Ilustrasi - uang pangkal sekolah (Kompas.com)
Tanggal 22 Juli 2015 adalah hari pertama masuk siswa sekolah swasta. Sedangkan sekolah negeri baru dimulai pada hari Senin, 27 Juli 2015 mendatang.
Di sekolah swasta, saya melihat pemandangan yang luar biasa hebat. Di lapangan parkir berjejer mobil-mobil para orangtua siswa yang mengantar anaknya yang baru pertama kali masuk sekolah atau memulai ajaran baru di kelas yang baru. Mobil dari berbagai merek dari merek biasa sampai yang wah ditemui di halaman parkir sekolah yang tidak begitu luas. Mereka adalah para penipu! Penipu dalam arti yang sebenarnya tapi bukan dalam arti kriminal.
Bagaimana tidak dikatakan penipu? Sekolah swasta adalah sekolah yang “dibiayai” oleh para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri yang dibiayai seluruhnya oleh pemerintah dan anak yang bersekolah di sekolah negeri hanya datang, duduk manis mendengarkan pelajaran dari gurunya selama 6 tahun (SD) dan 3 tahun (SMP, dan SMA) tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Proses penerimaan siswa baru di sekolah swasta didominasi dengan metode “wawancara” antara guru dan orangtua siswa. UUD, ujung-ujungnya duit. Setelah proses tawar menawar, hingga mencapai kata sepakat soal “harga”, maka di situlah siswa diterima. Harga yang disepakati meliputi uang sekolah (SPP) dan uang pangkal (Biaya pembangunan).
Nah di proses wawancara inilah aksi tipu-tipu para orangtua siswa berlangsung.
Saat datang ke sekolah, para orangtua bersandiwara menjadi “orang miskin”. Mengenakan celana pendek, kadang-kadang bersendal jepit, berkaos oblong. Berdalih bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, dengan nada memelas memohon dikasihani agar diberi keringanan mendapat uang sekolah semurah mungkin.
Padahal... semuanya adalah kebohongan. Mereka sebenarnya adalah pengusaha, pedagang, karyawan kantor dengan jabatan tinggi dan bergaji besar, memiliki kendaraan roda empat lebih dari satu, rumah mentereng. Namun saat wawancara siswa baru, mereka sembunyikan keaslian mereka. Mereka tonjolkan kepalsuan mereka.
Miris! Dan berdosalah mereka jika melakukan hal tersebut!
Bayangkan, di sekolah swasta tertentu tidak semua siswanya berasal dari keluarga kaya. Ada yang berasal dari keluarga biasa, bahkan keluarga miskin namun ingin bersekolah di sekolah swasta (tergantung persepsi orangtua tentang sekolah swasta). Ada subsidi silang bagi keluarga tidak mampu, yaitu dimana uang sekolah yang nilainya besar, disubsidi silang pada uang sekolah yang nilainya kecil, agar mendapatkan nilai kelayakan.
Justru orangtua yang memang kaya harus bersyukur mendapat “karunia” menjadi orang kaya, dengan bersedia membayar mahal uang sekolah anaknya, demi bisa mensubsidi uang sekolah sesamanya yang kurang atau tidak mampu.
Tapi kenyataannya... Mereka lebih baik terlihat miskin dan mengeluarkan uang sedikit. Mereka egois. Mereka tidak pernah melihat ke bawah. Pandangan mereka selalu ke atas.
Akhirnya, setelah hasil sandiwara mereka berhasil, mereka bersorak. Dan mereka mulai menunjukkan aslinya, terlihat saat mengantar jemput anaknya di sekolah. Mereka menggunakan mobil pribadi.
Itulah ironi sekolah swasta.
Berbahagialah para orangtua kaya yang bersyukur akan kekayaannya, dan mau berbagi dengan sesama dengan jujur apa adanya tanpa aksi tipu-tipu dan sandiwara. Bukankah terlebih berkat memberi daripada menerima? Ingat, jika kalian mengaku “miskin” padahal kalian kaya, maka terjadilah menurut perkataan kalian. Tuhan akan mengubah kaya menjadi miskin sesuai perkataan kalian, karena kalian sudah membohongi nikmat yang Tuhan sudah berikan kepada kalian, para orang tua.
Bagi orangtua yang jujur, kiranya Tuhan menambahkan berkat-Nya buat kalian.
Silakan, mana yang akan dipilih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H