Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menjaga Marwah: TKMKB, Bukan DPM

4 Januari 2016   12:07 Diperbarui: 4 Januari 2016   13:38 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa tujuan pembentukan DPM? Petikan berikut ini menjelaskannya. Padahal, siapa dan apa itu lembaga DPM sehingga digunakan rekomendasinya sampai untuk pembinaan terhadap petugas pelayanan kesehatan? Bagaimana menjadi dasar dugaan malpraktik? Bagaimana proses penelusurannya?

Apalagi ketika kemudian rekomendasi DPM itu digunakan oleh verifikator untuk menolak klaim. Lho, kok bisa muncul rekomendasi seperti contoh soal sepsis itu? Padahal yang ada anggotanya adalah para pakar senior? Hal itu terjadi karena mekanisme kerjanya adalah “BPJSK mengajukan suatu kasus untuk dimintakan rekomendasi dari DPM”. Persis seperti dalam berita itu. Kemudian kasus-kasus itu dibahas secara “rapat setengah kamar”.

Apa artinya “rapat setengah kamar”? Anggota DPM hanya menerima “laporan” dari pihak BPJSK. Tanpa ada kesempatan untuk klarifikasi ke penyedia layanan yang kasusnya dilaporkan oleh BPJSK. Laporan itu pun ditutupi identitas pasien dan nama RS nya. Sampai-sampai di suatu daerah ada laporan bahwa: rekomendasi DPM untuk menolak klaim suatu kasus, diterbitkan oleh anggota DPM padahal ternyata itu adalah kasus yang ditangani sendiri oleh anggota DPM tersebut.

Adanya perdebatan soal rekomendasi ini mau tidak mau berujung pula pada selisih pendapat dari Dokter yang merawat pasien, ketika ternyata klaim atas pasien tersebut ditolak dengan alasan “tidak sesuai rekomendasi DPM”. Tidak jarang mereka langsung protes “siapa sih DPM itu kok bisa-bisanya ada rekomendasi aneh seperti itu?”. Siapa yang dirugikan dengan kondisi demikian? Banyak pihak. Termasuk, dan terutama dalam kacamata pembahasan tulisan ini, adalah marwah kehormatan profesi kedokteran itu sendiri.

Mari kita lihat bagaimana dengan TKMKB. Alur dasar hukumnya jelas. Sejak dari Pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004, kemudian Pasal 42 Perpres 12/2013, Pasal 43A Perpres 111/2013 dan Pasal 84-86 Peraturan BPJSK nomor 1/2014. Memang ada yang salah kaprah. Beberapa “Pejabat” BPJSK masih menggunakan Permenkes 71/2013. Bahkan dalam buku Petunjuk Teknis TKMKB masih ada kesalahan karena menyebutkan bahwa pembentukan TKMKB mengacu pada Pasal 37-38 Permenkes 71/2013. Pasal-pasal itu mengacu pada Pasal 44 Perpres 12/2013. Padahal pasal 44 Perpres 12/2013 itu telah dianulir dengan Perpres 111/2013. Kesalahan lain dalam buku tersebut adalah menyatakan bahwa DPM dibentuk berdasarkan UU BPJS nomor 24/2011. Padahal tidak ada sama sekali pengaturan tentang DPM dalam UU dimaksud.

Siapa anggota TKMKB?

Peraturan BPJSK nomor 1/2014

Bagaimana hirarki dan susunan keanggotaan TKMKB?

Bagaimana mekanisme kerja TKMKB?

Bagaimana penjenjangan penyelesaian masalah dalam TKMKB?

Bagaimana kalau tetap tidak selesai dalam hirarki TKMKB? Masih ada Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) atau dalam Bahasa Inggris disebut Clinical Advisory Board (CAB). DPK ini dibentuk oleh Kemkes untuk memberikan rekomendasi pelayanan kesehatan juga menyelesaikan bila ada sengketa indikasi medis antara para pihak: peserta, faskes dan BPJSK (pasal 26 ayat 3 Permenkes 71/2013). Semua pihak itu terangkum dalam Limas JKN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun