenkes 71/2013. Pasal-pasal itu mengacu pada Pasal 44 Perpres 12/2013. Padahal pasal 44 Perpres 12/2013 itu telah dianulir dengan Perpres 111/2013. Kesalahan lain dalam buku tersebut adalah menyatakan bahwa DPM dibentuk berdasarkan UU BPJS nomor 24/2011. Padahal tidak ada sama sekali pengaturan tentang DPM dalam UU dimaksud.

Siapa anggota TKMKB?

Peraturan BPJSK nomor 1/2014

Bagaimana hirarki dan susunan keanggotaan TKMKB?

Bagaimana mekanisme kerja TKMKB?

Bagaimana penjenjangan penyelesaian masalah dalam TKMKB?

Bagaimana kalau tetap tidak selesai dalam hirarki TKMKB? Masih ada Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) atau dalam Bahasa Inggris disebut Clinical Advisory Board (CAB). DPK ini dibentuk oleh Kemkes untuk memberikan rekomendasi pelayanan kesehatan juga menyelesaikan bila ada sengketa indikasi medis antara para pihak: peserta, faskes dan BPJSK (pasal 26 ayat 3 Permenkes 71/2013). Semua pihak itu terangkum dalam Limas JKN.

Saya melihat dengan jelas, tumpang tindih antara TKMKB yang diamanahkan regulasi JKN, dengan DPM yang dibentuk oleh BPJSK. Pertama, apa beda Pakar Klinis dalam TKMKB dengan Pakar Klinis dalam DPM? Itu saja sudah jelas menimbulkan banyak masalah. Menjadi sangat repot kalau rekomendasi DPM itu kemudian “ditanggapi keras” oleh sesama pakar klinis yang menjadi DPJP di lapangan maupun di TKMKB. Apalagi dengan mekanisme kerja penerbitan rekomendasi secara “rapat setengah kamar” seperti dijelaskan sebelumnya. Sebaliknya, kalau ternyata Pakar Klinis itu “orangnya sama”, mengapa harus ada dua lembaga yang mewadahinya?

Kedua, terhadap fungsi utilization review (UR), jelas bahwa TKMKB juga berfungsi dan bertugas yang sama. Justru TKMKB lebih tepat karena ada unsur Tim Teknis yang terdiri dari wakil Komite Medis (dan unsur lain dalam Faskes) sehingga ada mekanisme check-and-recheck. Tanpa adanya Tim Teknis, maka UR itu hanya akan berlangsung secara “setengah kamar” lagi. Karena struktur Tim Teknis pula, TKMKB dapat melakukan tugas Audit Medis. Sedangkan DPM tidak mampu menjalankan bila ditugas melakukan audit medis karena tidak punya “tangan” di Faskes. Padahal jelas kewenangan Audit Medik ada di Organisasi Profesi, dilaksanakan oleh Komite Medik di masing-masing RS.

Ketiga, ada memang alasan BPJSK bahwa “salah satu tugas DPM adalah second opinion, itu tidak ada dalam tugas TKMKB”. Sebenarnya jawabannya sangat mudah. Jelas ada unsur akademisi dan pakar klinis dalam TKMKB. Secara ilmiah dan secara etis, siapa yang berhak memberikan second opinion kalau bukan akademisi dan pakar klinis? Secara mekanisme, bagaimana suatu second opinion dilakukan hanya secara “rapat setengah kamar”? Jadi apa susahnya menambahkan tugas dan fungsi itu ke TKMKB karena dasar TKMKB juga adalah Peraturan BPJSK sendiri?

Apakah saya mengatakan bahwa anggota DPM itu tidak bisa dipercaya? Yang kita sorot dan permasalahkan adalah lembaganya, bukan siapa anggotanya. Anggota DPM adalah para senior, para pakar di bidangnya. Lantas bagaimana menempatkan para anggota itu? Jawabannya juga sangat mudah: masukan saja anggota DPM itu sebagai unsur akademisi dan atau pakar klinis di TKMKB. Selesai masalahnya.

