Saya melihat dengan jelas, tumpang tindih antara TKMKB yang diamanahkan regulasi JKN, dengan DPM yang dibentuk oleh BPJSK. Pertama, apa beda Pakar Klinis dalam TKMKB dengan Pakar Klinis dalam DPM? Itu saja sudah jelas menimbulkan banyak masalah. Menjadi sangat repot kalau rekomendasi DPM itu kemudian “ditanggapi keras” oleh sesama pakar klinis yang menjadi DPJP di lapangan maupun di TKMKB. Apalagi dengan mekanisme kerja penerbitan rekomendasi secara “rapat setengah kamar” seperti dijelaskan sebelumnya. Sebaliknya, kalau ternyata Pakar Klinis itu “orangnya sama”, mengapa harus ada dua lembaga yang mewadahinya?
Kedua, terhadap fungsi utilization review (UR), jelas bahwa TKMKB juga berfungsi dan bertugas yang sama. Justru TKMKB lebih tepat karena ada unsur Tim Teknis yang terdiri dari wakil Komite Medis (dan unsur lain dalam Faskes) sehingga ada mekanisme check-and-recheck. Tanpa adanya Tim Teknis, maka UR itu hanya akan berlangsung secara “setengah kamar” lagi. Karena struktur Tim Teknis pula, TKMKB dapat melakukan tugas Audit Medis. Sedangkan DPM tidak mampu menjalankan bila ditugas melakukan audit medis karena tidak punya “tangan” di Faskes. Padahal jelas kewenangan Audit Medik ada di Organisasi Profesi, dilaksanakan oleh Komite Medik di masing-masing RS.
Ketiga, ada memang alasan BPJSK bahwa “salah satu tugas DPM adalah second opinion, itu tidak ada dalam tugas TKMKB”. Sebenarnya jawabannya sangat mudah. Jelas ada unsur akademisi dan pakar klinis dalam TKMKB. Secara ilmiah dan secara etis, siapa yang berhak memberikan second opinion kalau bukan akademisi dan pakar klinis? Secara mekanisme, bagaimana suatu second opinion dilakukan hanya secara “rapat setengah kamar”? Jadi apa susahnya menambahkan tugas dan fungsi itu ke TKMKB karena dasar TKMKB juga adalah Peraturan BPJSK sendiri?
Apakah saya mengatakan bahwa anggota DPM itu tidak bisa dipercaya? Yang kita sorot dan permasalahkan adalah lembaganya, bukan siapa anggotanya. Anggota DPM adalah para senior, para pakar di bidangnya. Lantas bagaimana menempatkan para anggota itu? Jawabannya juga sangat mudah: masukan saja anggota DPM itu sebagai unsur akademisi dan atau pakar klinis di TKMKB. Selesai masalahnya.
Bagaimana dengan tugas analisis klaim dan investigasi klaim? Itupun sebenarnya hanya soal bagaimana mekanismenya saja. Melalui proses utilization review dan audit medis, jelas arah yang sangat kuat menuju analisis klaim. Bahwa untuk itu diperlukan keahlian di bidang asuransi kesehatan, sekali lagi, dapat dimasukkan unsur akademisi kalaupun ahli asuransi itu bukan dari kalangan dokter atau pakar klinis. Selesai masalahnya.
Penugasan TKMKB terkait analisis klaim dan investigasi klaim ini juga selaras dengan amanah Permenkes 36/2015 tentang Pencegahan Kecurangan dalam JKN. Amanahnya adalah Pembentukan Tim Pencegahan. Bagi saya jelas, tugas itu sebaiknya disinkronisasikan dengan Tim Teknis dari TKMKB di masing-masing Faskes. Sangat efektif dan tidak menjadikan gemuknya struktur dengan fungsi tumpang tindih. Bukankah efektif dan efisien adalah KATA KUNCI bagi BPJSK?
Berbicara soal “efektif dan efisien”, itulah sebenarnya tugas berat dan beban yang disandang oleh teman-teman BPJSK. Tuntutan itu tidak jarang membuat teman-teman BPJSK menjadi “terlalu kreatif” dalam menerbitkan aturan dan kebijakan semata-mata atas alasan efektifitas dan efisiensi. Saya menduga, “keterlenaan” untuk terus menggunakan mekanisme DPM adalah juga bagian dari salah kaprah akibat menanggung beban berat tersebut.
Memang kita sadari bahwa anggota-anggota DPM sudah berpengalaman lama bergaul dan bekerjasama dengan teman-teman BPJSK yang adalah mantan Pegawai PT Askes. Maka saya memahami alasan bahwa pada awal-awal JKN terpaksa masih digunakan mekanisme DPM. Itu pula alasan yang selalu sampaikan di setiap forum paparan JKN untuk tidak perlu mengungkit lagi kesalah kaprahan bersama di awal-awal JKN, termasuk soal masih digunakannya lembaga DPM dan belum dibentuknya (apalagi diaktifkannya) TKMKB. Saya mengajak untuk bersama-sama melihat ke depan, dengan memberdayakan TKMKB.
Tetapi itupun sebenarnya menyisakan pertanyaan besar: mengapa masih terus dipertahankan sampai sekarang? Apa alasannya? Apa urgensinya? Apa alasannya? Mengapa tidak justru fokus pada pemberdayaan TKMKB?
Ada lagi yang mengatakan “soalnya tidak mudah membentuk TKMKB di beberapa wilayah karena kurang SDM”. Jawaban saya: anggota TKMKB itu adalah Tim Teknis di masing-masing Faskes. Tentu ini jelas ada orangnya. Kemudian Tim Koordinasi terdiri dari Organisasi Profesi. Ini tentu juga ada, walau di beberapa tempat orangnya juga hanya sedikit. Kemudian pakar klinis dan akademisi, ini yang bisa jadi tidak ada di suatu tingkatan wilayah, sehingga terpaksa mengikuti di daerah lain yang berdekatan atau satuan wilayah lebih tinggi yang menanguinya.
Sementara anggota DPM yang dibentuk BPJSK adalah Pakar Klinis. Kalau untuk membentuk TKMKB saja susah mencari anggota, tentu jauh lebih sulit lagi membentuk DPM yang “hanya” berisi Pakar Klinis. Artinya, tidak bisa alasan sulit membentuk TKMKB justru dijadikan untuk mengaktifkan DPM. Kalaupun pakar klinis dan akademisi memang hanya bisa dibentuk di tingkat propinsi atau regionalnya BPJSK misalnya, maka lebih tepat dimasukkan sebagai anggota TKMKB, bukan sebagai anggota DPM.