Bagaimana dengan tugas analisis klaim dan investigasi klaim? Itupun sebenarnya hanya soal bagaimana mekanismenya saja. Melalui proses utilization review dan audit medis, jelas arah yang sangat kuat menuju analisis klaim. Bahwa untuk itu diperlukan keahlian di bidang asuransi kesehatan, sekali lagi, dapat dimasukkan unsur akademisi kalaupun ahli asuransi itu bukan dari kalangan dokter atau pakar klinis. Selesai masalahnya.

Penugasan TKMKB terkait analisis klaim dan investigasi klaim ini juga selaras dengan amanah Permenkes 36/2015 tentang Pencegahan Kecurangan dalam JKN. Amanahnya adalah Pembentukan Tim Pencegahan. Bagi saya jelas, tugas itu sebaiknya disinkronisasikan dengan Tim Teknis dari TKMKB di masing-masing Faskes. Sangat efektif dan tidak menjadikan gemuknya struktur dengan fungsi tumpang tindih. Bukankah efektif dan efisien adalah KATA KUNCI bagi BPJSK?

Berbicara soal “efektif dan efisien”, itulah sebenarnya tugas berat dan beban yang disandang oleh teman-teman BPJSK. Tuntutan itu tidak jarang membuat teman-teman BPJSK menjadi “terlalu kreatif” dalam menerbitkan aturan dan kebijakan semata-mata atas alasan efektifitas dan efisiensi. Saya menduga, “keterlenaan” untuk terus menggunakan mekanisme DPM adalah juga bagian dari salah kaprah akibat menanggung beban berat tersebut.

Memang kita sadari bahwa anggota-anggota DPM sudah berpengalaman lama bergaul dan bekerjasama dengan teman-teman BPJSK yang adalah mantan Pegawai PT Askes. Maka saya memahami alasan bahwa pada awal-awal JKN terpaksa masih digunakan mekanisme DPM. Itu pula alasan yang selalu sampaikan di setiap forum paparan JKN untuk tidak perlu mengungkit lagi kesalah kaprahan bersama di awal-awal JKN, termasuk soal masih digunakannya lembaga DPM dan belum dibentuknya (apalagi diaktifkannya) TKMKB. Saya mengajak untuk bersama-sama melihat ke depan, dengan memberdayakan TKMKB.

Tetapi itupun sebenarnya menyisakan pertanyaan besar: mengapa masih terus dipertahankan sampai sekarang? Apa alasannya? Apa urgensinya? Apa alasannya? Mengapa tidak justru fokus pada pemberdayaan TKMKB?

Ada lagi yang mengatakan “soalnya tidak mudah membentuk TKMKB di beberapa wilayah karena kurang SDM”. Jawaban saya: anggota TKMKB itu adalah Tim Teknis di masing-masing Faskes. Tentu ini jelas ada orangnya. Kemudian Tim Koordinasi terdiri dari Organisasi Profesi. Ini tentu juga ada, walau di beberapa tempat orangnya juga hanya sedikit. Kemudian pakar klinis dan akademisi, ini yang bisa jadi tidak ada di suatu tingkatan wilayah, sehingga terpaksa mengikuti di daerah lain yang berdekatan atau satuan wilayah lebih tinggi yang menanguinya.

Sementara anggota DPM yang dibentuk BPJSK adalah Pakar Klinis. Kalau untuk membentuk TKMKB saja susah mencari anggota, tentu jauh lebih sulit lagi membentuk DPM yang “hanya” berisi Pakar Klinis. Artinya, tidak bisa alasan sulit membentuk TKMKB justru dijadikan untuk mengaktifkan DPM. Kalaupun pakar klinis dan akademisi memang hanya bisa dibentuk di tingkat propinsi atau regionalnya BPJSK misalnya, maka lebih tepat dimasukkan sebagai anggota TKMKB, bukan sebagai anggota DPM.

Lebih jauh, transformasi adalah kata kunci ketika kita semua berpindah ke era JKN. Baik BPJSK maupun yang luar BPJSK memang sama-sama masih belum tuntas melakukan transformsi tersebut. Apa perubahan paling besar? Hemat saya, perubahan paling besar adalah ASKES itu PT, sedangkan BPJSK adalah Badan Hukum Publik di bawah Presiden. ASKES berbicara soal deviden dan sisa hasil usaha. Sedangkan BPJSK adalah lembaga nirlaba.

ASKES butuh “Tim Dokter” untuk second opinion, yang tentu saja diharapkan “menguntungkan” bagi ASKES. Sedangkan bagi BPJSK mengedepankan kerja sama para pihak untuk bersama-sama menerapkan dan menjaga “Kendali mutu kendali biaya”. Wadahnya melalui TKMKB. Itu bunyi regulasinya. Secara ringkas, ASKES adalah “orang luar”, sedangkan BPJSK ADALAH KITA. Jadi, masih perlukah ada DPM kalau BPJSK adala KITA?

Dalam lebih dari satu forum di lebih dari satu tempat saat, setelah saya memaparkan perihal Monev dan KMKB dalam JKN ini, Ketua dan Anggota DPM setempat spontan berkomentar: Betul sekali, saya meminta sekarang juga DPM dibubarkan dan kami para anggota siap bergabung di TKMKB. Alasan utamanya? Karena setelah saya mendudukkan masalahnya, termasuk soal rekomendasi DPM dan implementasinya, maka beliau-beliau menjadi sadar “masalah” penting ini yang harus segera dikoreksi.

Memang harus pula kita sadari bahwa sebagian besar kalangan Dokter (dan Faskes, baik RS apalagi PPK 1) yang belum paham tentang TKMKB ini. Masih banyak yang bertanya, bahkan menyangsikan, pentingnya TKMKB. Belum lagi pertanyaan tentang “kalau independen mengapa dibentuk oleh BPJSK? Mengapa “pakai uang BPJSK”?

Saya ungkapkan di banyak forum bahwa saya sendiri lebih sepakat bahwa pembentukan dan fasilitasi TKMKB itu oleh Kemkes. Tetapi apapun adanya, regulasi sampai hari ini menyatakan pembentukannya oleh BPJSK. Apakah itu masalah? Bagi saya, yang penting adalah semangat penyelenggaranya. “Uang fasilitasi” kerja TKMKB adalah uang rakyat, bukan uang BPJSK. Artinya, TKMKB dibentuk dan dibiayai dengan uang rakyat. Artinya harus bekerja juga untuk rakyat.

Tapi kan regulasinya masih belum jelas benar? Kembali, apa yang kita cari? TKMKB lah yang menjadi wadah untuk menjaga marwah dan kehormatan profesi Dokter dan Penyedia Layanan. Melalui TKMKB lah kita Kalau menunggu regulasinya lengkap, apakah berarti kita harus “membiarkan” saja JKN berjalan tanpa kehadiran kita dalam bersama-sama menerapkan “Kendali Mutu Kendali Biaya”? Mari terus berdayakan TKMKB, sembari juga mendorong Presiden merevisi Perpres tentang Pembentukan TKMKB.

Kepada para Sejawat Senior yang menjadi anggota DPM, mohon kiranya tulisan ini dapat mendudukkan masalah. Kemudian mohon pula berkenan meredefinisikan kembali arti, kedudukan dan fungsi DPM. Selanjutnya, mohon berkenan untuk bersama-sama memperbaiki kesalah kaprahan tersebut dengan bersama-sama memberdayakan TKMKB.

Kepada BPJSK, saya berharap segera ada penjelasan terbuka tentang pertimbangan pembentukan DPM. Karena pembentukan itu berimbas kepada pihak luar, maka sesuai prinsip UU Keterbukaan Informasi Publik nomor 14/2008, adalah kewajiban BPJSK untuk membuka regulasi tersebut kepada publik.

Tanpa penjelasan dan keterbukaan, saya khawatir, yang terjadi adalah semakin kental kecurigaan kepada BPJSK untuk cenderung ingin “monopoli”. Mari kita bersama-sama jaga keberlangsungan JKN.

#SalamKawalJKN

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun